Thursday, December 27, 2007

Apa Obsesimu?

"Mana ekspresinyyaaaa?"... Begitulah yang dikatakan seorang lelaki dalam sebuah iklan rokok di TV. Si lelaki itu terobsesi menjadi sutradara. Tapi bagiku, lelaki di TV itu lebih mirip pria dungu yang sedang digelandang pasukan Pamong Praja. Tagline dari iklan itu adalah "Apa Obsesimu?"

Benar juga ya? Coba deh tanyakan pada diri sendiri, apa sih obsesi kita? Apa sih cita-cita kita? Waktu kita masih kecil dulu mungkin dengan gampangnya kita akan mengatakan "dokter!" atau "pilot!" bahkan "presiden!" Setelah beranjak dewasa dan semakin sadar akan realita yang dihadapi, biasanya cita-cita akan berbubah haluan. Obsesi akan berkelit dan bahkan (yang paling parah) memudar. Nah, coba deh saat ini, detik ini juga tanyakan pada diri kita masing-masing.. "Apa obsesiku?"

Bisakah kita menjawab dengan waktu kurang dari satu detik? Apakah kita akan menjawab dengan... "Hmm anu.. itu tuh.. dulu sih gue pengennya..mmm..anu.." Wah keburu kabur tuh obsesinya. Atau akan menjawab..."Gue sih cuma pengen bahagia aja." Hmmm... iya juga sih.. tapi aplikasinya apa? Apakah anda saat ini belum bahagia? Terus, kalau belum bahagia, caranya bikin bahagia apa dong? Banyak duit? Ya berarti obsesinya "Punya banyak duit" bukan "Pengen bahagia".

Nah, jadi apa sih sebenarnya obsesi kita? Stop!!! jangan bilang nggak punya obsesi ya... wah pesimis tuh mas. Nggak baik buat kesehatan jiwa. Kalau saya sih dari dulu obsesinya sederhana saja. Saya pingin menjelajahi Nusantara dan saya akan menulis buku tentang kisah-kisah petualangan. Saya pingin menjadi seorang penulis petualangan dan travel journalist. Saya nggak pernah kapok dibilang sebagai orang aneh, ini itu dan lain-lain. Ada juga yang bilang saya ini terlalu idealis dan ada juga yang bilang saya sok cinta tanah air. Lho terus kalau nggak cinta tanah air, negeri ini siapa yang jaga? Saya selalu bermimpi bisa berkeliling Nusantara dan dunia. Entah bagaimana caranya. Saya bukan tipe orang yang banyak duit. Hampir semua penghasilan yang saya dapat saya pergunakan untuk backpacking, menjelajah kemana saja ke pelosok negeri ini. Bagi saya, backpacking adalah wajib hukumnya. Sama dengan Sholat dalam Islam. Seperti kata teman saya, "It's not about the destination, It's about the Journey."

Kenapa obsesi saya seaneh itu? Waktu kecil dulu saya begitu mengagumi kisah Majapahit dengan Gajah Mada-nya yang menyatukan Nusantara ini cuma dengan sebatang keris. Nah sekarang kok sudah ada teknologi canggih, eh malah luas negaranya makin ciut. Ada yang merdeka sendiri, ada yang di ambil negara lain dan yang parah adalah ada yang menjual pulaunya sendiri ke orang asing. Weleh...weleh...weleh...

Makannya, jangan pernah berhenti untuk bermimpi. Katakan saat ini juga.. "Apa sih obsesiku?" dan jawab kalau bisa. Jangan pernah takut untuk bermimpi. Jangan pernah bilang, "Yaa.. duitnya darimana?" atau "Elu mah enak.. banyak duit! nah kalo gue?" Nah yang kayak gini ini yang seumur-umur nggak bakalan punya duit. Yang kayak gini ini yang sebenarnya sudah mati perlahan-lahan. Jika kita berpikir "nggak punya duit", ya sampai kiamat juga nggak bakal punya duit...

Saran saya, jangan biarkan apa yang ada sekarang menjajah dirimu, jangan biarkan struktur hirarki organisasi memudarkan mimpi-mimpi, bermimpilah, pikirkan apa yang membuat kamu bahagia, pikirkan dan fokuskan setiap hari....

Bagaimana? apa obsesimu?

Saturday, December 22, 2007

P A L S U

Meski awalnya nampak suci, namun kepalsuan tak bisa disembunyikan

Awalnya harapan itu nampak datang
Meski datang pada waktu yang salah
Awalnya kesucian dan keluguan yang terlihat
Meski terkadang binatang itu kerap muncul

Sang waktu adalah penentu segalanya
Perlahan ia tunjukan binatang yang sesungguhnya
Sang waktu yang maha agung ciptaan Sang Khalik
Kian lama binatang itu kian terlihat

Tiada tempat untuk sembunyi
Tiada kata untuk berkelit
Kebohongan telah menguasai dirinya
Kepalsuan telah mengisi seluruh raga

Dengan kata-kata ia berbangga
Dengan kebohongan ia meraih dunianya
Dengan kepalsuan ia lampiaskan hasratnya
Dengan hati bersisik ia memekik kemenangan

Entah apa yang dicarinya
Binatang itu terus berjalan
Mengusung kepalsuan dan kebohongan
Terus berjalan menuju lembah gelap yang tak ia sadari

Untung Jawa Island

Cuaca Jakarta yang sering memburuk akhir-akhir ini membuat saya agak pesimis bisa melakukan perjalanan bersama teman-teman Indobackpacker ke Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu, Jakarta. Namun ternyata pada hari keberangkatan, cuaca cukup bersahabat. Teman-teman dari Indobackpacker merasa cukup yakin bahwa perjalanan akan berjalan mulus. Saya percaya sepenuhnya pada mereka karena mereka ini adalah para punggawa untuk urusan pelancongan. Pengalaman mereka menjelajahi Indonesia sudah tidak diragukan lagi.

Perjalanan yang kami tempuh dari Muara Angke, Jakarta menggunakan kapal motor kayu memakan waktu sekitar satu jam. Meski diatas kapal matahari bersinar cukup cerah, di belakang kami di daratan Jakarta, awan mendung gelap mulai menggantung. Bahkan petir-petir yang menyambar dapat dilihat dari kapal. Untungnya cuaca buruk di atas Jakarta itu tidak mengejar arah kapal kami yang menuju ke Kepulauan Seribu.

Pulau Untung Jawa sendiri sebenarnya cukup nyaman untuk digunakan sebagai tempat berwisata bersama keluarga. Selain jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, di Pulau ini fasilitas untuk penginapan terbilang cukup lengkap. Mulai dari home stay, gedung aula, musholla, tempat memancing dan berbagai macam rumah makan sederhana yang kebanyakan menyediakan hidangan laut. Untuk pantainya sendiri, Untung Jawa tidak banyak menawarkan tempat untuk berenang. Karena selain ukurannya yang kecil, beberapa garis pantai banyak ditumbuhi hutan bakau yang sebagian besar sudah tercemar sampah kering. Pengunjung lebih banyak memanfaatkan beberapa garis pantai untuk memancing, khususnya disekitar dermaga.

Dari Untung Jawa, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Rambut yang hanya berjarak sekitar dua puluh menit dari Untung Jawa. Pulau Rambut sendiri lebih merupakan cagar alam daripada tempat berwisata. Pulau yang relatif lebih kecil ini hanya dihuni oleh beberapa petugas penjaga hutan. Beberapa jenis burung liar dapat dinikmati di sepanjang jalan setapak yang membelah hutan dan sepanjang garis pantai. Beberapa lubang tempat persembunyian ular tersebar diantara jalan setapak. Kami agak kecewa karena biawak yang menjadi primadona pada hari itu ternyata tidak menampakkan sosoknya. Kekecewaan besar juga menusuk hati saya begitu melihat tumpukan sampah yang menghampar hampir sepanjang garis pantai dan beberapa hutan. Walau begitu, eksplorasi di pulau ini cukup seru. Banyaknya jenis tanaman, suasana hutan yang misterius dan serbuan nyamuk serta serangga hutan menjadi bumbu tersendiri dalam eksplorasi. Nampaknya lotion anti nyamuk yang saya pakai tidak bisa menandingi keganasan nyamuk-nyamuk hutan. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama di pulau ini. Keterbatasan waktu karena hari mulai menjelang sore, padatnya acara dan mendung yang mulai merambah pekat menjadi pertimbangan kami untuk segera kembali ke Untung Jawa.

Kembali ke Untung Jawa bertepatan dengan hujan yang kian deras. Teman-teman sempat ragu akan kelancaran acara berikutnya karena cuaca yang mulai tidak bersahabat. Waktu ini saya pergunakan untuk beristirahat, membasuh diri dan mengecek peralatan kamera. Beberapa teman yang memiliki hobby sama dengan saya dengan sigap langsung mengganti battery kamera dan men-charge battery yang lama. Untungnya saya sudah mengantisipasi hal ini. Battery kamera sengaja sudah saya charge penuh sebelum berangkat. Niat saya untuk membawa dua buah kamera (Pocket dan SLR) ternyata tidak bisa terwujud. Wabah pikun yang semakin menghinggapi saya karena terlalu sering berkutat dengan pekerjaan rutin kantor yang menjemukan membuat saya hanya membawa satu buah kamera SLR Olympus E-330. Dan gara-gara kamera besar ini, beberapa teman memperlakukan saya seperti seorang tukang foto keliling.

Malam hari ternyata tidak seburuk yang saya perkirakan. Hujan berhenti dan kami dapat melakukan Sea Food Barbeque di pinggir pantai. Meski saya ingin terus berakrab-akraban dengan teman-teman backpacker, namun saya menyadari bahwa besok adalah hari yang sangat melelahkan. Ada tiga pulau lagi yang harus kami eksplorasi, yaitu Pulau Cipir atau Khayangan, Pulau Onrust dan Pulau Kelor. Saya pun memutuskan untuk beristirahat dan tidur. Beberapa teman yang juga pecinta fotografi nampaknya juga mengambil langkah sama dengan saya. Mereka ini justru lebih bernafsu lagi karena mereka berniat untuk berburu sunrise besok subuh. Saya sendiri memutuskan untuk tidak mengikuti ritual subuh tersebut karena saya yakin cuaca mendung akan menghalangi cahaya matahari untuk melukiskan keindahannya di langit fajar.

Besok pagi ternyata tidak seburuk yang saya duga. Matahari bersinar cukup terang. Sedikit rasa menyesal mulai terbesit karena tidak mengikuti ritual subuh berburu sunrise bersama beberapa penggila fotografi. Setelah selesai sarapan, pukul 07.00 kami kembali ke dermaga. Kapal telah siap untuk membawa kami mengeksplorasi tiga buah pulau dan kemudian kembali pulang menuju Jakarta. Lautan nampak tenang dan matahari mulai terik menyengat kulit. Saya sengaja mengambil tempat paling ujung depan kapal agar dapat memotret objek dengan mudah. Langkah ini juga diikuti teman-teman saya penggila foto. Jika dilihat, kami ini mirip para tentara AS yang naik kapal amfibi, lengkap dengan senjatanya (kamera) dan siap menyerbu garis pantai Normandia di PD II. Persis adegan pembuka film Saving Private Ryan-nya Tom Hanks.

Beberapa orang teman saya saling bertukar foto sunrise sambil tersenyum-senyum. Saat itu saya menyadari bahwa subuh tadi saya telah melewatkan momen yang begitu berharga dan paling diburu para pecinta fotografi, “Matahari terbit”. Saya sengaja mengacuhkannya karena saya tidak bisa menerima kenyataan bahwa saya melewatkan momen foto yang menakjubkan.

Beberapa saat kemudian, kapal motor mulai mendekati Pulau Cipir. Pulau ini terkesan seperti pulau angker bekas peninggalan penjajah yang terbengkelai. Bangunan-bangunan kuno yang kumuh dan hancur berserakan di seantero pulau. Hanya ada beberapa orang yang mendiami pulau ini. mereka terlihat seperti kuli bangunan atau pedagang yang mampir. Pandangan mata mereka langsung tertuju pada kami yang langsung menghambur begitu turun dari kapal.

Sebagian besar anggota rombongan langsung berpose-pose di depan sebuah meriam tua dan bangunan-bangunan kuno lainnya. Saya lebih memilih menghindari para foto model kagetan ini dan menyendiri mencari objek menarik. Secara sangat sederhana saya dapat menyimpulkan bahwa perjalanan eksplorasi ini ternyata membagi kami menjadi tiga kelompok orang. Para turis yang doyan foto-foto, para observer yang selalu menanyakan sejarah setiap pulau yang dikunjungi dan para pecinta fotografi.

Tingkah laku kami juga sangat unik ketika memasuki suatu pulau. Para pecinta foto (saya lebih senang menyebutnya “paparrazi”) langsung melompat ke atas daratan begitu kapal merapat di dermaga seperti para marinir yang menyerbu pantai musuh dan langsung terburu-buru menuju tengah pulau untuk mencari objek foto yang menarik. Inilah yang mungkin sering disebut sebagai Hunting Photo. Dan ternyata, saya termasuk orang dalam kategori ini.

Para turis atau foto model kagetan biasanya agak lambat reaksinya ketika kapal merapat. Mereka lebih heboh mencari tempat untuk difoto daripada mencari objek. Mereka ini tidak terbiasa melihat kamera dalam keadaan standby. Begitu melihat ada rekan mereka yang memegang kamera, mereka ini langsung memaksa minta di foto. Mirip rombongan darmawisata dari daerah setingkat kabupaten yang mengunjungi Taman Mini.

Lain lagi tingkah para observer. Mereka terlihat lebih kalem ketika kapal merapat. Mereka cenderung bergerak belakangan dan memberi kesempatan pada rombongan setingkat kabupaten tadi untuk bersenang-senang. Begitu memasuki suatu pulau biasanya mereka selain mencari objek foto, juga menemui penduduk lokal dan bertanya macam-macam tentang pulau tersebut. Mereka ini sering saya anggap sebagai model percontohan masyarakat yang ingin maju. Mereka selalu banyak bertanya dan kemudian membuat suatu artikel tentang lingkungan hidup, pariwisata atau humaniora saat pulang nanti. Seperti layaknya para paparrazi, para observer juga bermodal kamera. Dan tidak tanggung-tanggung mereka berani membekali diri dengan sebuah SLR dan beberapa perangkat seperti tripod dan lampu flash.

Waktu yang singkat untuk meng-observe Pulau Cipir tidak menurunkan semangat saya. Beberapa gambar bersifat angker berhasil saya dapatkan. Meski untuk mendapatkannya saya harus menjelajahi reruntuhan bangunan tua, diserbu nyamuk-nyamuk liar, kepanasan dan selalu merasa “diikuti”. Maklumlah daerah ini dulunya adalah bekas benteng Belanda dan kemudian berubah fungsi menjadi barak Haji. Setelah itu semuanya ditinggalkan begitu saja. Tanaman liar merambati tembok-tembok tua yang lebam dan kusam termakan waktu. Pohon-pohon beringin menaungi atap-atap rumah yang doyong tergarap usia. Semua serba angker dan menyeramkan. Tapi justru semakin menyeramkan, saya semakin bernafsu untuk memotret dan menjelajah lebih jauh.

Bunyi sirene yang meraung-raung tanda berkumpul memecah keheningan di Pulau Cipir yang angker. Kami segera kembali ke kapal dan melanjutkan eksplorasi ke Pulau Onrust. Kelompok paparrazi tampak puas dengan hasil foto mereka. Kelompok turis kabupaten terbahak-bahak bercanda sambil masih terus berfoto-foto ria didalam kapal motor yang sempit. Kelompok observer nampak paling serius. Selain membahas hasil foto, mereka juga membahas data-data kependudukan, statistik dan tingkat perekonomian penduduk pulau. Dari tiga kelompok itu, saya tertarik dengan kelompok saya sendiri, kelompok paparrazi. Kami meskipun puas dengan hasil foto, tapi kami tetap berwajah serius. Kami asyik mengutak-atik kamera kami seperti tentara Delta Force men-setting M-16 nya ketika selesai beroperasi di daerah Tirkit, Irak.

Mendekati Pulau Onrust, kelompok paparrazi bersiap-siap lompat dari kapal kayu sambil memegangi kameranya. Begitu tambang dilempar dan ditarik, kami langsung menghambur seolah siap menyerbu musuh. Saya langsung menghambur ke tengah Onrust dan menghindari para turis kabupaten yang berisik.

Pulau Onrust sendiri ternyata lebih angker dari Pulau Cipir. Menurut sejarahnya, konon Onrust berasal dari bahasa Belanda yang berarti tidak pernah istirahat (unrest dalam bahasa Inggrisnya). Pulau ini dulunya dijadikan benteng pertahanan Belanda dari serangan kerajaan-kerajaan nusantara dan serangan Inggris. Secara teknis, pulau ini memiliki fasilitas yang lengkap di zamannya. Selain benteng pertahanan, beberapa fasilitas umum seperti kantor administrasi, lorong bawah tanah, rumah sakit, penjara dan bahkan kuburan juga terdapat di pulau kecil ini. Dari kuburan yang ada, saya berpendapat bahwa dulu pernah ada suatu dinasti penguasa dari Belanda yang cukup berpengaruh tinggal di daerah ini. Salah satu kuburan yang terkenal disitu adalah kuburan Maria. Menurut warga setempat, Maria adalah nama putri dari penguasa Belanda saat itu yang tinggal di Onrust.

Sambil memandangi reruntuhan Onrust, saya membayangkan kejayaan mereka dulu di zamannya. Sebuah jalan utama yang membentang lurus menuju pantai yang dulu pasti ramai oleh lalu-lalang serdadu VOC, tempat cuci umum yang sering digunakan para inlander untuk mencuci pakaian majikan mereka, reruntuhan bangunan tua yang dulu berdiri dengan megahnya dan didalamnya nampak seorang petinggi militer VOC berpakaian terang, sepatu boot tinggi, lengkap dengan pangkat dan benang-benang emas berjuntai serta sebilah pedang berkilau menggantung di pinggang kiri.

Tak jauh dari Onrust, terlihat sebuah pulau sengat kecil dengan hanya satu bangunan yang berdiri diatasnya. Bangunan itu berbentuk silinder dan tidak begitu besar. Itulah Pulau Kelor. Pulau ini merupakan garda pengaman dari Pulau Onrust. Di Pulau Kelor hanya terdapat sebuah benteng pertahanan yang fungsinya adalah melindungi Onrust dari serbuan musuh.

Sirene kembali meraung memecah misteriusnya Onrust di siang bolong. Rombongan kami segera berkumpul lagi untuk naik ke kapal dan melanjutkan eksplorasi ke Pulau Kelor. Seperti biasa, rombongan turis kabupaten belum berubah akhlaknya dan rombongan observer masih serius dengan data-data di museum Onrust. Rombongan paparrazi biasanya paling egois. Mereka berpencar sendiri-sendiri mencari objek foto yang unik. Mereka jarang pergi berkelompok. Hanya sendirian dengan ditemani perangkat kameranya.

Perjalanan ke Pulau Kelor ini sangat sebentar. Hanya memakan waktu sekitar 10 menit dari Onrust. Namun begitu, saya sudah merasakan sedikit kelelahan karena cuaca yang panas dan aktivitas yang banyak menguras tenaga. Untungnya saya membawa persediaan air yang cukup.
Merapat di Pulau Kelor tidak seperti merapat di dermaga pulau-pulau lainnya. Disini tidak ada dermaga sama sekali. Kapal hanya merapat di bibir garis pantai dengan dibantu dorongan oleh beberapa awak kapal. Dermaga yang tak terurus nampak disebelah kapal kami merapat namun dermaga tersebut sudah tidak dapat lagi digunakan. Saya menyebutnya “dermaga tak bertuan.”

Seperti biasanya, kelompok paparrazi lompat paling awal dan menapakkan kakinya di pulau Kelor dengan paling penuh semangat. Saya berkesempatan menjadi orang kedua yang menapakkan kaki setelah rekan saya Wishnu. Dia ini adalah salah satu panutan saya dalam fotografi. Tidak banyak bicara, tidak banyak share picture, jarang bergaul dengan para turis kabupaten, hanya menjelajah seorang diri di setiap pulau. Benar-benar sifat seorang fotografer sejati. Kami berdua dengan penuh energi segera menapaki pulau Kelor dan meninggalkan jauh para turis kabupaten dan segala kehebohannya. Kami berdua hanya tertarik pada satu bangunan silinder yang berdiri angker di depan kami. Kami merasa harus mencapainya lebih dulu sebelum para turis kabupaten itu mencapainya dan merusak suasana pemotretan.

Bangunan angker itu adalah sebuah benteng yang sebagian sudah menjadi puing-puing. Menara Mortello namanya sesuai dengan plang nama yang terpampang di depannya. Namun kegagahannya masih belum pupus oleh zaman. Susunan bata merah yang menjadi tubuh benteng itu menandakan semangat pantang mundurnya mempertahankan Onrust. Cuaca yang panas menyengat mendadak menjadi pekat ketika berada dibawah bayang-bayang kegagahannya. Wishnu dengan segala ketrampilannya seolah tahu angle mana yang paling baik untuk diabadikan. Gerakannya sangat alamiah, instingnya tajam dan sangat mengerti apa yang harus dilakukan. Sesekali saya meniru angle yang diambilnya meskipun mungkin hasilnya tidak sebaik yang dia dapat.

Fotografer panutan saya yang lainnya adalah mbak Raiyanna. Kami semua memanggilnya mbak Ray. Wanita berjilbab ini mengantongi jam terbang fotografi yang luar biasa. Beliau ini memang seorang fotografer profesional. Kabarnya, dia juga memiliki studio sendiri. Beberapa hasilnya yang pernah di presentasikan sudah saya lihat sendiri dan membuat saya mengacungi dua jempol kepadanya. Setiap bidikan dari lensanya adalah jaminan kualitas bagi penikmat hasil foto. Beberapa turis kabupaten yang heboh berpose juga ikut kena kursus singkat arahan gaya dari mbak Ray. Dan hasilnya?... Perfecto!

Sengatan terik matahari tak membuat saya ciut berburu objek foto yang menarik. Dengan gaya seperti sniper, saya memotret hampir siseluruh penjuru pulau. Seorang kawan saya yang melihat antusiasme saya justru menggunakan kesempatan ini untuk minta saya foto dengan kamera saya dan minta hasilnya nanti dikirim via e-mail. Karena saya tidak terbiasa memotret objek manusia selain istri saya sendiri, saya sedikit gemetar. Takut hasilnya tidak memuaskan. Namun beberapa hari kemudian saya boleh bernapas lega. Karena setelah saya edit dan saya kirim via e-mail, teman saya ini langsung me-reply e-mail saya sambil memuji-muji hasilnya. Alhamdulillah!

Menjelang tengah hari, sirene kembali meraung-raung. Tanda bahwa kali ini kami akan pulang ke Jakarta dan meninggalkan perairan Teluk Jakarta. Meninggalkan eksotisme keangkeran peninggalan masa lalu, meninggalkan kenangan akan sebuah kebersamaan yang singkat namun tak akan saya lupakan. Dalam perjalanan pulang saya memilih untuk duduk didalam, tidak di ujung depan kapal lagi. Karena saya sudah merasa kelelahan dan ingin berteduh sambil istirahat. Saya tidak lagi memiliki hasrat memotret. Dan di saat yang sama, saat perjalanan pulang, ketika gedung-gedung tinggi Jakarta yang congkak sudah mulai terlihat, battery kamera saya habis. Tepat pada perkiraan!

Saya dapat beristirahat dengan tenang karena memang hampir tidak ada lagi objek yang menarik menurut saya. Namun begitu, rombongan turis kabupaten tidak pernah kehabisan masa. Mereka masih heboh pasang aksi seolah mereka baru saja berangkat darmawisata. Mendekati Muara Angke, ternyata banyak sekali objek foto yang menarik. Saya salah perhitungan. Beberapa nelayan yang sedang beristirahat, pom bensin apung, kapal-kapal nelayan yang khas, kuli-kuli dermaga yang bekerja, semuanya sangat menarik untuk diabadikan. Saya hanya berpangku tangan sambil berandai-andai, “seandainya saya bawa battery cadangan.”

Di dermaga Muara Angke, kami semua berpisah. Semua kembali seperti saat berangkat. Penuh semangat kebersamaan. Sambil bersalam-salaman, kami semua mengucapkan terima kasih dengan harapan perjalanan berikutnya kami akan bertemu kembali. Tidak ada rombongan paparrazi, tidak ada turis setingkat kabupaten, tidak ada para observer. Kami semua adalah anggota Indobackpacker, Indonesian Backpacker Community.

Symbiosis Mutualisme backpacker

SYMBIOSIS MUTUALISME... mungkin adalah kosa kata yang tepat untuk saya. Tepatnya untuk gaya traveling yang saya lakukan. Daripada menggunakan full budget sendiri, menumpang istri yang sedang dinas luar kota adalah hal yang menguntungkan. Bisa dapat kamar hotel berbintang secara gratis, transportasi bandara gratis dan tentunya sarapan gratis di hotel. Dasar backpacker!!

Perjalanan saya kali ini adalah unexpected journey. Artinya, saya tidak pernah merencanakan perjalanan ini dan ini terjadi begitu saja karena kepastian istri saya pergi ke Pontianak juga mendadak. Yap!.. perjalanan kali ini adalah ke Pontianak. Ditengah kekhawatiran saya akan cuaca buruk, ternyata cuaca Jakarta cukup mendukung untuk menerbangkan pesawat Boeing 737-400 Lion Air dari Cengkareng. Meski begitu, ketika mendekati Pontianak, cuaca buruk tak ayal menghadang pesawat dan... situasi jetcoaster pun terjadi. Goncang sana goncang sini, naik, turun. Tercatat tiga kali perut saya dibuat ngilu.

Meskipun ini bukan Kalimantan Timur, saya tetap merasa ini kampung halaman. Tentu saja karena ini Kalimantan Bung! Borneo!... Tempat saya dilahirkan dan besar hingga sembilan tahun. Tak punya mental petualang? Jangan datang kemari! Ini tanah yang membuat saya melihat anak-anak Jakarta seperti anak-anak manja yang cengeng. Di Kalimantan, hutan adalah rumah kita, sungai adalah sahabat, ular dan biawak adalah tukang ngamen yang berseliweran. Bukan Mall, Plaza, Video game yang membuat mental kita lembek dan mudah terkorosi. Di Kalimantan, kita hidup berpayung alam.

Menemani istri yang sibuk dengan pekerjaannya dari subuh hingga malam tentu bukan tujuan saya ke sini. Layaknya tentara NICA pada agresi militer Belanda, alasan saya adalah menemani istri. Namun sesampainya di Pontianak, seperti biasa, saya membuka peta dan menunjuk satu kota atau daerah secara acak untuk dikunjungi. Penunjukan ini adalah hal yang sakral. Bisa saja karena nama daerah yang unik, jarak yang lumayan jauh dan menantang atau karena informasi yang saya dapat tentang daerah itu. Dan kali ini nama daerah yang saya tunjuk adalah Singkawang. Sebuah kota kecil dekat perbatasan Serawak. Jadilah saya ke Singkawang sendirian sementara istri sibuk bekerja sendiri di kantornya.

Sebagai kota kecil, Singkawang juga mempunyai peranan penting dalam denyut rakyat Pontianak. Kota yang dapat ditempuh selama tiga jam dari terminal Batu Layang, Pontianak ini ternyata menyimpan sejarah. Singkawang adalah gerbang awal masuknya masyarakat Tionghoa pertama kali ke Kalimantan Barat. Singkawang lah yang membuat Pontianak mendapat julukan kota Amoy. Saran saya jika ingin kesini menggunakan bis kota, berangkatlah sepagi mungkin. Karena bis kota di Pontianak sangat doyan ngetem hingga hampir dua jam di terminal.

Kota Singkawang sendiri tidak terlalu besar. Perjalanan ke sini tidak akan membuat kita bosan. Di beberapa ruas jalan, bis kota akan melewati rute dipinggir laut yang pemandangannya...ambooyy indahnya! Selebihnya bis akan melewati daerah kampung pedalaman dengan jalan-jalan yang sepi. Pusat kotanya terletak di daerah yang disebut sebagai Pasar Lama. Inilah pusat bisnis Singkawang. Daerahnya seperti labirin. Banyak persimpangan jalan yang kalau kita ikuti semua arahnya akan mengarahkan kita ke situ-situ juga. Meskipun disebut sebagai Pasar Lama, jangan berharap daerah ini macet seperti Tanah Abang, Jakarta yang kanan kiri jalan banyak pedagang, setiap ruko penuh padat dan banyak orang berlalu lalang di sekitar angkot yang nggak jelas maunya.

Pasar Lama Singkawang hampir seperti kota tua yang akan mati. Banyak ruko yang berjejer namun jumlah pembelinya dapat dihitung dengan jari. Beberapa restoran juga sepi pengunjung. Di ujung jalan terdapat sebuah Klenteng dengan sebuah Mesjid yang lumayan besar menghias dibelakangnya. Akhirnya... Bhinneka Tunggal Ika! Hal yang jarang terdapat di Jakarta. Disebuah jalan, mata saya tertuju pada sebuah kios minuman yang sangat sederhana. Penjualnya adalah anak remaja keturunan Cina yang bicaranya berlogat Jawa. Lho... Jawa? Di sini? Di tanah Dayak? Si anak ini berjualan Liang Teh. Sebuah minuman teh es segar yang rasanya wangi. Lalu saya memutuskan untuk nongkrong sejenak sembari ngobrol sama si penjual dan menikmati Liang teh.

Jangan heran jika di seantero penjuru kota anda akan berisik dengan suara burung walet. Karena masyarakat disini hampir semua loteng rumahnya dijadikan sarang burung walet. Tapi menikmati Liang teh di pinggir jalan sambil ngobrol dengan masyarakat lokal adalah sensasi tersendiri. Di kota ini nampaknya semua orang adalah satu keluarga besar. mereka saling mengenal satu sama lain. Bahkan ketika melakukan sholat di mesjid, saya sempat menjadi selebritis. Alias jadi pusat perhatian sambil mereka bertanya, “bapak darimana?” atau “ada perlu apa datang kesini?” Hmmm... iya juga yah? Ini bukan daerah turis dan bukan jalur turis sama sekali. Mana ada Travel Agent yang menawarkan paket berlibur di Singkawang? Dasar backpacker! Nalurinya aneh..

Sore hari baru saya memutuskan untuk kembali ke Pontianak. Itupun saya harus naik ojek dulu ke perbatasan kota karena di terminal sudah tidak ada lagi bis yang ke Pontianak. Sepanjang jalan saya sudah memperkirakan bahwa saya akan tiba di Pontianak malam hari dan saya buta sama sekali daerah ini. Sepanjang jalan, langit sore memberikan torehan lukisan yang menawan. Saya ingin sekali memotret, namun keadaan yang nggak memungkinkan membuat saya hanya menyimpan pemandangan itu dalam memori otak saya sendiri.

Tiba malam hari di Pontianak, seperti yang terjadi dari awal, hujan.. hujan dan hujan. Saya berjalan kaki ke hotel dengan guyuran hujan. Tiba di hotel, saya berencana untuk ke Kapuas esok pagi. Namun yang namanya nasib berkata lain, HP saya sempat dicopet di Mall Pontianak ketika saya akan ke ATM untuk mengisi pulsa. Zippp... HP hilang dijambret. Padahal disitu ada dua buah foto perjalanan saya ke Singkawang yang gambarnya aduhaaii..!! Dan ke Kapuas pun batal. Semangat petualang sempat drop seketika. Namun saya teringat kisah Trinity di bukunya “Naked Traveller”. Saya membandingkannya dan pengalaman saya kehilangan HP yang belum seberapa. Dan tiba-tiba... Jozzz!! Naluri backpacker timbul lagi. Lau timbul pikiran dalam benak yang aneh ini... Benak yang akalnya tak lurus lagi. Seperti ada suara aneh yang berbisik pelan namun merasuk kuat ke hati. Suara ini sering timbul di kala saya lagi bengong, stress atau lagi nonton TV. Bisikan mistik itu bunyinya adalah.... “Jelajah lintas Kalimantan yuk!”

Dasar backpacker...!!

Thursday, November 22, 2007

Sialnya Nasib Tasku

Jika saja tas yang saya miliki ini mempunyai nyawa dan bisa bicara, pasti dia sudah mencaci maki saya. Bagaimana tidak? Tas kesayangan saya ini adalah tas yang dirancang untuk keperluan kantor yang memiliki mobilitas tinggi. Tas ber-merk “LOJEL” milik saya ini sering juga disebut sebagai “tas terjun payung” atau “tas astronaut” oleh sebagian teman-teman saya.

Yap!.. si LOJEL iniadalah sebuah tas ransel dengan cover depan yang terbuat dari plastik keras. Di design khusus untuk membawa laptop dan ATK. Ada tiga ruang yang terdapat pada si LOJEL. Ruang pertamanya lumayan besar dengan dilengkapi kantong khusus untuk menaruh laptop, alat tulis dan elektronik termasuk charger. Kantong kedua dan ketiga lebih sebagai tempat menyimpan dokumen-dokumen.

Sangat cocok digunakan oleh para eksekutif muda karena design exterior si LOJEL juga lumayan eksklusif. Tapi apa boleh dikata. Nasib ternyata berkata lain. Si LOJEL yang seharusnya nangkring di punggung cowok eksekutif, berdasi, ke kantor naik mobil dan dikelilingi sekretaris dan karyawati cantik ini harus menelan pil pahit. Kenyataannya si LOJEL harus nangkring di punggung saya. Cowok yang tidak ganteng (apalagi eksklusif), cuek, konyol, jorok dan yang pasti tidak pernah dikelilingi sekretaris cantik. Si LOJEL yang seharusnya pulang pergi menikmati AC Blue Bird yang nyaman, harus rela berdesakan dalam Kopaja yang pengap. Apalagi mengharapkan dikelilingi karyawati yang cantik, wah...nampaknya si LOJEL justru harus bersedia dikelilingi copet didalam Kopaja.

Tempat nyaman dalam gedung kantor bertingkatpun harus dilupakan si LOJEL. Dia harus menerima nasib ditaruh di lantai dalam ruang yang sempit, kadang berdebu, berminyak dan ditendang-tendang. Setiap haripun dia harus menerima muatan yang jauh berbeda dari fungsi aslinya. Baju ganti, deodorant, parfum, kunci rumah, kunci L, botol minum hingga pisau lipat “Swiss Army” adalah muatan rutin si LOJEL pada saat saya pakai untuk kerja setiap hari. Pada saat berjalan-jalan biasanya ia hanya saya isi dengan botol minum dan kunci rumah. Maklum, biasanya saya sering membeli barang-barang (terutama buku) dan kemudian saya masukan ke dalam tas. Jadi, pergi kosong, pulang penuh. Lain lagi kalau saya keluar kota. Si LOJEL yang malang ini bisa berubah fungsi menjadi gudang ransum TNI. Biasanya tas ini sengaja saya bawa ke dalam kabin pesawat karena disitulah saya menyimpan perbekalan saya. Mulai dari cemilan, aneka permen,botol mium, tissue, tiket pesawat dan yang paling penting adalah buku bacaan. Jika si LOJEL bisa bicara, pasti dia akan bilang, “Woy gue bosen setiap lu mau naek pesawat, bukunya pasti Return of the King-nya Tolkien.” Kalau itu terjadi, saya akan jawab, “No other writer better than Tolkien.”

Lain lagi ceritanya jika saya akan ber-Bike 2 Work. Si LOJEL ini saya isi dengan baju ganti, peralatan mandi, handuk, celana kerja dan botol minum. Nah jika saya mau bersepeda ke Monas di Minggu pagi, biasanya saya isi dengan botol minum, kunci L, pisau lipat, pisang dan cokelat bar. Pisang? Yap!.. cokelat dan pisang adalah penghasil energi dan protein yang baik. Tidak percaya? Coba lihat rekaman pertandingan tennis di era Bjorn Borg dan Boris Becker. Disaat pergantian set, mereka pasti melahap pisang. Cokelat? Sudah banyak diyakini dan dibuktikan bahwa cokelat adalah sumber kalori yang tinggi sehingga menghasilkan energi.

Itulah lagi-lagi si LOJEL ini mendapat perlakuan yang aneh dari majikannya. Mungkin si LOJEL harus menerima nasib tidak berada di punggung seorang eksekutif muda yang punya laptop dan bisa membeli tas-tas, baju dan jaket cantik untuk wanita pujaannya. Yah.. nasibmu LOJEL-ku sayang. Kamu harus nangkring di punggung laki-laki yang sering berkeringat, doyan jalan kaki, nggak punya laptop buat dipinjemin ke cewek-cewek cantik dan harus berdesakan dengan copet di dalam Kopaja.

Namun begitu, cinta saya terhadap si LOJEL ini tidak diragukan lagi. Yang bisa menandingi si LOJEL ini hanya backpack NorthFace yang sering saya pakai traveling dan tas pinggang juga ber-merk sama. Tas pinggang NorthFace ini jauh lebih berpengalaman dibandingkan LOJEL dan lebih sering menemani saya bepergian ke luar kota. Meskipun hanya memiliki satu kompartmen, si NorthFace ini dapat dimodifikasi tali-talinya sehingga bisa membawa jaket. Kedua ujungnya bisa untuk membawa botol minum. Sayangnya ia tidak berbentuk ransel. Karena dengan ransel, saya dapat membawa tas dengan berlenggang santai, mencubit kedua pipi istri saya dan yang paling nikmat adalah bisa ngupil sambil garuk-garuk pantat. Nikmat eeuuy...!

Saturday, October 20, 2007

Duka untuk Trinity "The Naked Traveler"

Sedih, geram, kaget, tapi nggak tahu mesti marah sama siapa. Itulah reaksi pertama ketika membaca milis IBP (Indobackpacker) yang menanyakan alasan ditariknya buku "The Naked Traveller (TNT)" dari peredaran. Penasaran, saya langsung kunjungi blog-nya The Naked.

Benar saja! Buku pujaan saya itu ternyata di bredel. Tapi saya sempat senang juga membaca komentar dari teman-teman yang memberi dukungan buat mbak T. Salut! Maju terus mbak! Terus terang, buku TNT merupakan salah satu sumber inspirasi saya untuk terus menulis dan mengeksplor kulit bumi ini. Setidaknya mengeksplor Nusantara. Itu jauh lebih baik daripada berpangku tangan dan membredel karya orang lain.

Bagi saya ketika kita bepergian (traveling) adalah berarti kita melakukan silaturrahmi secara lebih luas. Saya tidak bisa hanya duduk diam di sebuah ruang kantor yang sempit. Berjalan ke sana kemari menghitung ini itu yang nggak jelas, berangkat pagi buta memakai seragam, berdasi, nggak boleh ini nggak boleh itu, harus ini harus itu. Menjemukan! Traveling bagi saya adalah (seperti kata iklan) membuat hidup lebih hidup. Disaat kita terpaku dan tidak melakukan petualangan, maka sebenarnya kita sama saja dengan pengguna narkoba. Mati perlahan-lahan!

Apa yang menarik pada saat traveling? Bagi saya traveling bukan hanya sekedar jalan-jalan. Mengenal masyarakat di tempat yang berbeda, mengenal ritual mereka, beradaptasi dengan mereka, adalah hal yang saya cari pada saat melakukan perjalanan. Disitulah saya mengenal kekayaan negeri ini, republik ini, dunia ini. Ketika kita ikut merajut jala di perkampungan nelayan, menanam benih padi di perkampungan petani, disitulah jalinan silaturrahmi kita rajut.

Apa yang terjadi di belahan dunia lain, entah kelebihan maupun kekurangannya, jangan kita tolak mentah-mentah. Jadikan itu sebagai pelajaran. Jadikan itu sebagai ramuan yang nantinya akan melahirkan suatu resep yang mahalezat. Pelajari apa yang mereka lakukan, saring apa yang baik, lihat apa adanya.

Apa yang saya baca di TNT adalah suatu jalinan silaturrahmi yang sangat luar biasa. Tidak semua orang bisa mengalaminya. Mbak T adalah orang yang sangat beruntung. Bagi pihak-pihak yang kurang melihat dari segi positif, cobalah... lakukan traveling jika backpacking terlalu berat untuk anda. Kenali budaya lain, masyarakat lain, ritual lain. Bangunlah jembatan, seberangi lautan, jelajahi rimba belantara. Jangan bangun tembok. Anda tak akan bisa melihat keluar untuk silaturrahmi

Friday, October 05, 2007

Thank You Andrea

Air mata ini rasanya tidak terbendung lagi ketika kedua tangan asyik melaju membalik halaman demi halaman buku "Laskar Pelangi." Saya jadi inget masa kecil saya dulu yang saya tidak bakalan lupa.

Saya memiliki sahabat bernama Azman Syukron. Saya sering sekali menggodanya. Karena wajahnya yang (maaf) tidak tampan sama sekali dan saat itu saya sedang kegandrungan komik Tintin (terutama "TinTin di Tibet), maka saya sering memanggil Azman dengan "Yeti." Sebutan untuk makhluk purba berjalan tegap di pegunungan Himalaya. Kontan si Azman ini langsung ngamuk-ngamuk nggak keruan. Saya sempat ditonjoknya hingga saya nangis terjengkang ha ha ha... Tapi saya amat merindukannya. Setelah itu kami kembali bermain seolah tak terjadi apapun.

Ada lagi teman saya bernama Adi dan Ary. Mereka ini anak kembar siam yang mempunyai karakter saling bertolak belakang. Adi mempunyai sifat agak rendah diri, tidak cerdas, kalau bicara dengannya harus diulang-ulang karena dia susah mengerti sesuatu dan penampilannya agak kucel. Sedangkan Ary sangat bertolak belakang. Ia anak yang cerdas, sepat mengerti sesuatu dan selalu berpenampilan necis. Kebetulan Adi adalah teman sekelas saya. Sebagai anak yang tergolong hyperaktif saya selalu ingin menggoda siapa saja. Percaya nggak percaya, emosi saya suka memuncak jika berhadapan dengan si Adi ini. Maka setiap jam istirahat, saya sering memukulinya di halaman sekolah. Sementara si Ary hanya memperhatikan kami berdua. Diam, tidak membela si Adi dan justru malah menegurnya ketika kami berkelahi. "Kamu sih bandel, makannya kamu dipukulin," begitu kata si Ary kepada si Adi yang sudah babak belur saya tonjokin.

Anehnya si Adi ini tidak pernah benci sama saya. Setiap sore jam 4 Teng! Dia selalu menelpon saya dan berbasa-basi layaknya saya adalah sahabat nomor wahidnya. O my God! What i've done?

Lalu ada lagi si Ahmad yang pincang karena polio. Ahmad ini keturunan Sunda. Bapaknya seorang pilot Garuda dan dia punya kakak perempuan cantik bernama Lisa. Ahmad karena kekurangan fisiknya, ia tidak bisa berjalan normal. I selalu ditinggal teman-temannya ketika berjalan pulang sekolah. Apalagi berlari, mungkin itu hanya ada dalam angan-angannya. Nggak tahu kenapa, saya tertarik bersahabat dengannya. Entah Kasihan atau apa, saya selalu menyuruh supir saya pulang ketika saya dijemput supir pulang sekolah. Saya lebih baik menemaninya berjalan kaki daripada duduk adem dalam mobil.

Bayangkan, kami bersekolah di kota Balikpapan awal tahun 1980-an. Sekolah kami terletak di daerah yang jalannya naik turun, berkelok-kelok seperti tikungan maut Padalarang. Dan jarak ke rumah juga tidak dekat. Tapi ada kenyamanan ketika saya berjalan bersama Ahmad. Menemaninya hingga kami berpisah disebuah persimpangan. Kadang saya iseng nganterin di sampai rumahnya yang lebih jauh dari rumah saya.

Sambil membaca Laskar Pelangi, rasa rindu itu semakin menyala sembari bertanya-tanya. Dimana mereka sekarang?...

Wednesday, October 03, 2007

Nyanyian Cemara

Tidak ada yang bisa membuat aku lupa akan kampung halaman. Balikpapan! Sebuah nama kota yang mungkin dulunya dibuat tanpa memikirkan akibatnya. Sebab setiap aku menyebut nama kota itu sebagai kampung halaman, pertanyaan bodoh yang sama akan berulang. "lu lahir di baliknya papan? banyak debu dong?"

Entah pertanyaan bodoh itu timbul dari suatu kemampuan akal yang begitu rendah atau hanya sebuah canda. Jika itu sebuah canda, sungguh sebuah canda yang sama sekali tak lucu. Terlepas dari nama yang nyeleneh itu, Balikpapan adalah permadani yang menghiasi ruang tengah istana. Pemanis yang menyegarkan dalam semangkuk es buah. Balikpapan, ibarat waktu adalah saat bedug maghrib ketika bulan ramadhan.

Di kota kecil yang indah itulah aku pertama kali membuka mata melihat dunia. Pertama kali kakiku menapak di tanahnya yang hijau, liar, misterius namun bersahabat. Pertama kali pasir pantainya menggelititk sela-sela jari kakiku. Pertama kali air lautnya yang tenang menenggelamkan tiga perempat tubuhku yang mungil. Saat itulah pertama kali aku berkenalan dengan alam. Mencium bau hujan yang menghujam tanah. Terkesan dengan sebuah tanaman pemakan serangga yang kami sebut "kantong semar". Bentuknya yang lucu, hijau memanjang kebawah dengan katup besar diatasnya menganga siap mencaplok serangga membuat tanaman ini menjadi idola dalam perjalananku ke taman kanak-kanak yang letaknya jauh di tengah hutan. Kantong semar berjejer disepanjang jalan setapak seakan menyapa kami setiap pagi.

Aku tidak pernah lupa akan halaman luas yang terbentang mengelilingi rumah kami. Disitulah aku dan kedua kakakku selalu bermain menjelang sore. Halaman rumah kami begitu luas hingga kami dapat bermain sepuas-puasnya sampai napasku tersengal-sengal.

Di satu sisi, halaman kami dibatasi oleh jurang yang cukup tinggi. Disitu, disisi jurang biasanya kami sering menyaksikan pertandingan sepak bola dengan latar belakang pantai dan lautan lepas teluk Balikpapan.

Jangan tanyakan tentang keindahan kota ini di malam hari. Kedua bola mata ini tak akan terpejam ketika menyaksikan pemandangan lampu-lampu kilang minyak yang bertebaran bak ribuan pohon natal yang syahdu dari kejauhan. Kekayaan alam permadani istana ini telah menyedot minat para penambang minyak dunia untuk mengeksplorasi kota ini. Mulai dari Pertamina, Schlumberger, Union Oil, Total Oil dan Bechtel. semuanya menancapkan cengkeramnya untuk menikmati hasil bumi Balikpapan.

Meski begitu, aku tetap senang melihat bentuk mata bor yang sebesar batu meteor dengan tiga mata bergigi. Berputar menghujam bumi menembus lapisan kerak terdalam. Aku senang melihat helm proyek ayahku yang ajaib. Yap!.. itu helm ajaib. Siapapun yang memakainya akan tampak gagah di depan cermin. Aku dan kakak-kakakku sering memakainya diam-diam ketika ayahku pulang dari pabrik dan berandai-andai layaknya kami adalah para pengebor minyak yang ulung.

Tapi saat itu aku sering tidak peduli dengan segala hiruk pikuk para pengebor. Yang aku ingat adalah nyanyian pohon cemara cemara yang tertiup angin. Bebearapa pohon cemara yang menjulang tinggi di belakang rumah kami doyong ke kiri dan ke kanan tertiup angin menimbulkan suara yang mirip angin ribut. Phiiuuu...phiiiuuu... Bagiku, itu adalah sebuah nyanyian. Nyanyian itu terus menemaniku sepanjang siang.

Suara ibuku yang memanggil-manggil namaku atau hanya sekedar bercakap dengan pembantu rumahku, suara anak kecil tetangga yang nangis memekakkan dan ketukan palu para pekerja dan tukang kayu adalah instrumen pengiring dalam nyanyian cemara. Cuaca panas yang melatari nyanyian itu selalu menjadi pengiringku saat aku terbangun dari tidur siang. Pertanda waktu bermain telah dimulai. Tapi jika aku tak mendengar suara ibuku saat aku bangun, justru akulah yang nangis memekakkan. Layaknya sebuah orkestra, semua instrumen dalam membawakan symphony nyanyian cemara haruslah lengkap.

Seperti London Symphony Orchestra dengan sepenuh jiwa membawakan Swan Lake nya Tchaikovsky. Sebuah pentas yang sempurna. Aku terkagum-kagum dan tenggelam dalam nyanyiannya. Terus berulang dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun. Hingga akhirnya aku menyadari konsep awal dan akhir. Alpha dan Omega. Semuanya harus berakhir. Nyanyian itu tak lagi mengiringiku saat aku bangun tidur siang.

Deru kendaraan metropolitan telah mengalahkan symphony indah itu. Tchaikovsky telah terkapar tak berdaya. Sepi dan Kelam! Itulah rasa batinku terhadapa kampung besar dan kotor yang bernama Jakarta. Tidak ada kantong semar yang menyapa, tidak ada tukang kayu sebagai instrumen pengiring. Dan suara ibuku, meski tidak redup sedikitpun, namun dapat kurasakan ketimpangan symphony nyanyian cemara. Aku berbisik dalam sanubari yang merintih.. "Tchaikovsky, apa kau baik-baik saja?"

Hanya kemampuan benakku yang dapat terus mengingatnya. Alunan lembut yang tak dimengerti orang lain. Orkestrasi yang sempurna. Sedahsyat The Three Tenors mengguncang publik Barcelona. Selembut lantunan Il Divo mendayu sepanjang sungai di Venice merasuki jiwa para gadis cantik dan ibu-ibu muda.

Phiiuuu...phiiuuu... dapat kurasakan hembusannya menembus relung hati, menjalari arteri dan pembuluh kecil, meletup-letup dalam sistem syaraf hingga menguasai otak kananku sampai menggelembung. Mematikan kedigdayaan otak kiri yang congkak. Melumpuhkan logika sistematis, persekutuan angka-angka dan keteguhan eksakta. Hard Number! begitu kata sekelompok makhluk aneh berdasi dengan tatapan mata yang memegeng teguh kebodohan dan nampak pasrah dengan nasib.

Aku terbuai dalam nada-nadanya, terbuai dalam gelembung otak kananku yang melahirkan symphony indah nyanyian cemara... dalam... dalam sekali. Tchaikovsky ternyata baik-baik saja..

Wednesday, July 18, 2007

PICcanSPEAK (from the air)

Duduk diam dalam perjalanan menggunakan pesawat memang membosankan. Selain buku, biasanya obat penghilang bosan saya adalah kamera...










Celingak-celinguk.. eh pas banget! Light is come from the perfect angle. Ada yang bisa nebak gunung apa yang terlihat dalam foto? Hmm.. saya juga nggak tahu tuh, yang jelas ini ada di wilayah Jawa Timur. (Batavia Air, Denpasar-Jakarta)







Berkabut (karena polusi?), sungai yang kotor, pemukiman padat, not a good view to see... Bisa ditebak kan ini dimana? Yap.. our beloved city, Jakarta..
(Batavia Air, Denpasar - Jakarta)




















Taburan kapas putih di atas perairan Kalimantan.
(Lion Air, Jakarta - Pontianak)























Pontianak from the air. Sesaat sebelum landing.
(Lion Air, Jakarta - Pontianak)














Tuesday, July 17, 2007

PICcanSPEAK "the big city"

Banyak sekali momen yang dapat kita abadikan ketika kita sedang berada dalam perjalanan...

Siapa sih yang nggak kenal bangunan ini? bukan sekedar patung dan gedung. Tapi inilah Jakarta... susah, senang, kering, banjir, tenang, berisik, bersih dan jorok.. semua nyampur disini. The Biggest Village on earth...











Masih seputar hiruk pikuk Jakarta. Selain jumlah manusianya bertambah pesat, bangunannya pun melesat tinggi menggapai awan dilangit yang menyengat.







Jendral Sudirman yang siap menantang perubahan Jakarta. Ayo berjuang...







Yiiihaaa... our Prince Diponegoro is taking the lead!! cobain deh jalan-jalan ke monas di minggu pagi. Too many good object








Sunday morning in Monas field. It's the real Jakarta.. Jujur aja deh, kita warga Jakarta, berapa lama tinggal di Jakarta?... berapa kali ke Monas?









Ini bukan Tiananmen di China atau HongKong. Tapi ya di Monas kita tercinta. Meskipun agak gelap, tapi nggak ngurangin semangat jogging kan?






Monday, July 16, 2007

Me & My Bike



Di Jakarta naik sepeda? lu gila ya?... Kata-kata itulah yang kerap muncul ketika orang mengetahui bahwa saya kerap nggenjot sepeda ke tempat kerja. Bagi saya bersepeda di kota "keras" seperti Jakarta adalah hal biasa dan justru harus dibudidayakan. Kenapa? hmm.. coba deh kita tengok berapa banyak kendaraan bermotor yang membebani jalan-jalan raya di Jakarta ini? berapa persen pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta? bandingkan dengan pertumbuhan jalan rayanya sendiri.




Selain itu, mengikuti gaya hidup green living boleh juga dicoba. Selain membuat badan lebih sehat, mengurangi polusi adalah tujuan akhir dari gaya hidup ini. Beberapa pandangan sinis sering kali menghinggapi saya. Mulai dari rekan-rekan kerja, orang-orang sekitar tempat tinggal dan para pengguna jalan. Seringkali saya harus berduel keras dengan para pengendara syaitan beroda dua yang bernama sepeda motor, belum lagi kesinisan para supir angkutan umum yang sering memojokkan pengguna sepeda di setiap tikungan. Ketika lampu merah di persimpangan menyala, sudah menjadi hal biasa para pengendara syaitan beroda dua memojokkan saya di tengah dan menyenggol sepeda saya seraya berkata "mau lu apa?"


Hmm.. kekejaman-kekejaman tersebut tidak satupun membuat saya jera. Ketika lampu persimpangan menyala merah, saya dan Polygon kesayangan saya sekarang dapat berkelit menerobos kendaraan yang berhenti. Sambil menengok ke arah para syaitan beroda dua yang tertahan lampu merah, saya berkata dalam hati, "mampus lu banci!" dan saya pun terus menggenjot dengan santai.


Seiring dengan makin berkembangnya komunitas sepeda, saya sedikit tersenyum. Sambil membayangkan sebuah khayalan bahwa suatu saat nanti di sebuah koran ibu kota akan terpampang headline "Jumlah sepeda meningkat pesat mengalahkan sepeda motor", saya tetap optimis bahwa suatu saat nanti saya akan berkata pada anak cucu, "nih dulu sepeda bapak yang bapak pake buat kerja..."









Lovely LOVINA

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini saya berkesempatan untuk kembali mengunjungi Bali. Yang istimewa adalah jika tahun-tahun sebelumnya saya hanya kurang lebih tiga hari berada di Bali, maka kali ini saya mendapat anugerah luar biasa yaitu cuti selama seminggu. Artinya saya bisa menikmati dunia tanpa macet, tanpa angkot, tanpa metro mini dan kerabatnya dan tanpa syaitan beroda dua.

Seperti biasanya juga, saya pergi bersama istri saya dan kami mempunyai kebiasaan menarik jika pergi ke Bali. Yaitu, kami tidak pernah berangkat bersama-sama. Kali ini istri saya sudah tiba di Bali sehari lebih awal dari saya karena kesibukannya di Surabaya. Bagi kami justru hal ini membuat segalanya bertambah seru. Dua tahun lalu saat kami juga berkunjung ke Bali, istri saya berangkat dari Yogyakarta dan kedatangannya di Bali hanya berbeda sekitar dua jam dari saya yang datang dari Jakarta. Tampaknya sudah menjadi kebiasaan bagi kami untuk saling tunggu dan janjian di bandara Ngurah Rai.

Dari waktu di Jakarta, saya dan istri memang sudah lama merencanakan mudik ini. Entah kenapa kami jadi lebih merasa Bali adalah rumah bagi kami (mungkin karena mertua saya tinggal disana). Dan kali ini kami juga sudah berencana untuk “berburu” dolphin di lepas pantai Lovina (Bali utara). Bagi kami, Kuta sudah sangat membosankan untuk berekreasi. Jadi kami sepakat untuk melihat Bali lebih kedalam alias ke daerah perkampungannya. Cerita tentang dolphin di Lovina memang sudah sering saya dengar. Terlebih ketika istri saya dan teman-temannya mengunjungi tempat itu tahun lalu tanpa ditemani saya. Sejak itu, istri saya menjadi seperti jatuh hati pada dolphin dan memaksa saya untuk mengunjungi Lovina suatu saat.

Sehari sebelum berangkat ke Lovina, kami secara tidak sengaja menyaksikan liputan tentang daerah tersebut di sebuah TV swasta. Tentu saja saya semakin yakin bahwa perjalanan kami memang benar-benar direstui dan seolah diberi petunjuk secara langsung. Semangat kami semakin menggebu dan tidak sabar untuk menunggu esok hari. Memang benar, keesokan harinya cuaca sangat cerah dan kami sudah siap untuk berangkat ke Singaraja. Menurut istri saya perjalanan memakan waktu sekitar dua jam dan itu belum termasuk singgah di daerah-daerah wisata dan berhenti makan siang.

Dalam perjalanan, ternyata tidak seperti yang saya harapkan. Perjalanan ke Lovina di Singaraja dapat ditempuh melalui beberapa jalur. Kami memilih rute Bedugul karena itu adalah rute terpendek. Namun perjalanan melalui daerah ini sangat menguji fisik saya. Banyak tanjakan dan turunan curam disertai dengan tikungan-tikungan tajam yang berliku-liku. Saya sarankan jika rekan-rekan mengunjungi daerah ini sebaiknya jangan mengkonsumsi makanan terlalu banyak. Beberapa kali saya mencoba untuk mengambil gambar di daerah ini namun selalu gagal untuk mendapatkan gambar yang optimal karena jalur yang susah ditebak dan kecepatan kendaraan yang tinggi. Sehingga saya hanya bisa mengambil gambar pada jalur datar saja.

Tiba di Singaraja menjadi saat-saat yang paling membahagiakan saya. Setelah melalui jalan yang mirip seperti rel jetcoaster, akhirnya kami menikmati jalan landai dan lurus. Setelah mendapat tempat penginapan yang sesuai, kami tidak langsung beristirahat. Hotel tempat kami menginap sangat unik. Selain hotel, tempat itu juga berfungsi sebagai kebun binatang mini dan memiliki empat ekor dolphin. Pada jam-jam tertentu, para tamu hotel dapat menyaksikan dolphin show gratis. Memang tidak sebesar dolphin show di Ancol, namun justru inilah keunggulannya menurut saya. Kami dapat bercengkerama langsung dengan dolphin secara bebas bahkan berenang bersama dolphin di kolam air laut. Sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa bagi saya dapat mengelus seekor dolphin seperti mengelus seekor anak anjing. Bagi kami siang itu tidak ada waktu luang untuk beristirahat karena kami sibuk menikmati dolphin show dan bermain dengan hewan-hewan lainnya. Bagi kami ini semua hanyalah pemanasan sebelum besok subuh kami harus “berburu” dolphin ditengah laut.

Untuk bisa melihat dolphin di tengah laut, biasanya dikenakan tarif sekitar Rp 50.000 per orang dan bisa ditawar. Tapi jika anda adalah turis mancanegara, tarif yang dikenakan bisa mencapai US$ 25 atau sekitar Rp 250.000 per orang. Kendaraan yang digunakan adalah perahu motor bercadik dan kami harus sudah berangkat dari dermaga sekitar pukul 05.30 waktu Bali atau pukul 04.30 waktu Jakarta. Biasanya perjalanan memakan waktu 30 menit untuk mencapai tengah laut ditambah lagi harus berputar-putar kesana kemari mengejar dolphin yang sedang mencari makan. Biasanya perahu akan kembali ke dermaga sekitar pukul 08.15 waktu Bali.

Esok paginya, kami dibangunkan petugas hotel pukul 05.20 dan harus segera bersiap-siap karena perahu yang akan membawa kami sudah menunggu. Sekitar pukul 05.45 waktu Bali kami sudah meninggalkan pantai dan menuju ke tengah laut. Saat itu saya merasa sangat terharu sekali karena saat-saat seperti itu mengingatkan saya akan masa kecil saya di Kalimantan. Lahir dan hampir sepuluh tahun tinggal di Kalimantan merupakan masa-masa yang sulit saya lupakan. Laut menjadi sahabat saya setiap hari karena rumah saya dulu memang persis menghadap ke laut. Dulu teman-teman saya sering berkata, “jangan ngaku anak Kalimantan kalau nggak bisa berenang.” Memang benar dan mungkin itu sebabnya dulu ayah saya selalu membawa saya ke tengah laut dengan perahu karet dan menceburkan saya dengan pelampung kemudian meninggalkan saya sendirian dan ketakutan di tengah laut hingga arus pasang mendorong saya kembali ke pantai sore harinya. Sambil sedikit mengenang masa kecil saya, matahari mulai memancarkan sinarnya dan menebar warna-warni yang sangat indah di langit Lovina. Sayang, kamera saya yang sederhana tidak bisa menangkap dengan jelas detai-detail magic hour meskipun beberapa kali saya sempat mengambil gambar saat-saat tersebut.

Hampir satu jam kami berkeling di tengah laut dan belum ada tanda-tanda pemunculan dolphin. Matahari mulai tinggi dan udara mulai panas namun tidak menyurutkan semangat saya dan istri. Maklumlah, kami berdua termasuk pasutri yang hyperaktif alias tidak bisa diam. Sementara perahu-perahu yang lain sudah terlihat semakin banyak dan saat itu baru saya sadari ternyata hanya kami berdua yang bukan turis asing. Semua perahu di kanan kiri kami selalu membawa penumpang kalau bukan orang bule ya orang Jepang. Sekitar pukul 07.00 barulah pemunculan pasukan dolphin ini mulai terlihat. Mereka mencari makan dengan bergerombol. Sebagian dari mereka bahkan melompat hingga tinggi ke udara. Entah mereka tahu sedang diperhatikan atau hanya sekedar melompat. “Perburuan” itu sangat seru karena pemunculan mereka sangat tidak menentu lokasinya dan gerakan mereka sangat cepat. Saya akui kecepatan tangan saya dengan kamera digital tidak ada apa-apanya dibandingkan kelincahan mereka. Beberapa perahu bahkan kewalahan mengikuti pergerakan mereka. Beberapa turis asing terlihat antusias dengan kamera-kamera mereka. Entah mengapa saat itu saya benar-benar merasakan kebesaran Illahi. Rombongan dolphin yang bersahabat, lucu dan cerdas, pemandangan yang luar biasa indah, lukisan langit fajar yang tidak akan saya lupakan dan antusiasme orang-orang yang rela mengeluarkan begitu banyak uang demi melihat makhluk-makhluk Tuhan yang indah ini seakan memberikan saya teguran untuk mengingat kembali kebesaranNya. Pukul 08.00 hampir tidak ada lagi dolphin yang terlihat. Mungkin mereka sudah terlalu kenyang menyantap ikan-ikan sarapan mereka pagi itu. Layaknya perpisahan, kami merasa sedih harus berpisah dengan para dolphin dan kami bergegas kembali ke dermaga. Saran saya, buanglah jauh-jauh pikiran “Lihat lumba-lumba aja kok mahal dan jauh amat. Kan di Ancol ada.” Percayalah, keindahan fajar di Lovina dan pengalaman seru mengejar dolphin di tengah laut tidak akan bisa dinilai dengan uang. Kami berdua tidak akan pernah melupakan kebesaran Illahi yang kami rasakan selama dua jam diatas perahu bercadik ditengah laut Lovina. Sebenarnya setelah melihat dolphin, kami berencana ke taman laut Lovina untuk snorkeling namun karena keterbatasan waktu, kami mengurungkan niat kami tersebut dan lebih memilih kembali bermain-main dengan dolphin di hotel tempat kami menginap.

Kembali ke Denpasar, kami memilih rute yang berbeda dari rute berangkat. Kami memilih rute Kintamani-Ubud yang meskipun lebih jauh, tetapi jalurnya tidak se ‘seram’ rute Bedugul. Selain itu, pemandangan di rute ini juga lebih indah dibandingkan rute Bedugul. Seperti yang kami perkirakan, saat makan siang kami tepat di daerah Kintamani. Kami memilih restoran yang mempunyai mount view terindah dan menghabiskan waktu sejenak untuk makan siang dan beristirahat sambil menikmati keindahan alam. Lagi-lagi kami menyadari bahwa di restoran ini hanya kami berdualah yang bukan turis asing. Kami sengaja tidak menghabiskan makanan terlalu banyak karena kuatir perjalanan yang masih berliku-liku akan mengguncang isi perut kami. Tetapi kami cukup beruntung karena rute ke Ubud tidak se ‘seram’ yang saya bayangkan. Jalur-jalur yang dilalui relatif lurus dan datar. Hanya saja penyakit ngantuk mulai menyerang kami berdua sehingga kami tidak terlalu menikmati pemandangan. Sampai di Ubud, kami menyempatkan diri untuk ‘bersillaturahmi’ dengan ‘kerabat’ di Monkey Forrest Sanctuary. Meskipun hanya sebentar karena keterbatasan waktu, namun hubungan saya dengan monyet-monyet disini cukup mesra sebelum akhirnya kami harus melanjutkan perjalanan ke pasar Ubud untuk berburu gelang manik-manik yang beberapa tahun belakangan ini mulai saya koleksi.

Sesuai rencana, seharusnya kami juga melanjutkan perjalanan ke Lombok keesokan harinya. Namun karena berbagai pertimbangan, akhirnya petualangan ke Lombok kami tunda hingga tahun depan. Mungkin akan kami gabungkan dengan rencana kami mengunjungi Flores yang insyaallah akan kami lakukan tahun depan. Untuk mengobati kekecewaan karena gagal snorkeling dan batal ke Lombok, kami disarankan untuk snorkeling di pulau Serangan dekat Sanur. Pulau ini bisa dicapai dengan melalui sebuah jembatan. Pulau yang tadinya kecil ini kemudian diperluas oleh keluarga cendana dengan melakukan reklamasi pantai. Tidak banyak orang yang tahu tentang pulau yang luasnya sekitar 600 hektar ini. Tidak banyak bangunan disini dan hanya tanah kosong dan semak-semak belukar disertai jalan-jalan tanah yang tidak beraturan. Beberapa café menghiasi pinggiran pulau ini namun lebih mirip sebuah diskotik terselubung. Pantai di pulau ini cukup nyaman untuk bersantai karena hampir tidak ada orang yang mengunjunginya. Namun, karena pantai ini adalah pantai buatan, maka pemandangan bawah lautnya tidak seindah taman laut yang sebenarnya dan lebih banyak rumput laut yang membuat suasana jadi tampak seram. Sebagai gantinya, kami dapat dengan bebas mencari banyak kelopak kerang yang indah di pinggiran pantai.

Setelah beberapa hari kami isi dengan banyak aktivitas yang melelahkan, esoknya istri saya lebih memilih untuk bersantai di Black Canyon Coffee Shop, Kuta sambil serius mengerjakan pekerjaan kantor dengan menggunakan laptop. Sementara itu, saya lebih memilih untuk berjalan-jalan dipantai Kuta. Namun karena Kuta bagi saya sudah agak membosankan, saya lebih memilih untuk menelusuri garis pantai yang mendekati landasan bandara. Disitu, saya bisa dengan jelas memperhatikan dan mengambil banyak gambar pesawat-pesawat yang akan mendarat maupun yang akan take off. Ritual menikmati Kuta sunset nampaknya batal kami nikmati sore itu karena cuaca yang cukup berawan. Bahkan di utara mendung sudah pekat menutupi langit. Tetapi ada beberapa saat magic hour yang sempat kami shoot meskipun harus berebutan posisi dengan para turis-turis asing. Yang membuat suasana semakin seru adalah perubahan dan kecepatan gerakan awan yang sulit diprediksi. Jadi kami harus sabar menanti saat-saat yang tepat untuk mengambil gambar dan belum lagi kehebohan para turis yang terkadang mengganggu pemandangan pengambilan gambar. Kamera digital saya memang terbatas dalam feature pengambilan gambar. Namun saya tidak patah semangat untuk mengamati karya agung ini. Sekali lagi kami ditegur untuk mengingat kembali kebesaran Illahi melalui keagungan alam yang ditunjukan olehNya pada kami di depan Black Canyon Coffe Shop, Kuta.

Pulang kembali ke Jakarta adalah hal terberat yang kami rasakan selama di Bali. Tidak terasa, sudah satu minggu kami berada disini dan itu berarti sudah satu minggu kami terhindar dari keras dan penatnya Jakarta. Sudah terbayang dalam benak saya bagaimana kami harus melihat kembali hutan-hutan beton, kezaliman para pengendara motor, supir bis dan angkot serta keruhnya udara Jakarta. Itulah sebabnya kami memilih penerbangan pagi dari Denpasar agar terhindar dari kemacetan Jakarta. Dan sudah menjadi kebiasaan saya, dimanapun saya pergi menggunakan pesawat, saya selalu mengambil gambar pesawat terbang dan bandara setempat. Dunia penerbangan adalah cita-cita saya dari kecil. Namun setelah gagal meraih cita-cita ini, saya tetap menjadikannya sebagai hobby. Entah mengapa saya begitu mengagumi pesawat terbang dan dunianya. Sambil berusaha melupakan gambaran penatnya Jakarta, kami berdua mencoba merencanakan perjalanan kami tahun depan sambil melihat-lihat peta kawasan Nusa Tenggara khusunya Lombok dan Flores. Tetapi kami tetap mempertimbangkan kawasan Bali yang belum kami sentuh seperti pulau Nusa Penida, kawasan Bali barat dan timur termasuk pantai Karang Asem. Sambil menanti detik-detik landing di cengkareng, saya menghibur diri dengan mengambil beberapa gambar melalui udara. Banyak pemandangan menarik selama menelusuri daratan Jawa timur dan tengah. Untungnya cuaca saat itu cukup cerah sehingga sudut sinar cukup membantu pengambilan gambar. Uniknya, ketika hendak mendarat di Denpasar, penumpang terhibur dengan keindahan pantai Bali. Namun jika hendak mendarat di cengkareng, penumpang selalu tersenyum sambil berkata, ”wah kok kumuh banget ya?”


Sunday, April 15, 2007

Dark Poets Society

DOA KEPADA YANG DATANG



Ya Tuhan, aku melihat bayangan kesombongan di kaki pintu
Langkah demi langkah seakan memberi awan suram ke dalam hati
Tatapannya memandang rendah kami
“Aku datang dengan pundi-pundi dan dapat kubeli harga nyawamu”
Gema di lidahnya berkata demikian

Ya Tuhan, kami tak bernilai di hadapan mereka
Pundi-pundi mereka berkuasa atas kami
Mata gelap mereka menghapus derajat kami
Istana dan silaunya batu berkilau telah membutakan mereka

Ya Tuhan, berilah kami jalan
Berilah kami kekuatan bertahan dalam awan gelap
Kami bertahan demi yang kami cintai
Kami yakin sinarMu ‘kan datang
Dan mengusir awan gelap yang membutakan hati mereka



UNTUK PARA PENJAGA MENARA

Tiada yang lebih hina selain nama besar kerajaanmu
Tiada yang lebih buruk selain langkah aroganmu
Tiada yang lebih nista dari cibiranmu kepada kami

Setiap katamu adalah siksa api bagi kami
Pandangan matamu selalu berkata, “Akulah sang penjaga, kaulah sang budak.”
Cibiranmu adalah hinaan bagi kami.

Jari telunjukmu selalu mengarah pada kami
Tepat diantara dua mata kami memandang
Dan siksa api selalu membakar hati kami

Mereka yang selalu datang berlapis kain kesombongan
Tidakkah mereka sadar? Tidakkah mereka berpikir?
Tingkahmu layaknya sang maha benar

Kami tak gentar dengan tatapan bodohmu
Kami tak gentar dengan siksa apimu
Kami tak gemetar mendengar derap sombongmu
Kami tak gemetar dengan wajah murkamu

Dalam doaku selalu terucap
Bersabarlah, Sang Khalik yang Maha Pemurah tidak akan membiarkan kita
Dalam mimpiku selalu kulihat
Pohon suka yang tumbuh rindang dimana kita akan bermain dibawahnya

Bawalah ketamakan kalian ke akhirat kalian
Bawalah api siksa kalian ke rumah tuannya
Karena kalian tak pernah menghormati yang hidup
Karena kalian tak pernah mengerti yang kalian jaga

Suatu saat kami akan berenang dalam lautan bahagia
Suatu saat kami akan pergi meninggalkan kerajaan kalian yang zalim
Kami akan bahagia melihat kerajaanmu jatuh
Kami akan bahagia melihat menaramu tak lagi berkuasa

…dari kejauhan kami melihatnya dan..
…kami ‘kan tersenyum.



KERAJAAN ZALIM

Begitu angkuh berdiri tegak ditengah mereka yang lemah
Lumbung-lumbung yang tersebar dipenjuru dataran
Ribuan budak menungguinya dengan hati gundah
Perisai besar menghiasi gerbang setiap lumbung

Hati yang buta pada para raja di menara
Mengeluarkan titah tanpa nurani
Tangan-tangan kotornya menggerakkan para budaknya
Bagaikan sebuah bidak catur

Dibawah perisai besarnya para budak berduka
Tersenyum menyimpan sakit dan luka yang tak akan sembuh
Jari-jari lemah dipaksa mengeruk pundi
Mata yang lelah menjamu matahari hingga rembulan

O, sang raja buta dan congkak
Akhir masamu sudah dekat
Musuh besarmu gagal kau runtuhkan
Kini para penjaga lumbung memusuhimu



DILLAH YANG DITINGGAL

Anak kecil, anak yang malang
Siang ini kamu sendiri
Anak pintar, anak yang patuh
Malam ini kamu direnggut kesunyian

Apa yang kamu lakukan saat arungi siang?
Apa yang kamu lakukan menjelang malam?
Awan yang menggoda sinar sang surya kikuk melihatmu
Bintang yang mengawal rembulan takjub akan ketabahanmu

Adakah sayap ibumu menghangatkanmu?
Adakah suara ayahmu menuntunmu?
Akankah ibu mengecup keningmu menjelang tidur?
Akankah ayah menggendongmu saat kamu lelah?

Anak kecil, anak yang malang
Lihat, sahabatmu sudah datang
Dengarlah, pintu beranda sedang diketuk
Masuklah kesunyian, sahabat abadimu



DI BALIK JERUJI BESI

Akankah ini berakhir?
Akankah ini berubah?
Tirai-tirai besi yang dihiaskan di hadapan kami
Kematian nurani kami secara perlahan

Aku heran dan bertanya-tanya
Perbudakan macam apa ini?
Aku meratap sambil terisak
Binatang apakah engkau?

Dibalik besi yang semakin kokoh
Aku tak tinggal diam
Tubuhku memang terkurung
Tetapi mata dan otakku menggapai garis-garis pantai

Lama baru aku tersadar
Ini sebuah ujian
Penderitaan hanya menunda kebahagiaan
Kepompong buruk akan melahirkan jasad baru


HARI YANG BAIK

Hari ini adalah hari yang baik.
Awan gelap yang merambah langit sejak fajar mulai menurunkan air hujan.
Entah kenapa aku sangat menyukai hujan deras.
Entah kenapa aku sangat suka kisah Nabi Nuh.
Aku suka bagian saat manusia dihancurkan oleh banjir besar.

Saat udara dipenuhi kucuran air deras ini, aku selalu bersuka.
Jalan raya nampak lebih gembira karena guyuran air segar ini.
Mungkin karena sepeda motor lebih memilih untuk berhenti dan berteduh.
Mungkin karena itu kesemerawutan jalan berkurang.
Itu berarti saat hujan besar adalah saat paling berbahagia.

Aku menyebut mereka itu syaitan.
Lihatlah tingkah mereka dijalanan seolah iblis yang mendapat restu illahi.
Mereka tidak pernah mau mengatakan “maaf” ketika mereka bersalah.
Mereka selalu melanggar paras-paras kebenaran dan berpikir bahwa mereka adalah putera Allah.
O’ para syaitan, kuda besi beroda dua, mengapa kalian bisa menjadi elemen kehidupan yang begitu rendah?

Saat ini aku menyusuri jalan-jalan basah dan angin dingin dengan gembira.
Air deras mengucur dari langit seolah berkata, “Minggir kalian, syaitan! Lagakmu begitu besar, akan tetapi kau begitu takut dengan air dari langit.”
Ah, begitu gembiranya melihat jalanan tanpa syaitan.
Seolah memang benar kata orang, “Ketika sepeda motor melewatimu, berarti Tuhan sedang lengah.”

Sukabumi Tanjung

Menurut pendapat banyak orang, mimpi adalah bunga tidur, tanda-tanda yang diberikan kepada kita dari alam bawah sadar. Mimpi juga bisa berarti peringatan akan kejadian di masa datang yang akan kita alami. Atau malah mimpi biasanya merupakan indikasi kebalikan dari kenyataan. Sering kali kita mengalami suatu peristiwa yang rasanya tidak asing bagi kita. Tempat kejadian, orang-orang yang terlibat dan kronologi kejadian seperti sudah pernah kita alami sebelumnya. Saya sering mengalami hal seperti itu dan ketika saya mencoba untuk mengingat-ingat, ternyata saya pernah mengalaminya dalam mimpi. Bagi beberapa penggemar judi, mimpi malah dapat dikategorikan ke dalam simbol-simbol angka. Ada satu mimpi yang pernah saya alami yang menurut saya cukup unik. Saya tidak terlalu ingat secara rinci, tetapi secara garis besar dapat saya ceritakan.
Suatu hari, saya ikut sebuah mobil box yang biasa mensuplai ayam potong untuk McDonald’s, tempat saya bekerja. Satu mobil biasanya berisi satu sopir dan satu pembantunya. Saya ikut dengan mereka karena saya mengenal sopir dan pembantunya. Sopirnya adalah seorang karyawan saya di McDonald’s Pondok Indah yang bernama Elyuzar. Sedangkan pembantunya, saya tidak ingat. Mobil itu akan mengirimkan beberapa potong ayam ke sebuah store McDonald’s yang letaknya cukup jauh.
Dalam perjalanan, kami bertiga melewati suatu daerah di pinggiran laut dan dekat dengan pelabuhan. Disebelah kiri, saya dapat melihat lautan yang luas dan disebelah kanan, sebuah hutan belantara yang lebat mengiringi perjalanan kami. Setelah melewati perjalanan yang cukup lama, kami tiba disebuah ujung jembatan yang cukup panjang membelah lautan. Jembatan ini letaknya tidak cukup tinggi sehingga ketinggian air laut seakan dapat dengan mudah menenggelamkannya. Memang tidak banyak mobil yang lewat jembatan itu. Namun jembatan itu adalah jalur satu-satunya yang harus kami lewati. Setelah berhenti sejenak, akhirnya mobilpun melaju diatas jembatan itu. Air laut nampak hampir sejajar dengan permukaan jalan. Membuat saya menutup mata saya karena ketakutan. Saya sempat melihat ke arah kiri saya dan saya lebih merasa sedang berada diatas sebuah kapal motor daripada sebuah mobil box.
Tidak lama kemudian, mobil tiba didaratan seberang. Daerah ini nampak seperti sebuah pedesaan yang akrab dengan nuansa tradisional. Rumah-rumah penduduk di sekitar cukup padat meskipun tidak banyak penghuninya yang terlihat. Jalan-jalannyapun tidak dilapisi aspal. Hanya tanah yang becek dan terlihat genangan air disana-sini. Menurut pembantu sopir, baik dimusim kemarau ataupun hujan, genangan air itu selalu ada. Itu disebabkan karena daerah tersebut dekat dengan laut. Menurutnya juga, penduduk didaerah itu juga sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani garam. Banyak tambak-tambak garam yang tersebar disitu. Bahkan saya sempat melihat sebuah rumah tempat pengolahan garam lengkap dengan para pekerjanya yang sedang sibuk mengolah garam. Sepanjang jalan, warna putih selalu menghiasi jalan yang kami lalui. Menurut sang sopir, warna putih itu adalah sisa-sisa garam yang tercecer.
Tikungan demi tikungan dan tanjakan demi tanjakan kami lalui dan saya belum melihat jalan aspal sedikitpun. Anehnya meskipun jalanan ini hanya tanah biasa, namun cukup keras untuk dilalui mobil karena lapisan ceceran garam yang sudah memadat. Akhirnya entah mengapa, saya dan pembantu sopir turun dari mobil dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sementara, sopir tetap mengemudikan mobil box-nya ketempat tujuan. Awalnya kami sempat bingung mengikuti jalan yang penuh dengan persimpangan. Setelah melalui daerah perkampungan padat, kami akhirnya tiba disebuah bangunan tua yang sederhana. Letaknya tepat diatas bukit dan udaranya sangat sejuk. Daerah ini, meskipun banyak rumah penduduk yang terlihat, namun penduduknya hampir tidak kelihatan. Entah mereka memang enggan keluar rumah atau memang rumah-rumah tersebut kosong. Yang jelas, di balik bangunan sederhana ini, saya menemukan Elyuzar sang sopir sedang menikmati pemandangan sambil menghisap sebatang rokok. Tangan kirinya dimasukan kedalam saku jaketnya ketika saya memergokinya sedang bersantai.
Perasaan cemas yang sempat menghantui saya selama perjalanan, akhirnya hilang setelah saya dapat menemukan kembali sang sopir dan mobil box-nya. Saya kemudian sadar bahwa bangunan tua yang sederhana ini adalah store McDonald’s yang kami tuju. Saya melihat keatas bangunan dan seperti biasa, sebuah tulisan McDonald’s besar dengan logo M-nya terpampang diatas. Sebuah simbol kapitalisme sejati yang bercokol di sebuah daerah pedesaan yang jarang penduduknya meskipun banyak terlihat rumah penduduk. Saya jadi teringat ucapan salah seorang kawan saya sewaktu kuliah dulu tentang McDonald’s. Ia mengatakan bahwa sampai kiamatpun, McDonald’s tak akan pernah sepi pengunjung dan jika ada McDonald’s ditengah hutan, tetap saja akan ramai.
Ucapannya ternyata tidak seluruhnya benar. Setidaknya dalam mimpi saya. Saya memperhatikan store ini dengan perlahan. Bangunannya adalah bangunan kuno zaman Belanda, berukuran kecil, tidak memakai AC dan hanya ada sebuah kipas angin besar ditengah lobby. Meja dan kursinya pun tidak standard McDonald’s. Hanya meja makan biasa seperti dirumah-rumah makan kelas menengah dan begitu juga dengan kursinya. Jumlah meja makannya kalau saya tidak lupa, tidak lebih dari dari dua buah. Bangunan ini berwarna lembut dengan susunan batu-batu besar berwarna hitam menghiasi bagian bawah dindingnya. Bagian dalamnya mirip dengan sebuah toko makanan kering di Yogyakarta. Saya ingat sebuah toko serba ada yang dulu sering saya kunjungi bersama ibu saya di Balikpapan yang bernama Sifo. Lantainya berwarna kusam meskipun tidak ada sampah yang terlihat. Tidak banyak customer yang datang ke McDonald’s ini. Bahkan tidak ada sama sekali pembeli yang terlihat. Entah berapa target sales yang diberikan pada store seperti ini. Saya melihat hanya ada satu mesin kasir sederhana diatas sebuah etalase kaca yang memajang berbagai macam makanan kering. Tidak seperti biasanya juga, store ini kelihatannya tidak memiliki dapur, gudang penyimpanan ataupun ruang ganti karyawan. Benar-benar seperti sebuah toko makanan kering.
Setelah memperhatikan agak lama, saya kemudian melihat dibagian luar store ini. Tidak jauh dari pintu utamanya, terdapat sebuah halaman indah dan cukup luas. Dan ada sebuah meja lengkap dengan beberapa kursinya sedang digunakan oleh sang manager store ini dan beberapa anak buahnya. Mereka nampak sedang asyik bersantai sambil mengobrol. Setelah saya dekati, ternyata managaer store ini adalah bekas rekan satu team saya di McDonald’s Mall Depok dan Cilandak, yaitu Siti. Saya sering memanggilnya dengan mbak Siti. Setelah berbincang-bincang dengan mbak Siti, saya baru tahu bahwa store ini bernama McDonald’s Sukabumi Tanjung. Entah saya saat itu benar-benar berada di Sukabumi atau tidak, yang jelas nama itu sangat aneh mengingat daerah ini dekat dengan garis pantai.
Setelah lama berbincang-bincang, timbul kembali kekhawatiran saya karena ternyata sang sopir tidak berniat untuk kembali ke Jakarta. Ia ingin langsung pulang ke tempat kerjanya yang katanya di Sukabumi. Saya kembali bingung memikirkan cara untuk pulang dan seandainya sang sopir bersedia mengantarkan saya untuk pulang ke Jakarta, saya juga enggan melewati jembatan itu lagi. Tidak lama kemudian, saya segera tersadar dari mimpi aneh namun indah ini dan tidak bisa menahan perasaan saya untuk segera menuliskan mimpi ini.
Saya sendiri tidak mengerti apa arti dari mimpi yang saya alami ini. Saya juga dari dulu tidak pernah peduli dengan mimpi-mimpi yang saya alami. Namun adakalanya mimpi itu membawa saya kedalam suatu suasana yang bisa memberikan perasaan tenang, takut dan bahagia bagi saya. Sukabumi Tanjung adalah salah satu contohnya. Saya begitu terkenang dengan masa kecil saya di Balikpapan ketika mobil box melewati jalur dipinggir laut dengan hutan lebat di kanan saya. Suasana itu mirip dengan daerah pelabuhan di kota kelahiran saya, Balikpapan. Saya begitu takut ketika melewati jembatan ditengah laut yang seakan-akan bisa menenggelamkan siapa saja yang melintas diatasnya. Suasana itu mengingatkan saya pada saat pertama kali saya belajar berenang dilaut yang letaknya tak jauh dari rumah saya di Balikpapan. Air yang gelap dan dingin sementara saya hanyalah seorang anak kecil yang tidak bisa berenang sama sekali, terapung-apung sendirian dengan hanya menggantungkan harapan pada sebuah pelampung kecil yang mengitari dada saya. Rasa takut itu terus menghantui saya hingga kini, meskipun tidak lama setelah itu saya menjadi mahir dalam ilmu renang. Bahkan saya sangat rindu dengan pemandangan laut yang dulu senantiasa menemani saya setiap saat. Yang paling membuat saya terkesan adalah model bangunan store Sukabumi Tanjung yang mengingatkan saya pada rumah saya di Balikpapan. Rumah itu begitu sejuk dan sederhana. Jendelanya dilapisi dengan teralis besi berbentuk segi empat. Mirip dengan store Sukabumi Tanjung yang juga sejuk. Dan nama Sukabumi Tanjung juga mengingatkan saya pada salah seorang pembantu rumah tangga saya yang dulu mengasuh saya sewaktu balita. Saya tidak tahu nama aslinya, yang jelas kami sekeluarga memanggilnya mbok Tanjung.

War in Hollywood

Setelah suksesnya film trilogy Lord Of The Ring, Hollywood seakan bernafsu untuk membuat film-film kolosal berlatar sejarah dari peradaban menengah. Meskipun Return… sendiri bukan berdasarkan sejarah nyata, tetapi film ini banyak memberikan inspirasi bagi para insan perfilman untuk membuat film kolosal dengan setting yang sangat mendetail, adegan pertempuran yang super dahsyat dengan melibatkan ratusan ribu prajurit dan teknologi special efek yang mengagumkan. Mungkin masih teringat betapa adegan penyerbuan prajurit Rohan ke Minas Tirith dengan menaklukan pasukan Mordor di padang Peleanor begitu menegangkan dan menyita banyak perhatian penonton. Adegan itu bisa dikatakan adegan puncak dari film itu. Walaupun dari segi cerita, pertempuran Peleanor bukanlah pertempuran terakhir. Dan tidak menandakan kejatuhan Mordor, karena setelah itu Aragorn, sang raja Gondor harus kembali bertempur di Gerbang Hitam Mordor melawan 10.000 pasukan Orcs. Lalu mengapa adegan itu sekarang banyak dijadikan acuan adegan pertempuran kolosal?
Pertama, pertempuran tersebut melibatkan ratusan ribu prajurit yang saling serang dan bunuh. Walau kenyataannya sebagian besar prajurit tersebut adalah rekayasa animasi komputer. Disini dibutuhkan kecermatan teknologi tinggi. Tidak terlihat adegan yang tambal sulam dan semuanya dibuat dengan begitu rapih. Mulai dari prajurit yang menunggang kuda hingga pasukan musuh yang terlindas diterjang pasukan kuda Rohan. Penonton bioskop pun rela tidak berkedip dan menahan diri untuk tidak keluar ke kamar kecil.
Kedua, detail yang ditampilkan seolah memberikan kita pelajaran seni tingkat tinggi. Mulai dari detail pakaian tempur masing-masing kerajaan, ciri khas senjata yang berbeda dan kecermatan menampilkan teknologi animasi yang digabungkan dengan adegan sungguhan. Ketiga, pertempuran-pertempuran tersebut memang kejadian yang dinanti-nantikan oleh para penonton. Kalau kita mengikuti film Lord of The Ring dari awal ( Fellowship of The Ring ), akan kita dapatkan bahwa setiap episode film ini selalui ditandai dengan pertempuran sebagai puncak cerita. Pertempuran menjadi moment yang penting bukan karena sekedar adegan action yang seru atau tingkat ketegangannya, tetapi akumulasi dari cerita itu sendiri. Dalam Fellowship… pertempuran puncak terjadi dihutan dekat sungai Besar setelah mereka melalui Argonath. Disinilah para fellowship tersebut diserang mendadak dan terpisah-pisah. Disinilah kemudian pernyataan yang menentukan muncul..”The Fellowship is Broken!” Dalam The Two Towers, adegan puncak terjadi dalam pertempuran Helms Deep. Pertempuran ini menjadi puncak cerita karena dari sinilah penghimpunan kekuatan baru dimulai. Pasukan Rohan yang kalah jumlah akhirnya menang setelah dibantu Eomer dengan pasukan Rohirrim dan Gandalf. Dalam Return of The King, pertempuran Peleanor menjadi penting karena dalam ajang ini, sebagian besar pasukan Mordor dapat dikalahkan dengan dukungan pasukan Rohan dan pasukan kematian yang dipimpin Aragorn. Selain itu, inilah moment pre-finale, dimana Aragorn kembali ke Gondor dan bersiap menjadi raja.
Mengikuti suksesnya trilogy Lord of The Ring, banyak insan perfilman bernafsu untuk membuat film dengan tema serupa. Sebut saja King Arthur, Troy dan Alexander. Banyak harapan tertuju pada film-film tersebut untuk bisa menyaingi Lord of The Ring. Namun nampaknya masih cukup sulit karena Lord… masih didukung oleh sesuatu yang sangat sulit ditandingi yaitu JRR Tolkiens. Dalam menulis cerita Lord.. Tolkiens seakan menciptakan suatu peradaban baru. Dunia sendiri yang diceritakannya dengan sangat mendetail dan akurasinya sangat tepat. Silsilah kerajaan, hubungan antar suku, kebudayaan hingga sastra dari tiap kebudayaan diceritakan dengan sangat spesifik dan mendetail.
Penggemar film sempat berharap banyak dengan munculnya film Troy, sebuah legenda dan mitos dari Yunani yang juga mengambil pertempuran kolosal sebagai bumbu cerita. Tetapi dalam kenyataannya, tetap saja Troy belum bisa menandingi Lord… Sebenarnya teknologi yang digunakan untuk menggambarkan pertempuran sudah cukup baik. Perhatian penonton mungkin mulai serius ketika Agamemnon mulai berlayar dengan 1000 kapal menuju Troya. Adegan 1000 kapal menjadi perhatian dan kekaguman penonton. Sayangnya pertempuran pertama tidak menjadi suatu titik balik yang penting karena pasukan Troya dapat dengan mudah mengalahkan Yunani. Titik balik yang penting justru terjadi dalam pertempuran kedua yang tidak terlalu dahsyat. Disini Hector membunuh sepupu Achilles, Patroclus dan akhirnya menimbulkan dendam pada Achilles terhadap Hector. Jika dalam trilogy Lord of the Ring pertempuran mejadi selalu berakumulasi menjadi lebih besar, dalam Troy justru sebaliknya.
Selain Wolfgang Petersen, Oliver Stone nampaknya juga berambisi membuat konsep serupa dengan film Alexander. Dalam Alexander, acungan jempol patut diberikan karena Oliver Stone mencoba untuk menghadirkan sisi kemanusiaan sang raja agung tersebut. Jika kita berpikir tentang seorang raja yang sangat kuat, tak terkalahkan dan ditakuti semua orang, mungkin akan terkejut karena Alexander ditampilkan dengan hanya seperti manusia biasa. Alexander yang bisa sakit hati, marah, sedih bahkan ketakutan dan panik.
Secara garis besar, pengertian film kolosal itu sendiri masih berpijak pada segi sejarah. Semua sutradara yang membuat film kolosal, hampir dipastikan akan membuat film yang berlatar belakang sejarah. Namun ada sesuatu yang bergeser dari dulu hingga kini. Acuan dari kolosal itu sendiri saat ini cenderung berpijak pada adegan pertempuran yang maha dahsyat- Lord of the Ring adalah pelopor dalam hal ini. Jika melihat Ben-Hur, Cleopatra, atau Spartacus, acuan kolosal bertumpu pada beberapa adegan kemegahan saja. Adegan yang biasanya membutuhkan ratusan atau bahkan ribuan figuran yang sedang membangun sebuah pyramid, ribuan orang yang sedang menyaksikan pertunjukan gladiator. Namun film-film tersebut mempunyai unsur cerita yang bagus dan akting para bintang yang memukau. Saat ini, jumlah ribuan orang dapat digantikan dengan teknologi komputer, kemegahan pyramid sudah bukan sesuatu yang membuat kagum penonton. Itulah sebabnya saat ini, para insan perfilman dengan usaha keras dan teknik tinggi, mencoba untuk menggali sesuatu yang baru untuk dapat memberi kekuatan baru pada arti kolosal itu sendiri. Teknik mengemas pertempuran dan pertarungan yang tidak lepas dari unsur kolosal menjadi pilihan. Ketika Russel Crow bertarung dalam Gladiator, terlihat ribuan penonton memenuhi Colleseum untuk menyaksikan dirinya. Orang akan berpikir, inilah kolosal. Padahal, jumlah aktor yang ada dalam pengambilan gambar tersebut, tidak mencapai seratus. Ketika Raja Theoden memimpin serangan ke Minas Tirith dengan 6000 tentara melawan puluhan ribu tentara musuh, orang akan berpikir, inilah kolosal. Padahal semua itu adalah jasa rekayasa komputer.
Teknologi memang memainkan peranan penting dalam memperkuat makna kolosal. Saat ini, sutradara dapat membuat adegan super kolosal hanya dengan satu atau dua orang pemain. Tidak heran jika unsur cerita terkadang mendapat porsi kurang. Kemampuan akting yang serba pas-pasan dapat dengan mudah ditutup oleh adegan penyerangan 1000 pasukan atau gaya bertarung yang indah yang, lagi-lagi, harus berterima kasih pada jasa teknologi komputer.
Namun bukan tidak mungkin teknologi juga dapat mendistorsi sebuah artikulasi. Memang ketika kita menyaksikan Ben Hur atau Cleopatra, kita akan jarang menemui adegan perang seperti dalam Lord of the Ring. Teknologi di masa itu belum mampu menghadirkan imajinasi yang tinggi. Tetapi bagi para pecinta dunia film, pergeseran makna kolosal bukanlah suatu masalah. Mereka tetap mengkoleksi film-film seperti Lord of the Ring, Gladiator atau Troy seperti mereka juga memburu Ben Hur atau Cleopatra. Tiap-tiap zaman dan generasi memiliki keunggulan masing-masing. Ketika pecinta film zaman sekarang menyaksikan Ben Hur, mereka akan tertegun dengan apiknya cerita dan akting. Ketika orang tua kita menyaksikan Return of the King, mereka akan tertegun dengan sosok Gollum dan pertempuran Pelleanor.
Jadi, akankah makna kolosal berubah arah lagi? Setelah sekian banyak film kolosal produksi Hollywood menyihir penonton, tema dari film-film itu tidak pernah berubah. Sejarah atau mitos di masa lampau. Akankah film kolosal memakai tema masa depan? Star Wars nampaknya sedang membangun jembatan untuk menuju kesana. Jika kita perhatikan Star Wars episode 1 : The Phantom Mennace, kita akan lihat setting yang megah yang memperlihatkan ribuan penduduk suatu kota, pertempuran ribuan tentara (android) dan durasi yang cukup lama. Star Wars episode 2 : Attack of the Clone, juga memperlihatkan hal yang sama bahkan dalam skala yang lebih besar. Akan kita lihat di waktu yang akan datang, apakah Judah Ben Hur atau Aragorn atau bahkan Master Yoda yang dapat menjadi ikon film kolosal Hollywood.
Powered By Blogger