Monday, November 24, 2008

ONRUST yang tak pernah istirahat

Sepi, kosong dan menakutkan. Itulah kesan pertama jika kita mengunjungi Pulau Onrust. Sebuah pulau yang terletak di perairan Teluk Jakarta yang kini luasnya hanya 9 hektar. Tapi jangan salah, Onrust yang kini menjadi taman arkeologi dengan pemandangan yang terkesan menakutkan ini ternyata memiliki sejarah panjang.



Tak kenal istirahat
Pulau Onrust yang dapat dicapai dari Jakarta dalam waktu kurang lebih 30 menit ini mulai memainkan peranan pentingnya di abad ke 17. Waktu itu pulau ini berperan sebagai dermaga untuk persinggahan dan perbaikan kapal-kapal dari Eropa. Bahkan Kapten James Cook sebelum ke Australia pernah singgah dan memperbaiki kapalnya di Onrust pada tahun 1770.


Onrust sendiri dalam bahasa Belanda artinya adalah ‘Tak pernah istirahat’ atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Un-rest. Sebutan Onrust diberikan oleh orang-orang Belanda karena kesibukan di pulau ini yang seperti tak kenal istirahat. Sedangkan masyarakat lokal menyebut pulau ini sebagai Pulau Kapal. Karena begitu banyaknya kapal-kapal yang singgah di pulau ini. Sebagai tempat persinggahan dan perbaikan kapal, Onrust semakin memiliki fungsi penting dari waktu ke waktu dalam mendukung armada laut Belanda di Pulau Jawa.

Karena fungsinya yang begitu penting, tahun 1800, Inggris dibawah pimpinan H.L. Ball menggempur kekuatan Belanda di pulau ini. Tidak sampai disitu, di tahun 1806 dan 1810 Inggris menggempur kembali kekuatan Belanda di Onrust.


Tahun 1828-1848, Pulau Onrust mulai kembali dibangun dibawah pimpinan Baron Van Der Capellen dengan mengerahkan tenaga dari orang-orang Cina, pribumi dan para tawanan. Sayangnya semenjak Belanda membangun Pelabuhan Tanjung Priok, fungsi dari Onrust mulai berkurang. Tidak banyak lagi kapal-kapal yang singgah di Onrust. Cuma ada sebagian kecil saja yang diperbaiki disini.


Kekuatan Belanda di Pulau Onrust menjadi benar-benar hancur ketika pada tahun 1883 sebuah gelombang besar yang diakibatkan oleh letusan Gunung Krakatau meratakan semua bangunan sekaligus menghancurkan galangan kapal di pulau tersebut.



Semenjak itu, pulau yang dikenal ‘tak pernah istirahat’ ini menjadi benar-benar ‘beristirahat’. Tak ada lagi kehidupan di pulau ini hingga pada tahun 1911 dimana pemerintah Belanda menjadikan pulau Onrust sebagai pulau rumah sakit dan karantina haji. Pada waktu itu, rombongan calon haji yang akan menuju Mekkah harus tinggal dulu di pulau ini untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan laut. Maklum saja karena waktu itu rombongan haji tidak menggunakan pesawat terbang namun menggunakan kapal laut.


Keberadaan karantina haji di pulau ini tidak berlangsung lama. Tahun 1933 pulau ini kembali ditinggalkan dan kosong. Menjelang zaman kemerdekaan, tepatnya saat masuknya Jepang, Onrust semakin tidak mempunyai peranan sepenting dulu lagi. Pada masa awal kemerdekaan, Onrust dimanfaatkan sebagai rumah sakit dan karantina untuk penyakit menular dibawah pengawasan Departemen Kesehatan R.I.




Tahun 1960, pemerintah menggunakan pulau ini sebagai tempat penampungan gelandangan, pengemis dan untuk pelatihan militer hingga tahun 1965. Sempat juga dijadikan sebagai tempat tahanan politik. Keberadaan bangunan penjara masih dapat dilihat hingga kini sebagai bangunan yang terlihat relatif masih baru.




Setelah tahun 1965, Onrust kembali ‘beristirahat’. Disaat itulah sering terjadi penjarahan barang-barang material oleh warga Jakarta. Banyak bangunan-bangunan kuno seperti benteng dan rumah-rumah jaman kolonial yang dihancurkan untuk diambil batu batanya. Beberapa benda-benda bersejarah seperti barang-barang pribadi yang tersimpan juga tak luput dari penjarahan.


Onrust semakin lama menjadi pulau mati yang tak terawat sama sekali. Hingga pada tahun 1972, pemerintah daerah DKI Jakarta dibawah Gubernur Ali Sadikin menetapkan Onrust sebagai Cagar Budaya.


Para pendukung Onrust



Berwisata ke Pulau Onrust pasti tak luput dari tiga buah pulau disekitarnya yang terkait erat dengan Onrust. Tiga pulau tersebut adalah Bidadari, Cipir dan Kelor. Berbeda dengan Onrust, fungsi utama dari tiga buah pulau ini adalah sebagai benteng pertahanan. Hingga saat ini masih dapat dilihat sisa-sisa fondasi dari benteng dan kincir angin. Untuk memperkokoh kekuatannya di perairan Jakarta, Belanda membangun masing-masing satu benteng yang diberi nama Martello di pulau-pulau tersebut.

Di Pulau Kelor yang hanya berjarak 10 menit menggunakan kapal motor dari Onrust, masih dapat terlihat sebuah benteng yang berbentuk lingkaran. Di pulau ini memang tidak ada bangunan lain selain Benteng Martello. Kapal motor berukuran sedang pun susah merapat di pulau ini karena ukuran pulau yang sangat kecil dan dikelilingi perairan dangkal yang dipenuhi batu karang.



Pulau Cipir yang letaknya dekat dengan Onrust, juga memiliki sejarah yang tak jauh berbeda. Namun keadaan di Pulau Cipir saat ini lebih terlihat sebagai bekas karantina haji dan rumah sakit daripada sebuah pulau bekas pertahanan Belanda. Sisa-sisa zaman kolonial hampir tak terlihat sama sekali kecuali sebuah fondasi melingkar yang diyakini dulunya adalah bagian dari benteng Martello.


Kesan seram dan angker masih lekat di pulau ini. Bangunan-bangunan yang tampak hanya tinggal berupa puing-puing dan reruntuhan. Menurut petugas taman nasional, sisa-sisa bangunan bersejarah di pulau Onrust dan sekitarnya sudah terkubur dalam beberapa lapisan. Jadi untuk menemukan semua sisa bangunan di era VOC, harus dilakukan penggalian yang dikhawatirkan akan merusak sisa-sisa bangunan di atasnya.


Dibandingkan dengan ketiga pulau diatas, pulau yang keempat yaitu Pulau Bidadari terlihat jauh lebih baik perawatannya. Pulau ini memang dikelola oleh pihak swasta sebagai pulau rekreasi. Dermaga di Pulau Bidadari terlihat lebih bagus dan lebih banyak kapal motor yang merapat disana. Beberapa penginapan berupa cottage juga terlihat rapih dan teratur. Di akhir pekan, banyak warga Jakarta yang menghabiskan waktu untuk berlibur disini. Selain itu, disini juga terdapat pusat penangkaran biawak dan pusat pembibitan berbagai tanaman.

Jika anda tertarik untuk melihat lebih ke dalam, anda akan menemukan sebuah bekas benteng Martello yang keadaanya masih cukup terawat. Benteng dengan cirri khas berbentuk lingkaran ini terdapat di pinggir pulau dengan pohon-pohon besar yang mengelilinginya. Meskipun sudah tidak utuh lagi, namun bentuk bangunan utama masih terlihat jelas dan lorong-lorong benteng juga masih terawat baik. Jika anda menyusuri lorong, maka anda akan menjumpai sebuah gudang yang dulunya dipakai untuk penyimpanan mesiu.

Maria Van De Veldes

Mempelajari sejarah di Pulau Onrust tak lengkap rasanya jika tak menyimak kisah-kisah gaib di pulau ini yang sampai sekarang masih sering dibicarakan orang. Jika anda berkesempatan mengunjungi Onrust, anda pasti akan mendengar kisah Maria si putri Belanda.


Konon Maria Van De Veldes adalah putri dari seorang pimpinan Belanda di Pulau Onrust. Namun dari sekian banyak warga Belanda yang mati di Onrust, hanya Maria lah yang hingga saat ini masih sering melakukan ‘penampakan’. Bahkan menurut petugas setempat, bulan Agustus 2008 sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan di Onrust terpaksa lari pontang-panting karena ‘dikerjai’ oleh Maria.


“Setiap orang yang punya niat nggak baik disini pasti akan diganggu Maria”, kata si petugas.


Tidak sampai disitu, petugas taman arkeologi juga menunjukkan tempat dimana Maria Van De Veldes sering menampakkan diri.


“Anda lihat pohon-pohon yang kering disana? Nah disitulah Maria sering berayun-ayun dengan gaun warna merah,” kata petugas sambil menunjuk ke arah lima buah pohon yang nampak kering. Yang aneh adalah semua pohon di pulau ini nampak rindang kecuali lima buah pohon yang ditunjuk oleh petugas itu.




Jadi, jika anda berkesempatan mengunjungi pulau Onrust, jauhkanlah semua pikiran-pikiran dan niat negatif. Anda tentu tak ingin kejadian bulan Agustus 2008 tadi menimpa anda juga bukan?



Di sisi timur pulau, terdapat sebuah kompleks pemakaman pribumi dimana salah satu dari makamnya diyakini sebagai makam dari Kartosuwiryo, tokoh pemberontak DI/TII. Tidak sulit untuk menemukan makam Kartosuwiryo. Makamnya berbentuk sebuah rumah kecil dan didepannya terdapat sebuah tulisan ‘Makam Keramat’.


Jemaah Haji tempo dulu.
Tahun 1911 hingga 1933 Pulau Onrust dan sekitarnya berubah fungsi menjadi karantina Haji. Beberapa bangunan fasilitas Haji masih dapat dilihat hingga sekarang meski kondisinya banyak yang sudah rusak berat dan bahkan hanya tinggal fondasinya saja.




Di antara sisa-sisa bangunan, dapat terlihat bekas bangunan barak Haji dengan bekas tiang pancangnya yang masih utuh. Dari letak tiang-tiangnya dapat diketahui betapa sempitnya dulu ruangan dalam barak tersebut. Sisa-sisa bangunan lainnya adalah ruangan untuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, rumah dokter dan tempat rawat inap pasien. Satu-satunya bangunan yang masih berfungsi hingga saat ini adalah bekas rumah dokter yang kini menjadi Museum Onrust.


Selain Pulau Onrust, Pulau Cipir yang letaknya cukup dekat juga dijadikan tempat untuk karantina Haji. Dahulu para rombongan Haji yang tiba dari tanah suci harus dikarantina di Pulau Cipir. Setelah itu mereka baru boleh menuju Onrust untuk kemudian dipulangkan ke Jakarta. Penyebrangan ke Onrust dari Pulau Cipir dulu menggunakan sebuah jembatan yang menghubungkan kedua pulau. Saat ini jembatan tersebut sudah tidak utuh lagi meski jalur utamanya masih jelas terlihat.



Di Pulau Cipir, fasilitas yang dibangun lebih banyak untuk fasilitas kesehatan. Disini masih bisa disaksikan bekas bangunan rumah sakit besar, rumah dokter dan beberapa ruangan rawat inap. Di Pulau Cipir ini juga masih bisa disaksikan bekas fondasi benteng Martello yang pada tahun 1850 hancur karena gelombang tidal.

Selain Onrust
Menghabiskan waktu untuk berwisata sejarah di taman arkeologi Onrust memang menyenangkan. Bagi yang hobby fotografi, selain belajar sejarah dapat juga menemukan objek foto menarik di pulau ini. Jika anda ingin menghabiskan waktu dengan menginap, anda bisa menginap di Pulau Bidadari yang suasananya cukup tenang untuk bersantai. Atau jika anda ingin yang bersuasana lebih meriah sedikit, anda bisa menginap di Pulau Untung Jawa yang berjarak hanya sekitar 20 menit dari Onrust.

Pulau Untung Jawa memang dikenal sebagai desa wisata bahari. Disini sudah banyak tersedia homestay, restoran dan bahkan tempat penyewaan sepeda. Berbagai paket perjalanan wisata ke pulau ini juga banyak ditawarkan. Untung Jawa juga dikenal sebagai tempat andalan para pemancing yang datang dari Jakarta.

Jika anda adalah pecandu pemandangan sunset, jangan lewatkan menikmati sunset di Pulau Rambut. Pulau yang letaknya cuma bersebelahan dengan Untung Jawa ini adalah pulau cagar alam. Tidak ada penginapan disini kecuali pos jagawana cagar alam. Keistimewaan pulau ini adalah sebagai tempat tinggal berbagai macam spesies burung. Ditengah pulau terdapat sebuah menara pengawas yang dapat memantau aktivitas burung-burung dan pemandangan indah disekitar pulau.

Mulai sekitar pukul 16.00 WIB, ratusan burung akan terbang menuju pulau ini untuk istirahat. Jika langit bersih, pemandangan indah matahari terbenam sambil ditaburi ratusan burung yang terbang melintas akan menjadi pemandangan indah yang tak terlupakan. Sayangnya karena kurang pedulinya warga Jakarta terhadap lingkungan, sampah-sampah rumah tangga dari sungai di Jakarta banyak yang terdampar di pulau ini. Jadi jangan heran jika merapat di pulau ini, anda akan melihat hamparan sampah di sepanjang rawa-rawa pulau ini.


Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, jangan lewatkan untuk mampir ke Pulau Damar Besar yang terkenal dengan mercu suarnya. Bangunan mercu suar yang terletak di pinggir pantai ini sangat jelas terlihat ketika kapal mulai mendekati pulau

Mercu suar yang dibangun Belanda atas perintah Raja Willem III pada tahun 1879 ini masih tampak kokoh dan bersih meski beberapa jendela sudah terlihat pecah. Bagian dalamnya yang terbuat dari besi juga masih kuat menahan beban para pengunjung yang akan naik ke atas. Untuk menjaga kondisi didalamnya, pengunjung diwajibkan untuk melepas alas kaki sebelum naik ke puncak mercu suar. Kekuatan sinar lampunya yang dapat terlihat dari jarak 20 mil laut ini masih bisa dinikmati hingga sekarang. Pemandangan indah juga dapat anda saksikan dari puncak mercu suar setinggi 52 meter ini.


Ingin mengeksplor lebih dalam? Di dalam Pulau Damar Besar ini juga terdapat sekitar lima buah bekas benteng Belanda lengkap dengan ruang bawah tanahnya. Hanya saja anda perlu bantuan penduduk setempat untuk menemukannya karena benteng-benteng tersebut letaknya di dalam hutan yang cukup lebat.



Onrust masa kini.

Setelah melewati masa sebanyak tiga ratus tahun lebih, Onrust kini lebih dari sekedar pulau kapal. Onrust kini memang tak sesibuk dulu, namun peranan pulau ini sebagai taman arkeologi membuat Onrust tak bisa benar-benar ‘beristirahat’


Banyak juga pengunjung yang datang ke pulau ini untuk mempelajari sejarah. Pulau yang kini hanya didiami oleh tiga anggota kepala keluarga ini masih menyisakan keanggunannya di masa lalu. Anda masih bisa menyaksikan bekas fondasi bangunan kincir angin, bekas bunker dan bahkan bekas bangunan toilet yang kini nampak gelap dan porak-poranda.





Onrust hingga kini memang tak pernah tenang. Kini setelah ia ‘tak pernah istirahat’ dari perbaikan kapal-kapal Belanda, sebagai tempat berkumpulnya rombongan jemaah haji dan para orang sakit, Onrust sekarang juga tak ‘istirahat’ dari kunjungan wisatawan yang ingin belajar sejarah tentang kekuatan armada laut Belanda di Laut Jawa dulu atau yang hanya sekedar ingin berfoto-foto. Onrust memang tak pernah benar-benar 'beristirahat'.

Sunday, November 23, 2008

Festival Kota Tua

JAKARTA tak pernah sepi dari hiburan. Dengan potensinya sebagai populasi yang heterogen, kebudayaan asli Jakarta atau Betawi tak pernah padam. Acara Festival Kota tua yang digelar pada 22 November 2008 adalah salah satu rangkaian acara festival budaya Jakarta yang akhir-akhir ini giat unjuk gigi.

Friday, November 21, 2008

Banten Lama: The Lost Kingdom

Materi ini dimuat di Tabloid Aplaus The Life Style edisi 87
Banten tak harus selalu debus, tak harus selalu pendekar, tak harus selalu kuda lumping dan kekuatan bela diri yang berbau magis. Banten, terutama di masa lalu adalah salah satu sejarah terbesar di Nusantara.

Perjalanan Tim Mata Angin kali ini yang minus Indrie ternyata tak mengurangi serunya perjalanan. Beberapa rekan ikut juga bergabung menjadikan ini perjalanan dengan peserta terbanyak, yaitu 8 orang. Biasanya kami cuma jalan maksimal 4 orang dan lebih sering bertiga.

Banyaknya rujukan untuk menginap di Serang dari beberapa member milis IBP ternyata tak mempengaruhi ‘bengal’nya anak-anak Mata Angin. Kami memutuskan untuk menginap di Banten Lama, entah ada penginapan atau tidak.

Mesjid Agung yang ‘tak agung’.
Situs sejarah yang paling ramai dikunjungi peziarah ini sebetulnya adalah objek wisata yang sangat menjanjikan. Sayang sekali mungkin karena kurang pedulinya pengurus mesjid dan masyarakat setempat, lokasi yang seharusnya menyenangkan ini menjadi begitu mengesalkan.

Berbagai ‘pungli’ yang berkedok ‘sadaqoh’ terus menerus menghadang pengunjung yang memasuki areal mesjid. Belum lagi suasana kotor tak teratur dan banyaknya pengemis yang meminta uang dengan paksa. Jangan pula terkecoh dengan pembagian wewangian di pintu masuk. Beberapa langkah dari situ, segerombolan orang dengan kasar langsung menagih Rp 5.000 untuk wewangian tersebut. Jika kita kembalikan, mereka akan menolak dengan kasar dan terus menagih (dengan kasar juga tentunya).

Hanya ada tiga buah kata untuk menggambarkan keadaan ini… Sayang… sayang… dan sayang… Benar-benar disayangkan Mesjid Agung yang seharusnya menjadi salah satu bukti kebesaran Islam di masa lalu itu harus kehilangan keagungannya hanya karena ‘ketidak pedulian’.

Satu-satunya objek yang sedikit bebas dari ‘gangguan’ tersebut adalah menara mesjid setinggi 23 meter yang terletak di halaman depan mesjid. Dengan ruang tangga yang demikian sempit, menjadikan tantangan tersendiri untuk bisa sampai ke atas.


Vihara Avalokitesvara
Bagi anda para backpacker yang ingin mengeksplor Banten Lama, ada baiknya anda untuk bermalam langsung di Banten Lama. Tidak perlu repot-repot cari penginapan. Vihara Avalokitesvara yang dibangun pada tahun 1652 ini menyediakan tempat penginapan bagi para peziarah dan musafir.

Suasana tenang dan damai akan sangat terasa begitu anda memasuki bagian dalamnya. Deretan wisma penginapan yang terletak di bagian belakang menandakan bahwa tempat ini memang sering dijadikan persinggahan bagi para pelancong dan peziarah.

Ruangan bersih dan nyaman tersedia disini. Harga kamar pun tidak dipatok dengan rate tertentu. Anda bisa membayarnya secara suka rela. Maklumlah ini penginapan para peziarah.

Kami pun tak melewatkan kesempatan unik ini untuk mengenal lebih dalam kehidupan di wihara ini. Semalaman saya bersama rekan saya Arum dan Alel menyempatkan diri untuk memotret berbagai objek disini. Unik sekali!

Ini bukti bahwa Banten dulunya adalah sebuah kerajaan dengan toleransi yang sangat tinggi. Beraneka ragam keyakinan hidup berdampingan dengan damai disini.


Tak terurus.
Terdapat dua buah reruntuhan yang terletak di lokasi sekitar mesjid agung. Yang pertama adalah bekas istana Keraton Surosowan yang terletak persis di seberang mesjid dan sebuah bekas benteng di seberang wihara. Yang kedua adalah bekas benteng Spelwijk yang terletak persis di seberang wihara.

Keraton Surosowan nampak tak terurus. Bangunan yang diluluhlantakan oleh Daendels pada tahun 1808 itu kini hanya terlihat seperti bekas fondasi yang tak berarti. Satu-satunya fasilitas yang masih terlihat lumayan utuk adalah sebuah kolam yang airnya berwarna hijau mirip jus alpukat. Beberapa sampah nampak bertebaran di kolam.

Tak ada keterangan apapun di situs ini. Tak ada retribusi dan petugas dari pelestarian cagar budaya. Semuanya hanya berupa sisa-sisa fondasi tak berarti. Kami sempat miris melihat keadaan seperti ini.

Sekali lagi kita telah menunjukkan ketidak pedulian pada situs sejarah yang sebenarnya menakjubkan ini. Bayangkan jika areal ini diurus secara professional, hmmm… bukan tak mungkin situs ini akan lebih terkenal dari kota tua Batavia (yang sebenarnya juga tak begitu terurus).

Situs Spelwijk justru terlihat lebih terawat dan teratur meski tak ada institusi berwenang yang langsung hadir disini. Bingung juga untuk mendapatkan nara sumber kompeten secara langsung disini.

Bentuk benteng yang luas lengkap dengan menaranya mengingatkan saya akan film “Braveheart”. Ahh.. this is not Ireland… This is Lovely Banten!


Beware of ‘sopir angkot’
Ini pengalaman kami terhadap para sopir angkot di kota Serang. Sungguh tak menyenangkan.

Ketika kami memutuskan untuk men-carter angkot ke Banten Lama dari terminal Pakupatan, sang sopir keberatan dengan alasan jaraknya sangat jauh di luar kota. Sang sopir lalu mematok harga Rp 100.000 untuk membawa kami yang berjumlah 8 orang. Kami keberatan sambil terus menawar harga. Kesepakatan terjadi pada harga Rp 60.000 dan itupun melalui proses alot. Sebuah harga yang sangat terlalu tinggi untuk jarak yang ternyata lebih dekat dari RS. Fatmawati – Blok M.

Ketika harus membayar pungli di sebuah persimpangan, sopir angkot memaksa kami untuk membayar dengan uang kami. “Ayo 3000 cepetan!” kata sang sopir dengan kasar. Kami bersikeras tak mengeluarkan uang namun sang sopir terus memaksa. Hmmm… jauh, jauh, jauh…bahkan sangat jauh lebih buruk dari sopir di Jakarta.

Sopir angkot ternyata tak bisa melihat rombongan pelancong yang berjalan kaki. Seringkali mereka memaksa kami untuk men-carter angkotnya. Meski kami menolak, mereka justru turun dari angkot, menghampiri kami dan terus memaksa kami men-carter angkot mereka.


Sayang seribu sayang.
Yang paling berkesan bagi saya adalah ketika kami menginap di Vihara Avalokitesvara. Ternyata kehidupan Bhinneka Tunggal Ika sudah ada dari dulu. Terbukti beberapa petugas di klenteng ini ternyata muslim.

Di klenteng ini, kehidupan harmonis begitu terasa. Banyak yang bisa dipelajari disini. Sayang sekali kami hanya menginap semalam.

Keindahan Banten yang menyimpan sejarah begitu dahsyat kini hanya meninggalkan seonggok puing tak terurus. Ketidak pedulian memang sudah menjadi tabiat dari masyarakat dan birokrat.

Sayang sekali… amat disayangkan… sebuah tempat yang dulu pernah terkenal di dunia, di Eropa bahkan lebih besar dari kehebatan Malaka, kini hanya sebuah daerah kecil yang hanya terkenal karena debus dan menara mesjidnya.

Sayang seribu sayang….

Wednesday, October 29, 2008

Man Vs Wild: Sumatera

Sebagai penggemar berat acara "Man Vs Wild" di Discovery channel, saya sering berpikir kapan Bear Grylls akan mengunjungi Indonesia. Sambil menebak-nebak lokasi manakah yang akan dipilih oleh Bear untuk ditaklukan, saya sering menduga bahwa Kalimantan adalah sasaran utama.

Namun waktu menyaksikan si mantan pasukan SAS ini beraksi di TV sambil membacok biawak, saya yakin betul bahwa ini di Indonesia, tapi dimana ya tepatnya? Maklum saya telat nontonnya. Barulah beberapa saat kemudian diterangkan bahwa dia sedang di hutan Sumatera.

Seperti biasa si Bear Grylls beraksi dengan menebas hutan, makan makanan asli dari alam seperti biawak, ulat daun dan ular berbisa. Perbedaan mencolok dari episode yang lain adalah, hutan di Sumatera terlihat lebih lebat dibandingkan edisi Amazon atau yang lainnya. Namun Bear nampak dengan mudah mendapatkan sumber makanan dari mana saja. Berbeda dengan edisi hutan lainnya, di Sumatera, Bear dengan mudah menangkap macam-macam binatang liar dan melata untuk disantap.

Begitu kayakah hutan Indonesia? Bagaimana ceritanya jika Man Vs Wild: Sumatera ditanyangkan lima tahun lagi? Masih begitu mudahkah Bear Grylls mendapatkan sumber makanan di hutan Indonesia?

Tuesday, September 02, 2008

Ohh TAMINI ku malang...

Awalnya kami Tim Mata Angin cuma iseng-iseng aja mbuat rencana ke Tamini sambil jalan-jalan. Dan... lagi-lagi Silvi nggak ikutan. Kasihan juga sih dia dateng pas kita udah pada mau pulang. Duh... Silvi... sibuk banget dikau!

Kenangan masa kecil masih melekat di benak kami semua akan kemegahan Tamini. Sebuah tempat wisata andalan masyarakat Indonesia. Namun begitu saya tiba dan berkeliling, huh... sedihnya hati ini. Beberapa infra struktur tempat ini sudah rusak parah dan tidak berfungsi lagi. Kereta monorail yang dulu menjadi ikon saat ini sudah teronggok tak bernyawa. Stasiunnya juga mirip rumah hantu. Papan nama stasiun sudah berkarat, kaca loket pecah, lantainya rusak dan banyak rumput liar. Menyedihkan!
Kami sempat mencoba kereta mini yang mengelilingi area Tamini. Ah... menyedihkan juga nampaknya. Antrian panjang, kurangnya jumlah kereta dan kereta yang tak nyaman membuat kami mengantuk dan nyaris tertidur dalam kereta. Bunyi derikan gerbong mirip dengan kaleng biskuit yang ditarik-tarik. Hawa panas, gerbong yang sempit dan tak nyaman membuat saya semakin lemas.
Satu-satunya wahana yang masih lumayan adalah kereta gantung yang khas. Ingat film "Ateng kaya mendadak?" Nah silahkan anda bernostalgia dengan masa lalu anda di terminal kereta gantung ini. Saya sempat mengenang adegan dimana Edy Sud yang frustasi karena dikejar-kejar oleh Ateng & Iskak terminal ini. Ha ha ha...
Kami sempat mengunjungi Museum Transportasi. Cukup unik juga! Disini ada lokomotif dan gerbong kereta jaman perjuangan dulu. Ada juga gerbong eksekutif jaman Belanda dan gerbong ekonomi buat in lander. Yang asyik adalah mencoba pesawat DC-9 milik Garuda Indonesia yang dipajang di halaman depan Museum. Kita bisa duduk di kokpit seperti pilot. Sayang sekali nggak dirawat. Jadi banyak karat disana sini. Padahal wahana ini sangat unik lho!
Tak terasa, hari sudah semakin sore dan kami harus segera pulang. Huuh... padahal belum puas jalan-jalannya. Sambil pergi kami merasa pilu melihat fakta banyak masyarakat yang tak mau berwisata ke tempat ini lagi. Mereka lebih suka ke Mall. Padahal TAMINI sangat medidik untuk dikunjungi. Menarik untuk wisata keluarga. Ahh.. Tamini ku malang!

Green Canyon, Jawa Barat

(Materi ini di muat di tabloid "Aplaus The LifeStyle" edisi 77)Tim Mata Angin kembali turun ke jalan setelah ngerencanain perjalanan ini selama hampir empat bulan. Tertunda terus dan terlalu banyak rencana lain menjadikan perjalanan ke Green Canyon ini molor hingga empat bulan.

Seperti biasa, Silvi kembali absen dalam trip kami. Tapi nggak membuat kami patah semangat. Show must Go On.... Kami berangkat dari terminal Kampung Rambutan pukul 19.30 dengan menggunakan bis "Perkasa Jaya" tujuan Jakarta-Pangandaran. Perjalanan menempuh waktu delapan jam melalui jalan berliku menembus malam.

Saya sempat khawatir karena Indrie terserang flu berat mejelang berangkat. Dalam perjalanan pun Indrie masih terus ngeluarin tissue untuk membersihkan hidungnya. Padahal Green Canyon adalah jenis wisata "wajib basah".Tiba di Pangandaran pukul 04.00 dan kami langsung cari penginapan. Harga cukup melonjak tinggi mengingat saat itu adalah masa liburan sekolah. Setelah istirahat sebentar, perjalanan kami lanjutkan pukul 07.30 menuju Cijulang dengan menggunakan angkot. Dari Cijulang kami lanjutkan lagi dengan ojek menuju Green Canyon.

Tiba di Green Canyon ternyata kami kurang pagi. Dermaga terlihat penuh dengan rombongan keluarga dan wisatawan mancanegara. Kami sempat khawatir suasana akan terganggu. Namun setelah kami menelusuri sungai dan tiba di titik perhentian perahu, kami cukup lega karena cukup banyak pengunjung yang nggak berani ngelanjutin perjalanan dengan berenang.
Akhirnya setelah sekian lama memendam rindu akan berenang di sungai, hari itu kami puas berenang sampai kelelahan. Nuansa hijau dalam air yang begitu bening dan sensasi tebing-tebing tinggi yang mengurung sungai ditambah hutan-hutan yang mengelilingi kami membuat Green Canyon benar-benar berbeda dengan lokasi wisata yang lain. Dan yang paling hebat adalah... Indrie tiba-tiba sembuh dari flu. Ajaib lo Ndri!!

Rindu Jakarta? Tentu saja tidak. Kami benar-benar enggan untuk mengingat rutinitas Jakarta yang memuakkan itu. Puas berenang di Green Canyon, kami melanjutkan ke pantai Batu Karas. Sebuah pantai yang terletak di ujung selatan Jawa barat. Cukup sepi dan terpencil meski banyak turis asing yang ternyata doyan nongkrong disini. Wah ada Bali terselubung....
Sorenya kami menikmati sunset di pantai Pangandaran. Cukup luas dan dan bersih pantainya. Tiba-tiba saya menjadi tak bersemangat karena ingat bahwa besok kami harus kembali ke Jakarta... kembali pada kepenatan... kembali pada dunia yang congkak.

Thursday, July 03, 2008

Enaknya jadi Solo Backpacker

Melakukan perjalanan seorang diri?.. Sebagian besar orang pasti akan menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Ogah ah!" Mungkin memang sudah jadi kebiasaan mayarakat kita untuk selalu mangan ora mangan ngumpul. Dalam melakukan perjalanan pun, banyak orang masih lebih suka dengan gaya rombongan. Dengan bis besar yang berkapasitas 60an orang yang menuju ke destinasi yang sudah ditentukan panitia.

Kalau saya sih, justru malah menghindari cara-cara itu. Saya lebih suka pergi dengan kelompok tak lebih dari 5 orang atau malah pergi sendiri. Yap!... Pergi sendirian alias jadi solo backpacker.

Menjadi seorang solo backpacker tidaklah se-BT yang dibayangkan banyak orang. Justru karena saya jalan sendirian, maka saya akan berkenalan dengan banyak orang. Pergi sendirian juga berarti bebas merdeka menentukan tujuan. Atau bahkan... tanpa tujuan sekalipun! Saya nggak perlu nurutin si A yang alergi makanan laut, nggak perlu nurutin si B yang alergi udara dingin, nggak perlu nurutin si C yang nggak suka ke pantai. Bebas menentukan kemanapun saya melangkah...

Nggak enaknya, kalau ketimpa masalah, ya harus dihadapi sendirian. Nggak ada panitia rombongan yang akan mengurus kita. Nggak bisa minjem duit temen kalo dompet kecopetan. Untuk itu seorang solo backpacker harus menyiapkan segala sesuatunya dengan rinci. Faktor keamanan adalah hal paling krusial khususnya backpacking di Indonesia yang rawan calo dan copet ini.

Tapi jangan kuatir! Dengan berkenalan dengan banyak orang dan warga lokal tempat kunjungan kita, mudah-mudahan banyak juga yang melindungi kita. Asalkan kita mau menyapa mereka baik-baik dan menghormati adat mereka. Waktu saya solo backpacking di Flores selama seminggu, rasanya seperti mimpi. Apalagi setelah saya pulang ke Jakarta. Wah!.. Benar-benar nggak nyangka bisa melakukan itu semua seorang diri meskipun beberapa kali sempat ngerasa kesepian juga. Untungnya Floresian sangat baik hati dan doyan ngobrol. Miss u Flores!

Lain lagi ceritanya waktu Ke Singkawang sendirian dan kecopetan di Pontianak. Walah!... Pusing bukan main. Tapi nggak kapok lho...

Ini beberapa hal enaknya dari menjadi solo backpacker:
- Nggak perlu ndengerin suara ngorok temen kita saat tidur.
- Nggak perlu berantem nentuin tujuan perjalanan.
- Nggak usah ragu-ragu kalo mau nggosipin temen-temen kita sama orang lain.
- Bisa belajar mandiri & disiplin.
- Bebas nggak mandi.
- Bawa bekal sendiri, dimakan sendiri.
- Bisa kenalan sama banyak orang.
- Bebas Euy!!!!

Ini beberapa hal nggak enaknya jadi solo backpacker:
- Nggak bisa sharing bayar penginapan.

Tuesday, May 13, 2008

LASKAR PUTRI INERIE

LASKAR PUTRI INERIE...
Sekarang kamu masih terbaring
Berselimut bedongan dan popok yang selalu menempel
Sekarang kamu masih merengek melewati tengah malam
Selalu merengek untuk sebotol susu hangat

LASKAR PUTRI INERIE...
Kamu tak datang begitu saja
Sejuta rencana Sang Illahi berada dibalik sosok mungilmu
Jalan telah menentukan arahnya
Kini kamu tengah terbaring dengan nyaman

LASKAR PUTRI INERIE...
Janganlah kuatir nanti
Aku akan mengajarimu bersahabat dengan alam
Aku akan mengajarimu merajut jala di pulau terpencil
Aku akan mengajarimu menapak di kaki Rinjani

LASKAR PUTRI INERIE...
Kamu akan menjabat tangan sang awan di puncak Mahameru
Kamu akan melihat kuasa Tuhan yang indah di pelosok Nusantara
Kamu akan menyatu dengan hempasan ombak di Laut Banda
Kamu akan menjelajah negeri ini...

Negeri yang akan membuatmu begitu bersyukur atas kehidupan
Negeri yang akan membuatmu begitu mencintai kehidupan

Tuesday, April 22, 2008

Curug Nangka - Bogor






Perjalanan Tim Mata Angin terus berlanjut. Setelah Jelajah Museum Jakarta dan camping dadakan di Halimun, kali ini kami berwisata ke Curug Nangka, Bogor. Kawasan yang terletak di area Taman Nasional Gunung Salak ini cukup populer di kalangan masyarakat Bogor dan Jakarta. Khususnya para penggemar kegiatan alam bebas. Sayangnya kali ini Angin Barat, Silvia tidak bisa ikut karena harus dinas ke luar kota.

Planning berkepanjangan.
Rencana ke Curug Nangka ini sebenarnya cukup lama waktunya. Mulai dari rencana awal sekedar wisata kuliner di Bogor, ke Pulau Pramuka dan akhirnya pilihan jatuh ke Curug Nangka. Tadinya kami berencana setelah turun dari Curug Nangka, kami akan berwisata kuliner di Bogor, namun karena kondisi yang tak memungkinkan, akhirnya kami lebih memilih untuk menghabiskan waktu dan energi di Curug Nangka.

Tentang Curug
Lokasi Curug Nangka sendiri sebenarnya cukup mudah dijangkau. Dari terminal Baranangsiang bisa dilanjutkan dengan angkot hijau 06 jurusan Ramayana. Turun di Ramayana dilanjutkan dengan angkot biru jurusan Curug Nangka. Cukup banyak para sopir angkot yang berteriak-teriak “Curug!... Curug!”

Jalan menuju Curug Nangka lebih mudah diakses dengan ojek. Jika anda kuat, silahkan berjalan kaki. Jalan ke pintu gerbang berjarak sekitar 2km dari jalur angkot. Jangan terkecoh dengan curug-curug yang lain. Lokasi Curug Nangka sebenarnya ada di bagian bawah. Jalur menuju curug ini harus melewati tengah sungai yang diapit jurang-jurang batu yang mirip lorong-lorong.

Sementara jalur mendaki mengantarkan kami ke puncak Curug Nangka dan jika diteruskan akan sampai di Curug Kawung.

Camping is the Best
Pengunjung Curug Nangka banyak yang terdiri dari keluarga dan pasangan muda-mudi. Namun kebanyakan dari mereka hanya datang dan pergi tanpa menginap. Kami merencanakan perjalanan ini dengan tujuan nge-camp alias camping. Areal camping sendiri tidak terlalu luas seperti areal perkemahan lain. Lokasi di sini lebih banyak bukit dan tebing-tebing yang diselimuti hutan-hutan

Suasana malam akan lebih indah jika anda membuka tenda disini pada pertengahan bulan dan cuaca cerah. Ditemani terangnya purnama dan ribuan bintang pasti akan menjadi kenangan tak terlupakan. Sayangnya saat itu kami hanya disinari purnama ketika lewat tengah malam karena cuaca mendung dari sore hari dan hujan yang turun mengguyur kami.

Posisi favourit jika kami naik gunung.
Jika kami camping di areal pegunungan, biasanya yang jalan paling depan adalah Alel. Maklum, dia anak Mapala! Posisi tengah diisi siapa saja (Indri atau Silvi) asal bukan saya. Saya sendiri biasa mengambil posisi di belakang dengan tujuan jika terjadi sesuatu dengan teman-teman wanita didepan saya, saya bisa langsung teriak ke Alel.

Fungsi saya itu sebetulnya cuma formalitas. Saya selalu dibelakang sebetulnya karena tenaga saya yang kalah bersaing dengan yang muda-muda. Belum lagi kondisi perut yang sudah tidak seramping dulu dan backpack 65liter yang sering membuat saya ngos-ngosan.

Rute ke Curug Kawung.
Rute ke Curug Kawung ini lumayan sulit. Penuh dengan tanjakan dan turunan curam yang licin. Namun begitu tiba di Curug Kawung, hilanglah semua rasa lelah yang penuh derita. Kami cukup tertegun dengan air terjun yang lokasinya terbuka ini. Menurut petugas setempat, ada lima buah curug di daerah ini namun kami tak menemukan tiga curug lainnya karena lokasinya yang masih jauh lagi.

The Amazing Pak Rahmat.
Ketika hendak ke Curug Nangka, kami ditemani oleh Pak Rahmat, seorang penjaga Taman Nasional yang usianya sudah lanjut namun masih kuat naik turun bukit. Pak Rahmat ini sudah hafal betul semua jalur di area ini bahkan sampai lompatan-lompatan langkah ketika kita menuju Curug Nangka. Dia hafal sekali batu mana yang harus dipijak. Luar biasa!... Selain itu Pak Rahmat juga dengan senang hati mengajari kami tentang jenis-jenis tumbuhan dan manfaatnya.

I miss our Fantastic Four
Sebenarnya saya merindukan kami bisa melakukan perjalanan berempat lagi. Setelah Jelajah Museum Jakarta di bulan Maret, kami tidak lagi pernah pergi lengkap berempat. Di Halimun, kami hanya bertiga, yaitu Alel, saya dan Silvi. Dan sekarang giliran Silvi yang tak bisa ikut kami padahal Indri bisa ikut. Mudah-mudah di perjalanan kami bulan depan ke Green Canyon, Pangandaran, kami bisa pergi berempat dengan lengkap. Hmmm... I miss our Fantastic Four!

Sunday, March 30, 2008

AKU


Created By: Silvia Liviana

Ini adalah pagi yang berbeda
Pagi yang indah dengan langit yang biru

Pagi ini aku merasa...
Embun pagi menyelimuti tubuhku
Suara burung mengiringi lamunanku

Ku nikmati setiap detik pagi ini
Pagi yang indah dengan suasana yang berbeda
Suasana yang akan selalu aku rindukan
Mungkin sampai akhir hayatku
Suasana dimana hanya ada aku sebagai aku
... dan Tuhan dengan semua Maha Karya-Nya


Siang ini...
Aku termenung...
Berselimutkan sinar mentari...
Beralaskan permadani hijau
Diiringi semilir angin menghembus wajahku


Ku nikmati setiap tarikan nafas ini
Membawa aroma rumput ke dalam rongga dadaku

Dalam heningku sendiri...
Hanya ada aku, Tuhan dan semua Maha Karya-Nya
Kunikmati setiap detik yang kurasakan

Dan...
Semakin banyak yang kulihat dan kurasakan
Semakin ku menyadari...
Kuasa Tuhan dihadapanku
Dan alam mengajariku untuk selalu bersyukur

Thursday, March 27, 2008

Larantuka (part.2)

Melakukan perjalanan seorang diri adalah kemerdekaan bagiku. Aku tidak melakukan itu semua untuk tujuan wisata. Aku melakukannya karena mencintai petualangan dan kehidupan. Sahabat, jika kalian memiliki jabatan tinggi tapi tak bertualang, tak adalah artinya kehiduipan kalian.

Matahari mulai tinggi dan panasnya mulai menyengat. Namun pemandangan indah yang terhampar didepanku tak membuat aku kepanasan. Sebuah jalan raya memotong jalur perjalananku. Tidak ada orang yang lewat dan tidak ada orang yang berlalu-lalang. Aku mencari-cari penduduk untuk menanyakan arah Larantuka. Huja kembali mulai turun agak deras. Aku mencoba mencari tempat untuk berteduh dan kutemukan sebuah pohon pisang. Beberapa daunnya sudah lepas jatuh ke tanah. Aku mengambilnya untuk kujadikan payung. Cukup lama hujan turun dan aku masih terus berteduh.



Tak lama, lewatlah seorang bapak. Dari penampilannya aku tahu bahwa ia baru saja mencari kayu ditengah hutan. Sayang! Hujan ini membasahi kayu-kayunya.
“Siang pak,” sapaku. Bapak itu tersenyum.
“Siang!” katanya.
“Larantuka ke arah mana pak?” tanyaku.



Bapak itu menunjuk ke arah jalan yang menurun. Aku mengucapkan terima kasih dan kembali melanjutkan perjalanan. Aku merasa lega karena jalan terus menurun. Namun tak berapa lama, jalan kembali menanjak. Begitu terus menerus seperti tanpa akhir.

Aku berhenti sejenak di sebuah desa yang penduduknya tak begitu banyak. Dapat kukatakan bahwa lebih banyak kambing dan babi yang berkeliaran dibanding penduduk yang berlalu-lalang.

Larantuka (part.1)


Pukul 06.00 pagi ketika aku buka jendela, kabut masih enggan beranjak dari padang rumput yang membentang di hadapanku. Gunung Egon masih malu-malu menampakkan dirinya karena tertutup kabut. Hujan memang tidak turun malam tadi namun cuaca dingin masih menusuk tulang.

Pagi ini aku masih harus melanjutkan perjalanan ke arah timur. Aku tahu ini perjalanan panjang. Tapi inilah impianku! Aku ingin melintasi daerah-daerah ini seorang diri. Aku ingin menempuh semua ini demi kecintaanku pada petualangan dan kehidupan. Aku ingin bebas dari penjara yang menamakan dirinya “karir.” Karir telah membelenggu semua impian dan jiwaku. Aku bagai keledai bodoh yang ditarik-tarik tuan tanah.
Perjalanan pertama kulalui dengan membelah pegunungan-pegunungan hijau dan hutan-hutan cemara. Beberapa ekor babi hutan nampak berkeliaran disekitar jalurku. Mereka terkadang menatapku tajam dan kemudian kembali tak peduli. Hanya beberapa ekor rusa yang setia memandangiku agak lama.

“Apa yang dilakukan hewan aneh berpunuk ini?” begitu mungkin pikirnya.

Aku terus membelah hutan dan pegunungan. Sebuah sungai yang cantik, jernih dan meliuk-liuk mendampingiku mengalir disebelah kiri. Langit cukup bersih, biru dan segumpal awan putih bergerombol di utara. Matahari mulai terik menyengatku namun aku semakin nyaman karenanya. Sebuah pedesaan menyambutku dalam sebuah kesempatan. Seorang pria tua berpakaian sangat sederhana dan memakai sarung tersenyum padaku.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Larantuka,” jawabku.

Si bapak tersenyum sambil mengangguk-angguk. Aku permisi untuk melanjutkan perjalanan. Entah apa nama desa ini tapi masyarakatnya baik sekali. Seorang ibu menawarkan rumahnya padaku untuk bermalam. Tentu saja aku setuju. Aku tak biasa menginap di tempat yang mewah. Rumah penduduk lokal akan lebih nyaman buatku.

Rumah si ibu ini begitu sederhana. Dindingnya terbuat dari rotan dan lantainya dari kayu. Malam itu Pak Stefanus, suami si ibu menawariku jajanan sederhana sambil menemaninya untuk obrolan malam. Kedua anak mereka, Emanuel dan Catherine sambil malu-malu mendekatiku. Akupun tersenyum dan memberi sebungkus permen pada mereka. Malam itu aku tidur dengan kembali ditemani cuaca dingin. Suara kodok dan jangkrik menjadi musik pengiring tidurku.

Pagi hari berikutnya, hujan kembali turun. Meski tidak deras, aku cukup kuatir untuk melakukan perjalanan. Setelah menyantap sarapan seadanya, aku kembali memutuskan untuk melanjutkan perjalanan di tengah hujan rintik-rintik. Dalam waktu yang tidak lama aku kembali memasuki hutan-hutan, jurang dan pegunungan. Suara kicauan burung dan serangga menemaniku. Sahabat, jika kalian melakukan perjalanan dengan caraku, maka kalian akan bersyukur dengan hidup kalian dan mengetahui bahwa memang Tuhan itu Maha Besar.


Sebuah padang rumput menghampar dihadapanku. Hutan-hutan kecil menjadi perbatasan dihiasi dengan pegunungan dibelakangnya. Indah sekali! Aku teringat kisah-kisah para petualang sejati. Sir Edmund, Heinrich Harrer, Scott & Amundsen dan Norman Edwin. Kisah-kisah merekalah yang menginspirasiku untuk mencintai petualangan. Ketika aku sedang jatuh, kisah-kisah merekalah yang membangkitkan semangatku.
Powered By Blogger