Menurut pendapat banyak orang, mimpi adalah bunga tidur, tanda-tanda yang diberikan kepada kita dari alam bawah sadar. Mimpi juga bisa berarti peringatan akan kejadian di masa datang yang akan kita alami. Atau malah mimpi biasanya merupakan indikasi kebalikan dari kenyataan. Sering kali kita mengalami suatu peristiwa yang rasanya tidak asing bagi kita. Tempat kejadian, orang-orang yang terlibat dan kronologi kejadian seperti sudah pernah kita alami sebelumnya. Saya sering mengalami hal seperti itu dan ketika saya mencoba untuk mengingat-ingat, ternyata saya pernah mengalaminya dalam mimpi. Bagi beberapa penggemar judi, mimpi malah dapat dikategorikan ke dalam simbol-simbol angka. Ada satu mimpi yang pernah saya alami yang menurut saya cukup unik. Saya tidak terlalu ingat secara rinci, tetapi secara garis besar dapat saya ceritakan.
Suatu hari, saya ikut sebuah mobil box yang biasa mensuplai ayam potong untuk McDonald’s, tempat saya bekerja. Satu mobil biasanya berisi satu sopir dan satu pembantunya. Saya ikut dengan mereka karena saya mengenal sopir dan pembantunya. Sopirnya adalah seorang karyawan saya di McDonald’s Pondok Indah yang bernama Elyuzar. Sedangkan pembantunya, saya tidak ingat. Mobil itu akan mengirimkan beberapa potong ayam ke sebuah store McDonald’s yang letaknya cukup jauh.
Dalam perjalanan, kami bertiga melewati suatu daerah di pinggiran laut dan dekat dengan pelabuhan. Disebelah kiri, saya dapat melihat lautan yang luas dan disebelah kanan, sebuah hutan belantara yang lebat mengiringi perjalanan kami. Setelah melewati perjalanan yang cukup lama, kami tiba disebuah ujung jembatan yang cukup panjang membelah lautan. Jembatan ini letaknya tidak cukup tinggi sehingga ketinggian air laut seakan dapat dengan mudah menenggelamkannya. Memang tidak banyak mobil yang lewat jembatan itu. Namun jembatan itu adalah jalur satu-satunya yang harus kami lewati. Setelah berhenti sejenak, akhirnya mobilpun melaju diatas jembatan itu. Air laut nampak hampir sejajar dengan permukaan jalan. Membuat saya menutup mata saya karena ketakutan. Saya sempat melihat ke arah kiri saya dan saya lebih merasa sedang berada diatas sebuah kapal motor daripada sebuah mobil box.
Tidak lama kemudian, mobil tiba didaratan seberang. Daerah ini nampak seperti sebuah pedesaan yang akrab dengan nuansa tradisional. Rumah-rumah penduduk di sekitar cukup padat meskipun tidak banyak penghuninya yang terlihat. Jalan-jalannyapun tidak dilapisi aspal. Hanya tanah yang becek dan terlihat genangan air disana-sini. Menurut pembantu sopir, baik dimusim kemarau ataupun hujan, genangan air itu selalu ada. Itu disebabkan karena daerah tersebut dekat dengan laut. Menurutnya juga, penduduk didaerah itu juga sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani garam. Banyak tambak-tambak garam yang tersebar disitu. Bahkan saya sempat melihat sebuah rumah tempat pengolahan garam lengkap dengan para pekerjanya yang sedang sibuk mengolah garam. Sepanjang jalan, warna putih selalu menghiasi jalan yang kami lalui. Menurut sang sopir, warna putih itu adalah sisa-sisa garam yang tercecer.
Tikungan demi tikungan dan tanjakan demi tanjakan kami lalui dan saya belum melihat jalan aspal sedikitpun. Anehnya meskipun jalanan ini hanya tanah biasa, namun cukup keras untuk dilalui mobil karena lapisan ceceran garam yang sudah memadat. Akhirnya entah mengapa, saya dan pembantu sopir turun dari mobil dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sementara, sopir tetap mengemudikan mobil box-nya ketempat tujuan. Awalnya kami sempat bingung mengikuti jalan yang penuh dengan persimpangan. Setelah melalui daerah perkampungan padat, kami akhirnya tiba disebuah bangunan tua yang sederhana. Letaknya tepat diatas bukit dan udaranya sangat sejuk. Daerah ini, meskipun banyak rumah penduduk yang terlihat, namun penduduknya hampir tidak kelihatan. Entah mereka memang enggan keluar rumah atau memang rumah-rumah tersebut kosong. Yang jelas, di balik bangunan sederhana ini, saya menemukan Elyuzar sang sopir sedang menikmati pemandangan sambil menghisap sebatang rokok. Tangan kirinya dimasukan kedalam saku jaketnya ketika saya memergokinya sedang bersantai.
Perasaan cemas yang sempat menghantui saya selama perjalanan, akhirnya hilang setelah saya dapat menemukan kembali sang sopir dan mobil box-nya. Saya kemudian sadar bahwa bangunan tua yang sederhana ini adalah store McDonald’s yang kami tuju. Saya melihat keatas bangunan dan seperti biasa, sebuah tulisan McDonald’s besar dengan logo M-nya terpampang diatas. Sebuah simbol kapitalisme sejati yang bercokol di sebuah daerah pedesaan yang jarang penduduknya meskipun banyak terlihat rumah penduduk. Saya jadi teringat ucapan salah seorang kawan saya sewaktu kuliah dulu tentang McDonald’s. Ia mengatakan bahwa sampai kiamatpun, McDonald’s tak akan pernah sepi pengunjung dan jika ada McDonald’s ditengah hutan, tetap saja akan ramai.
Ucapannya ternyata tidak seluruhnya benar. Setidaknya dalam mimpi saya. Saya memperhatikan store ini dengan perlahan. Bangunannya adalah bangunan kuno zaman Belanda, berukuran kecil, tidak memakai AC dan hanya ada sebuah kipas angin besar ditengah lobby. Meja dan kursinya pun tidak standard McDonald’s. Hanya meja makan biasa seperti dirumah-rumah makan kelas menengah dan begitu juga dengan kursinya. Jumlah meja makannya kalau saya tidak lupa, tidak lebih dari dari dua buah. Bangunan ini berwarna lembut dengan susunan batu-batu besar berwarna hitam menghiasi bagian bawah dindingnya. Bagian dalamnya mirip dengan sebuah toko makanan kering di Yogyakarta. Saya ingat sebuah toko serba ada yang dulu sering saya kunjungi bersama ibu saya di Balikpapan yang bernama Sifo. Lantainya berwarna kusam meskipun tidak ada sampah yang terlihat. Tidak banyak customer yang datang ke McDonald’s ini. Bahkan tidak ada sama sekali pembeli yang terlihat. Entah berapa target sales yang diberikan pada store seperti ini. Saya melihat hanya ada satu mesin kasir sederhana diatas sebuah etalase kaca yang memajang berbagai macam makanan kering. Tidak seperti biasanya juga, store ini kelihatannya tidak memiliki dapur, gudang penyimpanan ataupun ruang ganti karyawan. Benar-benar seperti sebuah toko makanan kering.
Setelah memperhatikan agak lama, saya kemudian melihat dibagian luar store ini. Tidak jauh dari pintu utamanya, terdapat sebuah halaman indah dan cukup luas. Dan ada sebuah meja lengkap dengan beberapa kursinya sedang digunakan oleh sang manager store ini dan beberapa anak buahnya. Mereka nampak sedang asyik bersantai sambil mengobrol. Setelah saya dekati, ternyata managaer store ini adalah bekas rekan satu team saya di McDonald’s Mall Depok dan Cilandak, yaitu Siti. Saya sering memanggilnya dengan mbak Siti. Setelah berbincang-bincang dengan mbak Siti, saya baru tahu bahwa store ini bernama McDonald’s Sukabumi Tanjung. Entah saya saat itu benar-benar berada di Sukabumi atau tidak, yang jelas nama itu sangat aneh mengingat daerah ini dekat dengan garis pantai.
Setelah lama berbincang-bincang, timbul kembali kekhawatiran saya karena ternyata sang sopir tidak berniat untuk kembali ke Jakarta. Ia ingin langsung pulang ke tempat kerjanya yang katanya di Sukabumi. Saya kembali bingung memikirkan cara untuk pulang dan seandainya sang sopir bersedia mengantarkan saya untuk pulang ke Jakarta, saya juga enggan melewati jembatan itu lagi. Tidak lama kemudian, saya segera tersadar dari mimpi aneh namun indah ini dan tidak bisa menahan perasaan saya untuk segera menuliskan mimpi ini.
Saya sendiri tidak mengerti apa arti dari mimpi yang saya alami ini. Saya juga dari dulu tidak pernah peduli dengan mimpi-mimpi yang saya alami. Namun adakalanya mimpi itu membawa saya kedalam suatu suasana yang bisa memberikan perasaan tenang, takut dan bahagia bagi saya. Sukabumi Tanjung adalah salah satu contohnya. Saya begitu terkenang dengan masa kecil saya di Balikpapan ketika mobil box melewati jalur dipinggir laut dengan hutan lebat di kanan saya. Suasana itu mirip dengan daerah pelabuhan di kota kelahiran saya, Balikpapan. Saya begitu takut ketika melewati jembatan ditengah laut yang seakan-akan bisa menenggelamkan siapa saja yang melintas diatasnya. Suasana itu mengingatkan saya pada saat pertama kali saya belajar berenang dilaut yang letaknya tak jauh dari rumah saya di Balikpapan. Air yang gelap dan dingin sementara saya hanyalah seorang anak kecil yang tidak bisa berenang sama sekali, terapung-apung sendirian dengan hanya menggantungkan harapan pada sebuah pelampung kecil yang mengitari dada saya. Rasa takut itu terus menghantui saya hingga kini, meskipun tidak lama setelah itu saya menjadi mahir dalam ilmu renang. Bahkan saya sangat rindu dengan pemandangan laut yang dulu senantiasa menemani saya setiap saat. Yang paling membuat saya terkesan adalah model bangunan store Sukabumi Tanjung yang mengingatkan saya pada rumah saya di Balikpapan. Rumah itu begitu sejuk dan sederhana. Jendelanya dilapisi dengan teralis besi berbentuk segi empat. Mirip dengan store Sukabumi Tanjung yang juga sejuk. Dan nama Sukabumi Tanjung juga mengingatkan saya pada salah seorang pembantu rumah tangga saya yang dulu mengasuh saya sewaktu balita. Saya tidak tahu nama aslinya, yang jelas kami sekeluarga memanggilnya mbok Tanjung.
Sunday, April 15, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment