Saturday, October 20, 2007

Duka untuk Trinity "The Naked Traveler"

Sedih, geram, kaget, tapi nggak tahu mesti marah sama siapa. Itulah reaksi pertama ketika membaca milis IBP (Indobackpacker) yang menanyakan alasan ditariknya buku "The Naked Traveller (TNT)" dari peredaran. Penasaran, saya langsung kunjungi blog-nya The Naked.

Benar saja! Buku pujaan saya itu ternyata di bredel. Tapi saya sempat senang juga membaca komentar dari teman-teman yang memberi dukungan buat mbak T. Salut! Maju terus mbak! Terus terang, buku TNT merupakan salah satu sumber inspirasi saya untuk terus menulis dan mengeksplor kulit bumi ini. Setidaknya mengeksplor Nusantara. Itu jauh lebih baik daripada berpangku tangan dan membredel karya orang lain.

Bagi saya ketika kita bepergian (traveling) adalah berarti kita melakukan silaturrahmi secara lebih luas. Saya tidak bisa hanya duduk diam di sebuah ruang kantor yang sempit. Berjalan ke sana kemari menghitung ini itu yang nggak jelas, berangkat pagi buta memakai seragam, berdasi, nggak boleh ini nggak boleh itu, harus ini harus itu. Menjemukan! Traveling bagi saya adalah (seperti kata iklan) membuat hidup lebih hidup. Disaat kita terpaku dan tidak melakukan petualangan, maka sebenarnya kita sama saja dengan pengguna narkoba. Mati perlahan-lahan!

Apa yang menarik pada saat traveling? Bagi saya traveling bukan hanya sekedar jalan-jalan. Mengenal masyarakat di tempat yang berbeda, mengenal ritual mereka, beradaptasi dengan mereka, adalah hal yang saya cari pada saat melakukan perjalanan. Disitulah saya mengenal kekayaan negeri ini, republik ini, dunia ini. Ketika kita ikut merajut jala di perkampungan nelayan, menanam benih padi di perkampungan petani, disitulah jalinan silaturrahmi kita rajut.

Apa yang terjadi di belahan dunia lain, entah kelebihan maupun kekurangannya, jangan kita tolak mentah-mentah. Jadikan itu sebagai pelajaran. Jadikan itu sebagai ramuan yang nantinya akan melahirkan suatu resep yang mahalezat. Pelajari apa yang mereka lakukan, saring apa yang baik, lihat apa adanya.

Apa yang saya baca di TNT adalah suatu jalinan silaturrahmi yang sangat luar biasa. Tidak semua orang bisa mengalaminya. Mbak T adalah orang yang sangat beruntung. Bagi pihak-pihak yang kurang melihat dari segi positif, cobalah... lakukan traveling jika backpacking terlalu berat untuk anda. Kenali budaya lain, masyarakat lain, ritual lain. Bangunlah jembatan, seberangi lautan, jelajahi rimba belantara. Jangan bangun tembok. Anda tak akan bisa melihat keluar untuk silaturrahmi

Friday, October 05, 2007

Thank You Andrea

Air mata ini rasanya tidak terbendung lagi ketika kedua tangan asyik melaju membalik halaman demi halaman buku "Laskar Pelangi." Saya jadi inget masa kecil saya dulu yang saya tidak bakalan lupa.

Saya memiliki sahabat bernama Azman Syukron. Saya sering sekali menggodanya. Karena wajahnya yang (maaf) tidak tampan sama sekali dan saat itu saya sedang kegandrungan komik Tintin (terutama "TinTin di Tibet), maka saya sering memanggil Azman dengan "Yeti." Sebutan untuk makhluk purba berjalan tegap di pegunungan Himalaya. Kontan si Azman ini langsung ngamuk-ngamuk nggak keruan. Saya sempat ditonjoknya hingga saya nangis terjengkang ha ha ha... Tapi saya amat merindukannya. Setelah itu kami kembali bermain seolah tak terjadi apapun.

Ada lagi teman saya bernama Adi dan Ary. Mereka ini anak kembar siam yang mempunyai karakter saling bertolak belakang. Adi mempunyai sifat agak rendah diri, tidak cerdas, kalau bicara dengannya harus diulang-ulang karena dia susah mengerti sesuatu dan penampilannya agak kucel. Sedangkan Ary sangat bertolak belakang. Ia anak yang cerdas, sepat mengerti sesuatu dan selalu berpenampilan necis. Kebetulan Adi adalah teman sekelas saya. Sebagai anak yang tergolong hyperaktif saya selalu ingin menggoda siapa saja. Percaya nggak percaya, emosi saya suka memuncak jika berhadapan dengan si Adi ini. Maka setiap jam istirahat, saya sering memukulinya di halaman sekolah. Sementara si Ary hanya memperhatikan kami berdua. Diam, tidak membela si Adi dan justru malah menegurnya ketika kami berkelahi. "Kamu sih bandel, makannya kamu dipukulin," begitu kata si Ary kepada si Adi yang sudah babak belur saya tonjokin.

Anehnya si Adi ini tidak pernah benci sama saya. Setiap sore jam 4 Teng! Dia selalu menelpon saya dan berbasa-basi layaknya saya adalah sahabat nomor wahidnya. O my God! What i've done?

Lalu ada lagi si Ahmad yang pincang karena polio. Ahmad ini keturunan Sunda. Bapaknya seorang pilot Garuda dan dia punya kakak perempuan cantik bernama Lisa. Ahmad karena kekurangan fisiknya, ia tidak bisa berjalan normal. I selalu ditinggal teman-temannya ketika berjalan pulang sekolah. Apalagi berlari, mungkin itu hanya ada dalam angan-angannya. Nggak tahu kenapa, saya tertarik bersahabat dengannya. Entah Kasihan atau apa, saya selalu menyuruh supir saya pulang ketika saya dijemput supir pulang sekolah. Saya lebih baik menemaninya berjalan kaki daripada duduk adem dalam mobil.

Bayangkan, kami bersekolah di kota Balikpapan awal tahun 1980-an. Sekolah kami terletak di daerah yang jalannya naik turun, berkelok-kelok seperti tikungan maut Padalarang. Dan jarak ke rumah juga tidak dekat. Tapi ada kenyamanan ketika saya berjalan bersama Ahmad. Menemaninya hingga kami berpisah disebuah persimpangan. Kadang saya iseng nganterin di sampai rumahnya yang lebih jauh dari rumah saya.

Sambil membaca Laskar Pelangi, rasa rindu itu semakin menyala sembari bertanya-tanya. Dimana mereka sekarang?...

Wednesday, October 03, 2007

Nyanyian Cemara

Tidak ada yang bisa membuat aku lupa akan kampung halaman. Balikpapan! Sebuah nama kota yang mungkin dulunya dibuat tanpa memikirkan akibatnya. Sebab setiap aku menyebut nama kota itu sebagai kampung halaman, pertanyaan bodoh yang sama akan berulang. "lu lahir di baliknya papan? banyak debu dong?"

Entah pertanyaan bodoh itu timbul dari suatu kemampuan akal yang begitu rendah atau hanya sebuah canda. Jika itu sebuah canda, sungguh sebuah canda yang sama sekali tak lucu. Terlepas dari nama yang nyeleneh itu, Balikpapan adalah permadani yang menghiasi ruang tengah istana. Pemanis yang menyegarkan dalam semangkuk es buah. Balikpapan, ibarat waktu adalah saat bedug maghrib ketika bulan ramadhan.

Di kota kecil yang indah itulah aku pertama kali membuka mata melihat dunia. Pertama kali kakiku menapak di tanahnya yang hijau, liar, misterius namun bersahabat. Pertama kali pasir pantainya menggelititk sela-sela jari kakiku. Pertama kali air lautnya yang tenang menenggelamkan tiga perempat tubuhku yang mungil. Saat itulah pertama kali aku berkenalan dengan alam. Mencium bau hujan yang menghujam tanah. Terkesan dengan sebuah tanaman pemakan serangga yang kami sebut "kantong semar". Bentuknya yang lucu, hijau memanjang kebawah dengan katup besar diatasnya menganga siap mencaplok serangga membuat tanaman ini menjadi idola dalam perjalananku ke taman kanak-kanak yang letaknya jauh di tengah hutan. Kantong semar berjejer disepanjang jalan setapak seakan menyapa kami setiap pagi.

Aku tidak pernah lupa akan halaman luas yang terbentang mengelilingi rumah kami. Disitulah aku dan kedua kakakku selalu bermain menjelang sore. Halaman rumah kami begitu luas hingga kami dapat bermain sepuas-puasnya sampai napasku tersengal-sengal.

Di satu sisi, halaman kami dibatasi oleh jurang yang cukup tinggi. Disitu, disisi jurang biasanya kami sering menyaksikan pertandingan sepak bola dengan latar belakang pantai dan lautan lepas teluk Balikpapan.

Jangan tanyakan tentang keindahan kota ini di malam hari. Kedua bola mata ini tak akan terpejam ketika menyaksikan pemandangan lampu-lampu kilang minyak yang bertebaran bak ribuan pohon natal yang syahdu dari kejauhan. Kekayaan alam permadani istana ini telah menyedot minat para penambang minyak dunia untuk mengeksplorasi kota ini. Mulai dari Pertamina, Schlumberger, Union Oil, Total Oil dan Bechtel. semuanya menancapkan cengkeramnya untuk menikmati hasil bumi Balikpapan.

Meski begitu, aku tetap senang melihat bentuk mata bor yang sebesar batu meteor dengan tiga mata bergigi. Berputar menghujam bumi menembus lapisan kerak terdalam. Aku senang melihat helm proyek ayahku yang ajaib. Yap!.. itu helm ajaib. Siapapun yang memakainya akan tampak gagah di depan cermin. Aku dan kakak-kakakku sering memakainya diam-diam ketika ayahku pulang dari pabrik dan berandai-andai layaknya kami adalah para pengebor minyak yang ulung.

Tapi saat itu aku sering tidak peduli dengan segala hiruk pikuk para pengebor. Yang aku ingat adalah nyanyian pohon cemara cemara yang tertiup angin. Bebearapa pohon cemara yang menjulang tinggi di belakang rumah kami doyong ke kiri dan ke kanan tertiup angin menimbulkan suara yang mirip angin ribut. Phiiuuu...phiiiuuu... Bagiku, itu adalah sebuah nyanyian. Nyanyian itu terus menemaniku sepanjang siang.

Suara ibuku yang memanggil-manggil namaku atau hanya sekedar bercakap dengan pembantu rumahku, suara anak kecil tetangga yang nangis memekakkan dan ketukan palu para pekerja dan tukang kayu adalah instrumen pengiring dalam nyanyian cemara. Cuaca panas yang melatari nyanyian itu selalu menjadi pengiringku saat aku terbangun dari tidur siang. Pertanda waktu bermain telah dimulai. Tapi jika aku tak mendengar suara ibuku saat aku bangun, justru akulah yang nangis memekakkan. Layaknya sebuah orkestra, semua instrumen dalam membawakan symphony nyanyian cemara haruslah lengkap.

Seperti London Symphony Orchestra dengan sepenuh jiwa membawakan Swan Lake nya Tchaikovsky. Sebuah pentas yang sempurna. Aku terkagum-kagum dan tenggelam dalam nyanyiannya. Terus berulang dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun. Hingga akhirnya aku menyadari konsep awal dan akhir. Alpha dan Omega. Semuanya harus berakhir. Nyanyian itu tak lagi mengiringiku saat aku bangun tidur siang.

Deru kendaraan metropolitan telah mengalahkan symphony indah itu. Tchaikovsky telah terkapar tak berdaya. Sepi dan Kelam! Itulah rasa batinku terhadapa kampung besar dan kotor yang bernama Jakarta. Tidak ada kantong semar yang menyapa, tidak ada tukang kayu sebagai instrumen pengiring. Dan suara ibuku, meski tidak redup sedikitpun, namun dapat kurasakan ketimpangan symphony nyanyian cemara. Aku berbisik dalam sanubari yang merintih.. "Tchaikovsky, apa kau baik-baik saja?"

Hanya kemampuan benakku yang dapat terus mengingatnya. Alunan lembut yang tak dimengerti orang lain. Orkestrasi yang sempurna. Sedahsyat The Three Tenors mengguncang publik Barcelona. Selembut lantunan Il Divo mendayu sepanjang sungai di Venice merasuki jiwa para gadis cantik dan ibu-ibu muda.

Phiiuuu...phiiuuu... dapat kurasakan hembusannya menembus relung hati, menjalari arteri dan pembuluh kecil, meletup-letup dalam sistem syaraf hingga menguasai otak kananku sampai menggelembung. Mematikan kedigdayaan otak kiri yang congkak. Melumpuhkan logika sistematis, persekutuan angka-angka dan keteguhan eksakta. Hard Number! begitu kata sekelompok makhluk aneh berdasi dengan tatapan mata yang memegeng teguh kebodohan dan nampak pasrah dengan nasib.

Aku terbuai dalam nada-nadanya, terbuai dalam gelembung otak kananku yang melahirkan symphony indah nyanyian cemara... dalam... dalam sekali. Tchaikovsky ternyata baik-baik saja..
Powered By Blogger