Wednesday, October 03, 2007

Nyanyian Cemara

Tidak ada yang bisa membuat aku lupa akan kampung halaman. Balikpapan! Sebuah nama kota yang mungkin dulunya dibuat tanpa memikirkan akibatnya. Sebab setiap aku menyebut nama kota itu sebagai kampung halaman, pertanyaan bodoh yang sama akan berulang. "lu lahir di baliknya papan? banyak debu dong?"

Entah pertanyaan bodoh itu timbul dari suatu kemampuan akal yang begitu rendah atau hanya sebuah canda. Jika itu sebuah canda, sungguh sebuah canda yang sama sekali tak lucu. Terlepas dari nama yang nyeleneh itu, Balikpapan adalah permadani yang menghiasi ruang tengah istana. Pemanis yang menyegarkan dalam semangkuk es buah. Balikpapan, ibarat waktu adalah saat bedug maghrib ketika bulan ramadhan.

Di kota kecil yang indah itulah aku pertama kali membuka mata melihat dunia. Pertama kali kakiku menapak di tanahnya yang hijau, liar, misterius namun bersahabat. Pertama kali pasir pantainya menggelititk sela-sela jari kakiku. Pertama kali air lautnya yang tenang menenggelamkan tiga perempat tubuhku yang mungil. Saat itulah pertama kali aku berkenalan dengan alam. Mencium bau hujan yang menghujam tanah. Terkesan dengan sebuah tanaman pemakan serangga yang kami sebut "kantong semar". Bentuknya yang lucu, hijau memanjang kebawah dengan katup besar diatasnya menganga siap mencaplok serangga membuat tanaman ini menjadi idola dalam perjalananku ke taman kanak-kanak yang letaknya jauh di tengah hutan. Kantong semar berjejer disepanjang jalan setapak seakan menyapa kami setiap pagi.

Aku tidak pernah lupa akan halaman luas yang terbentang mengelilingi rumah kami. Disitulah aku dan kedua kakakku selalu bermain menjelang sore. Halaman rumah kami begitu luas hingga kami dapat bermain sepuas-puasnya sampai napasku tersengal-sengal.

Di satu sisi, halaman kami dibatasi oleh jurang yang cukup tinggi. Disitu, disisi jurang biasanya kami sering menyaksikan pertandingan sepak bola dengan latar belakang pantai dan lautan lepas teluk Balikpapan.

Jangan tanyakan tentang keindahan kota ini di malam hari. Kedua bola mata ini tak akan terpejam ketika menyaksikan pemandangan lampu-lampu kilang minyak yang bertebaran bak ribuan pohon natal yang syahdu dari kejauhan. Kekayaan alam permadani istana ini telah menyedot minat para penambang minyak dunia untuk mengeksplorasi kota ini. Mulai dari Pertamina, Schlumberger, Union Oil, Total Oil dan Bechtel. semuanya menancapkan cengkeramnya untuk menikmati hasil bumi Balikpapan.

Meski begitu, aku tetap senang melihat bentuk mata bor yang sebesar batu meteor dengan tiga mata bergigi. Berputar menghujam bumi menembus lapisan kerak terdalam. Aku senang melihat helm proyek ayahku yang ajaib. Yap!.. itu helm ajaib. Siapapun yang memakainya akan tampak gagah di depan cermin. Aku dan kakak-kakakku sering memakainya diam-diam ketika ayahku pulang dari pabrik dan berandai-andai layaknya kami adalah para pengebor minyak yang ulung.

Tapi saat itu aku sering tidak peduli dengan segala hiruk pikuk para pengebor. Yang aku ingat adalah nyanyian pohon cemara cemara yang tertiup angin. Bebearapa pohon cemara yang menjulang tinggi di belakang rumah kami doyong ke kiri dan ke kanan tertiup angin menimbulkan suara yang mirip angin ribut. Phiiuuu...phiiiuuu... Bagiku, itu adalah sebuah nyanyian. Nyanyian itu terus menemaniku sepanjang siang.

Suara ibuku yang memanggil-manggil namaku atau hanya sekedar bercakap dengan pembantu rumahku, suara anak kecil tetangga yang nangis memekakkan dan ketukan palu para pekerja dan tukang kayu adalah instrumen pengiring dalam nyanyian cemara. Cuaca panas yang melatari nyanyian itu selalu menjadi pengiringku saat aku terbangun dari tidur siang. Pertanda waktu bermain telah dimulai. Tapi jika aku tak mendengar suara ibuku saat aku bangun, justru akulah yang nangis memekakkan. Layaknya sebuah orkestra, semua instrumen dalam membawakan symphony nyanyian cemara haruslah lengkap.

Seperti London Symphony Orchestra dengan sepenuh jiwa membawakan Swan Lake nya Tchaikovsky. Sebuah pentas yang sempurna. Aku terkagum-kagum dan tenggelam dalam nyanyiannya. Terus berulang dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun. Hingga akhirnya aku menyadari konsep awal dan akhir. Alpha dan Omega. Semuanya harus berakhir. Nyanyian itu tak lagi mengiringiku saat aku bangun tidur siang.

Deru kendaraan metropolitan telah mengalahkan symphony indah itu. Tchaikovsky telah terkapar tak berdaya. Sepi dan Kelam! Itulah rasa batinku terhadapa kampung besar dan kotor yang bernama Jakarta. Tidak ada kantong semar yang menyapa, tidak ada tukang kayu sebagai instrumen pengiring. Dan suara ibuku, meski tidak redup sedikitpun, namun dapat kurasakan ketimpangan symphony nyanyian cemara. Aku berbisik dalam sanubari yang merintih.. "Tchaikovsky, apa kau baik-baik saja?"

Hanya kemampuan benakku yang dapat terus mengingatnya. Alunan lembut yang tak dimengerti orang lain. Orkestrasi yang sempurna. Sedahsyat The Three Tenors mengguncang publik Barcelona. Selembut lantunan Il Divo mendayu sepanjang sungai di Venice merasuki jiwa para gadis cantik dan ibu-ibu muda.

Phiiuuu...phiiuuu... dapat kurasakan hembusannya menembus relung hati, menjalari arteri dan pembuluh kecil, meletup-letup dalam sistem syaraf hingga menguasai otak kananku sampai menggelembung. Mematikan kedigdayaan otak kiri yang congkak. Melumpuhkan logika sistematis, persekutuan angka-angka dan keteguhan eksakta. Hard Number! begitu kata sekelompok makhluk aneh berdasi dengan tatapan mata yang memegeng teguh kebodohan dan nampak pasrah dengan nasib.

Aku terbuai dalam nada-nadanya, terbuai dalam gelembung otak kananku yang melahirkan symphony indah nyanyian cemara... dalam... dalam sekali. Tchaikovsky ternyata baik-baik saja..

No comments:

Powered By Blogger