Sunday, April 15, 2007

Dark Poets Society

DOA KEPADA YANG DATANG



Ya Tuhan, aku melihat bayangan kesombongan di kaki pintu
Langkah demi langkah seakan memberi awan suram ke dalam hati
Tatapannya memandang rendah kami
“Aku datang dengan pundi-pundi dan dapat kubeli harga nyawamu”
Gema di lidahnya berkata demikian

Ya Tuhan, kami tak bernilai di hadapan mereka
Pundi-pundi mereka berkuasa atas kami
Mata gelap mereka menghapus derajat kami
Istana dan silaunya batu berkilau telah membutakan mereka

Ya Tuhan, berilah kami jalan
Berilah kami kekuatan bertahan dalam awan gelap
Kami bertahan demi yang kami cintai
Kami yakin sinarMu ‘kan datang
Dan mengusir awan gelap yang membutakan hati mereka



UNTUK PARA PENJAGA MENARA

Tiada yang lebih hina selain nama besar kerajaanmu
Tiada yang lebih buruk selain langkah aroganmu
Tiada yang lebih nista dari cibiranmu kepada kami

Setiap katamu adalah siksa api bagi kami
Pandangan matamu selalu berkata, “Akulah sang penjaga, kaulah sang budak.”
Cibiranmu adalah hinaan bagi kami.

Jari telunjukmu selalu mengarah pada kami
Tepat diantara dua mata kami memandang
Dan siksa api selalu membakar hati kami

Mereka yang selalu datang berlapis kain kesombongan
Tidakkah mereka sadar? Tidakkah mereka berpikir?
Tingkahmu layaknya sang maha benar

Kami tak gentar dengan tatapan bodohmu
Kami tak gentar dengan siksa apimu
Kami tak gemetar mendengar derap sombongmu
Kami tak gemetar dengan wajah murkamu

Dalam doaku selalu terucap
Bersabarlah, Sang Khalik yang Maha Pemurah tidak akan membiarkan kita
Dalam mimpiku selalu kulihat
Pohon suka yang tumbuh rindang dimana kita akan bermain dibawahnya

Bawalah ketamakan kalian ke akhirat kalian
Bawalah api siksa kalian ke rumah tuannya
Karena kalian tak pernah menghormati yang hidup
Karena kalian tak pernah mengerti yang kalian jaga

Suatu saat kami akan berenang dalam lautan bahagia
Suatu saat kami akan pergi meninggalkan kerajaan kalian yang zalim
Kami akan bahagia melihat kerajaanmu jatuh
Kami akan bahagia melihat menaramu tak lagi berkuasa

…dari kejauhan kami melihatnya dan..
…kami ‘kan tersenyum.



KERAJAAN ZALIM

Begitu angkuh berdiri tegak ditengah mereka yang lemah
Lumbung-lumbung yang tersebar dipenjuru dataran
Ribuan budak menungguinya dengan hati gundah
Perisai besar menghiasi gerbang setiap lumbung

Hati yang buta pada para raja di menara
Mengeluarkan titah tanpa nurani
Tangan-tangan kotornya menggerakkan para budaknya
Bagaikan sebuah bidak catur

Dibawah perisai besarnya para budak berduka
Tersenyum menyimpan sakit dan luka yang tak akan sembuh
Jari-jari lemah dipaksa mengeruk pundi
Mata yang lelah menjamu matahari hingga rembulan

O, sang raja buta dan congkak
Akhir masamu sudah dekat
Musuh besarmu gagal kau runtuhkan
Kini para penjaga lumbung memusuhimu



DILLAH YANG DITINGGAL

Anak kecil, anak yang malang
Siang ini kamu sendiri
Anak pintar, anak yang patuh
Malam ini kamu direnggut kesunyian

Apa yang kamu lakukan saat arungi siang?
Apa yang kamu lakukan menjelang malam?
Awan yang menggoda sinar sang surya kikuk melihatmu
Bintang yang mengawal rembulan takjub akan ketabahanmu

Adakah sayap ibumu menghangatkanmu?
Adakah suara ayahmu menuntunmu?
Akankah ibu mengecup keningmu menjelang tidur?
Akankah ayah menggendongmu saat kamu lelah?

Anak kecil, anak yang malang
Lihat, sahabatmu sudah datang
Dengarlah, pintu beranda sedang diketuk
Masuklah kesunyian, sahabat abadimu



DI BALIK JERUJI BESI

Akankah ini berakhir?
Akankah ini berubah?
Tirai-tirai besi yang dihiaskan di hadapan kami
Kematian nurani kami secara perlahan

Aku heran dan bertanya-tanya
Perbudakan macam apa ini?
Aku meratap sambil terisak
Binatang apakah engkau?

Dibalik besi yang semakin kokoh
Aku tak tinggal diam
Tubuhku memang terkurung
Tetapi mata dan otakku menggapai garis-garis pantai

Lama baru aku tersadar
Ini sebuah ujian
Penderitaan hanya menunda kebahagiaan
Kepompong buruk akan melahirkan jasad baru


HARI YANG BAIK

Hari ini adalah hari yang baik.
Awan gelap yang merambah langit sejak fajar mulai menurunkan air hujan.
Entah kenapa aku sangat menyukai hujan deras.
Entah kenapa aku sangat suka kisah Nabi Nuh.
Aku suka bagian saat manusia dihancurkan oleh banjir besar.

Saat udara dipenuhi kucuran air deras ini, aku selalu bersuka.
Jalan raya nampak lebih gembira karena guyuran air segar ini.
Mungkin karena sepeda motor lebih memilih untuk berhenti dan berteduh.
Mungkin karena itu kesemerawutan jalan berkurang.
Itu berarti saat hujan besar adalah saat paling berbahagia.

Aku menyebut mereka itu syaitan.
Lihatlah tingkah mereka dijalanan seolah iblis yang mendapat restu illahi.
Mereka tidak pernah mau mengatakan “maaf” ketika mereka bersalah.
Mereka selalu melanggar paras-paras kebenaran dan berpikir bahwa mereka adalah putera Allah.
O’ para syaitan, kuda besi beroda dua, mengapa kalian bisa menjadi elemen kehidupan yang begitu rendah?

Saat ini aku menyusuri jalan-jalan basah dan angin dingin dengan gembira.
Air deras mengucur dari langit seolah berkata, “Minggir kalian, syaitan! Lagakmu begitu besar, akan tetapi kau begitu takut dengan air dari langit.”
Ah, begitu gembiranya melihat jalanan tanpa syaitan.
Seolah memang benar kata orang, “Ketika sepeda motor melewatimu, berarti Tuhan sedang lengah.”

Sukabumi Tanjung

Menurut pendapat banyak orang, mimpi adalah bunga tidur, tanda-tanda yang diberikan kepada kita dari alam bawah sadar. Mimpi juga bisa berarti peringatan akan kejadian di masa datang yang akan kita alami. Atau malah mimpi biasanya merupakan indikasi kebalikan dari kenyataan. Sering kali kita mengalami suatu peristiwa yang rasanya tidak asing bagi kita. Tempat kejadian, orang-orang yang terlibat dan kronologi kejadian seperti sudah pernah kita alami sebelumnya. Saya sering mengalami hal seperti itu dan ketika saya mencoba untuk mengingat-ingat, ternyata saya pernah mengalaminya dalam mimpi. Bagi beberapa penggemar judi, mimpi malah dapat dikategorikan ke dalam simbol-simbol angka. Ada satu mimpi yang pernah saya alami yang menurut saya cukup unik. Saya tidak terlalu ingat secara rinci, tetapi secara garis besar dapat saya ceritakan.
Suatu hari, saya ikut sebuah mobil box yang biasa mensuplai ayam potong untuk McDonald’s, tempat saya bekerja. Satu mobil biasanya berisi satu sopir dan satu pembantunya. Saya ikut dengan mereka karena saya mengenal sopir dan pembantunya. Sopirnya adalah seorang karyawan saya di McDonald’s Pondok Indah yang bernama Elyuzar. Sedangkan pembantunya, saya tidak ingat. Mobil itu akan mengirimkan beberapa potong ayam ke sebuah store McDonald’s yang letaknya cukup jauh.
Dalam perjalanan, kami bertiga melewati suatu daerah di pinggiran laut dan dekat dengan pelabuhan. Disebelah kiri, saya dapat melihat lautan yang luas dan disebelah kanan, sebuah hutan belantara yang lebat mengiringi perjalanan kami. Setelah melewati perjalanan yang cukup lama, kami tiba disebuah ujung jembatan yang cukup panjang membelah lautan. Jembatan ini letaknya tidak cukup tinggi sehingga ketinggian air laut seakan dapat dengan mudah menenggelamkannya. Memang tidak banyak mobil yang lewat jembatan itu. Namun jembatan itu adalah jalur satu-satunya yang harus kami lewati. Setelah berhenti sejenak, akhirnya mobilpun melaju diatas jembatan itu. Air laut nampak hampir sejajar dengan permukaan jalan. Membuat saya menutup mata saya karena ketakutan. Saya sempat melihat ke arah kiri saya dan saya lebih merasa sedang berada diatas sebuah kapal motor daripada sebuah mobil box.
Tidak lama kemudian, mobil tiba didaratan seberang. Daerah ini nampak seperti sebuah pedesaan yang akrab dengan nuansa tradisional. Rumah-rumah penduduk di sekitar cukup padat meskipun tidak banyak penghuninya yang terlihat. Jalan-jalannyapun tidak dilapisi aspal. Hanya tanah yang becek dan terlihat genangan air disana-sini. Menurut pembantu sopir, baik dimusim kemarau ataupun hujan, genangan air itu selalu ada. Itu disebabkan karena daerah tersebut dekat dengan laut. Menurutnya juga, penduduk didaerah itu juga sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani garam. Banyak tambak-tambak garam yang tersebar disitu. Bahkan saya sempat melihat sebuah rumah tempat pengolahan garam lengkap dengan para pekerjanya yang sedang sibuk mengolah garam. Sepanjang jalan, warna putih selalu menghiasi jalan yang kami lalui. Menurut sang sopir, warna putih itu adalah sisa-sisa garam yang tercecer.
Tikungan demi tikungan dan tanjakan demi tanjakan kami lalui dan saya belum melihat jalan aspal sedikitpun. Anehnya meskipun jalanan ini hanya tanah biasa, namun cukup keras untuk dilalui mobil karena lapisan ceceran garam yang sudah memadat. Akhirnya entah mengapa, saya dan pembantu sopir turun dari mobil dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sementara, sopir tetap mengemudikan mobil box-nya ketempat tujuan. Awalnya kami sempat bingung mengikuti jalan yang penuh dengan persimpangan. Setelah melalui daerah perkampungan padat, kami akhirnya tiba disebuah bangunan tua yang sederhana. Letaknya tepat diatas bukit dan udaranya sangat sejuk. Daerah ini, meskipun banyak rumah penduduk yang terlihat, namun penduduknya hampir tidak kelihatan. Entah mereka memang enggan keluar rumah atau memang rumah-rumah tersebut kosong. Yang jelas, di balik bangunan sederhana ini, saya menemukan Elyuzar sang sopir sedang menikmati pemandangan sambil menghisap sebatang rokok. Tangan kirinya dimasukan kedalam saku jaketnya ketika saya memergokinya sedang bersantai.
Perasaan cemas yang sempat menghantui saya selama perjalanan, akhirnya hilang setelah saya dapat menemukan kembali sang sopir dan mobil box-nya. Saya kemudian sadar bahwa bangunan tua yang sederhana ini adalah store McDonald’s yang kami tuju. Saya melihat keatas bangunan dan seperti biasa, sebuah tulisan McDonald’s besar dengan logo M-nya terpampang diatas. Sebuah simbol kapitalisme sejati yang bercokol di sebuah daerah pedesaan yang jarang penduduknya meskipun banyak terlihat rumah penduduk. Saya jadi teringat ucapan salah seorang kawan saya sewaktu kuliah dulu tentang McDonald’s. Ia mengatakan bahwa sampai kiamatpun, McDonald’s tak akan pernah sepi pengunjung dan jika ada McDonald’s ditengah hutan, tetap saja akan ramai.
Ucapannya ternyata tidak seluruhnya benar. Setidaknya dalam mimpi saya. Saya memperhatikan store ini dengan perlahan. Bangunannya adalah bangunan kuno zaman Belanda, berukuran kecil, tidak memakai AC dan hanya ada sebuah kipas angin besar ditengah lobby. Meja dan kursinya pun tidak standard McDonald’s. Hanya meja makan biasa seperti dirumah-rumah makan kelas menengah dan begitu juga dengan kursinya. Jumlah meja makannya kalau saya tidak lupa, tidak lebih dari dari dua buah. Bangunan ini berwarna lembut dengan susunan batu-batu besar berwarna hitam menghiasi bagian bawah dindingnya. Bagian dalamnya mirip dengan sebuah toko makanan kering di Yogyakarta. Saya ingat sebuah toko serba ada yang dulu sering saya kunjungi bersama ibu saya di Balikpapan yang bernama Sifo. Lantainya berwarna kusam meskipun tidak ada sampah yang terlihat. Tidak banyak customer yang datang ke McDonald’s ini. Bahkan tidak ada sama sekali pembeli yang terlihat. Entah berapa target sales yang diberikan pada store seperti ini. Saya melihat hanya ada satu mesin kasir sederhana diatas sebuah etalase kaca yang memajang berbagai macam makanan kering. Tidak seperti biasanya juga, store ini kelihatannya tidak memiliki dapur, gudang penyimpanan ataupun ruang ganti karyawan. Benar-benar seperti sebuah toko makanan kering.
Setelah memperhatikan agak lama, saya kemudian melihat dibagian luar store ini. Tidak jauh dari pintu utamanya, terdapat sebuah halaman indah dan cukup luas. Dan ada sebuah meja lengkap dengan beberapa kursinya sedang digunakan oleh sang manager store ini dan beberapa anak buahnya. Mereka nampak sedang asyik bersantai sambil mengobrol. Setelah saya dekati, ternyata managaer store ini adalah bekas rekan satu team saya di McDonald’s Mall Depok dan Cilandak, yaitu Siti. Saya sering memanggilnya dengan mbak Siti. Setelah berbincang-bincang dengan mbak Siti, saya baru tahu bahwa store ini bernama McDonald’s Sukabumi Tanjung. Entah saya saat itu benar-benar berada di Sukabumi atau tidak, yang jelas nama itu sangat aneh mengingat daerah ini dekat dengan garis pantai.
Setelah lama berbincang-bincang, timbul kembali kekhawatiran saya karena ternyata sang sopir tidak berniat untuk kembali ke Jakarta. Ia ingin langsung pulang ke tempat kerjanya yang katanya di Sukabumi. Saya kembali bingung memikirkan cara untuk pulang dan seandainya sang sopir bersedia mengantarkan saya untuk pulang ke Jakarta, saya juga enggan melewati jembatan itu lagi. Tidak lama kemudian, saya segera tersadar dari mimpi aneh namun indah ini dan tidak bisa menahan perasaan saya untuk segera menuliskan mimpi ini.
Saya sendiri tidak mengerti apa arti dari mimpi yang saya alami ini. Saya juga dari dulu tidak pernah peduli dengan mimpi-mimpi yang saya alami. Namun adakalanya mimpi itu membawa saya kedalam suatu suasana yang bisa memberikan perasaan tenang, takut dan bahagia bagi saya. Sukabumi Tanjung adalah salah satu contohnya. Saya begitu terkenang dengan masa kecil saya di Balikpapan ketika mobil box melewati jalur dipinggir laut dengan hutan lebat di kanan saya. Suasana itu mirip dengan daerah pelabuhan di kota kelahiran saya, Balikpapan. Saya begitu takut ketika melewati jembatan ditengah laut yang seakan-akan bisa menenggelamkan siapa saja yang melintas diatasnya. Suasana itu mengingatkan saya pada saat pertama kali saya belajar berenang dilaut yang letaknya tak jauh dari rumah saya di Balikpapan. Air yang gelap dan dingin sementara saya hanyalah seorang anak kecil yang tidak bisa berenang sama sekali, terapung-apung sendirian dengan hanya menggantungkan harapan pada sebuah pelampung kecil yang mengitari dada saya. Rasa takut itu terus menghantui saya hingga kini, meskipun tidak lama setelah itu saya menjadi mahir dalam ilmu renang. Bahkan saya sangat rindu dengan pemandangan laut yang dulu senantiasa menemani saya setiap saat. Yang paling membuat saya terkesan adalah model bangunan store Sukabumi Tanjung yang mengingatkan saya pada rumah saya di Balikpapan. Rumah itu begitu sejuk dan sederhana. Jendelanya dilapisi dengan teralis besi berbentuk segi empat. Mirip dengan store Sukabumi Tanjung yang juga sejuk. Dan nama Sukabumi Tanjung juga mengingatkan saya pada salah seorang pembantu rumah tangga saya yang dulu mengasuh saya sewaktu balita. Saya tidak tahu nama aslinya, yang jelas kami sekeluarga memanggilnya mbok Tanjung.

War in Hollywood

Setelah suksesnya film trilogy Lord Of The Ring, Hollywood seakan bernafsu untuk membuat film-film kolosal berlatar sejarah dari peradaban menengah. Meskipun Return… sendiri bukan berdasarkan sejarah nyata, tetapi film ini banyak memberikan inspirasi bagi para insan perfilman untuk membuat film kolosal dengan setting yang sangat mendetail, adegan pertempuran yang super dahsyat dengan melibatkan ratusan ribu prajurit dan teknologi special efek yang mengagumkan. Mungkin masih teringat betapa adegan penyerbuan prajurit Rohan ke Minas Tirith dengan menaklukan pasukan Mordor di padang Peleanor begitu menegangkan dan menyita banyak perhatian penonton. Adegan itu bisa dikatakan adegan puncak dari film itu. Walaupun dari segi cerita, pertempuran Peleanor bukanlah pertempuran terakhir. Dan tidak menandakan kejatuhan Mordor, karena setelah itu Aragorn, sang raja Gondor harus kembali bertempur di Gerbang Hitam Mordor melawan 10.000 pasukan Orcs. Lalu mengapa adegan itu sekarang banyak dijadikan acuan adegan pertempuran kolosal?
Pertama, pertempuran tersebut melibatkan ratusan ribu prajurit yang saling serang dan bunuh. Walau kenyataannya sebagian besar prajurit tersebut adalah rekayasa animasi komputer. Disini dibutuhkan kecermatan teknologi tinggi. Tidak terlihat adegan yang tambal sulam dan semuanya dibuat dengan begitu rapih. Mulai dari prajurit yang menunggang kuda hingga pasukan musuh yang terlindas diterjang pasukan kuda Rohan. Penonton bioskop pun rela tidak berkedip dan menahan diri untuk tidak keluar ke kamar kecil.
Kedua, detail yang ditampilkan seolah memberikan kita pelajaran seni tingkat tinggi. Mulai dari detail pakaian tempur masing-masing kerajaan, ciri khas senjata yang berbeda dan kecermatan menampilkan teknologi animasi yang digabungkan dengan adegan sungguhan. Ketiga, pertempuran-pertempuran tersebut memang kejadian yang dinanti-nantikan oleh para penonton. Kalau kita mengikuti film Lord of The Ring dari awal ( Fellowship of The Ring ), akan kita dapatkan bahwa setiap episode film ini selalui ditandai dengan pertempuran sebagai puncak cerita. Pertempuran menjadi moment yang penting bukan karena sekedar adegan action yang seru atau tingkat ketegangannya, tetapi akumulasi dari cerita itu sendiri. Dalam Fellowship… pertempuran puncak terjadi dihutan dekat sungai Besar setelah mereka melalui Argonath. Disinilah para fellowship tersebut diserang mendadak dan terpisah-pisah. Disinilah kemudian pernyataan yang menentukan muncul..”The Fellowship is Broken!” Dalam The Two Towers, adegan puncak terjadi dalam pertempuran Helms Deep. Pertempuran ini menjadi puncak cerita karena dari sinilah penghimpunan kekuatan baru dimulai. Pasukan Rohan yang kalah jumlah akhirnya menang setelah dibantu Eomer dengan pasukan Rohirrim dan Gandalf. Dalam Return of The King, pertempuran Peleanor menjadi penting karena dalam ajang ini, sebagian besar pasukan Mordor dapat dikalahkan dengan dukungan pasukan Rohan dan pasukan kematian yang dipimpin Aragorn. Selain itu, inilah moment pre-finale, dimana Aragorn kembali ke Gondor dan bersiap menjadi raja.
Mengikuti suksesnya trilogy Lord of The Ring, banyak insan perfilman bernafsu untuk membuat film dengan tema serupa. Sebut saja King Arthur, Troy dan Alexander. Banyak harapan tertuju pada film-film tersebut untuk bisa menyaingi Lord of The Ring. Namun nampaknya masih cukup sulit karena Lord… masih didukung oleh sesuatu yang sangat sulit ditandingi yaitu JRR Tolkiens. Dalam menulis cerita Lord.. Tolkiens seakan menciptakan suatu peradaban baru. Dunia sendiri yang diceritakannya dengan sangat mendetail dan akurasinya sangat tepat. Silsilah kerajaan, hubungan antar suku, kebudayaan hingga sastra dari tiap kebudayaan diceritakan dengan sangat spesifik dan mendetail.
Penggemar film sempat berharap banyak dengan munculnya film Troy, sebuah legenda dan mitos dari Yunani yang juga mengambil pertempuran kolosal sebagai bumbu cerita. Tetapi dalam kenyataannya, tetap saja Troy belum bisa menandingi Lord… Sebenarnya teknologi yang digunakan untuk menggambarkan pertempuran sudah cukup baik. Perhatian penonton mungkin mulai serius ketika Agamemnon mulai berlayar dengan 1000 kapal menuju Troya. Adegan 1000 kapal menjadi perhatian dan kekaguman penonton. Sayangnya pertempuran pertama tidak menjadi suatu titik balik yang penting karena pasukan Troya dapat dengan mudah mengalahkan Yunani. Titik balik yang penting justru terjadi dalam pertempuran kedua yang tidak terlalu dahsyat. Disini Hector membunuh sepupu Achilles, Patroclus dan akhirnya menimbulkan dendam pada Achilles terhadap Hector. Jika dalam trilogy Lord of the Ring pertempuran mejadi selalu berakumulasi menjadi lebih besar, dalam Troy justru sebaliknya.
Selain Wolfgang Petersen, Oliver Stone nampaknya juga berambisi membuat konsep serupa dengan film Alexander. Dalam Alexander, acungan jempol patut diberikan karena Oliver Stone mencoba untuk menghadirkan sisi kemanusiaan sang raja agung tersebut. Jika kita berpikir tentang seorang raja yang sangat kuat, tak terkalahkan dan ditakuti semua orang, mungkin akan terkejut karena Alexander ditampilkan dengan hanya seperti manusia biasa. Alexander yang bisa sakit hati, marah, sedih bahkan ketakutan dan panik.
Secara garis besar, pengertian film kolosal itu sendiri masih berpijak pada segi sejarah. Semua sutradara yang membuat film kolosal, hampir dipastikan akan membuat film yang berlatar belakang sejarah. Namun ada sesuatu yang bergeser dari dulu hingga kini. Acuan dari kolosal itu sendiri saat ini cenderung berpijak pada adegan pertempuran yang maha dahsyat- Lord of the Ring adalah pelopor dalam hal ini. Jika melihat Ben-Hur, Cleopatra, atau Spartacus, acuan kolosal bertumpu pada beberapa adegan kemegahan saja. Adegan yang biasanya membutuhkan ratusan atau bahkan ribuan figuran yang sedang membangun sebuah pyramid, ribuan orang yang sedang menyaksikan pertunjukan gladiator. Namun film-film tersebut mempunyai unsur cerita yang bagus dan akting para bintang yang memukau. Saat ini, jumlah ribuan orang dapat digantikan dengan teknologi komputer, kemegahan pyramid sudah bukan sesuatu yang membuat kagum penonton. Itulah sebabnya saat ini, para insan perfilman dengan usaha keras dan teknik tinggi, mencoba untuk menggali sesuatu yang baru untuk dapat memberi kekuatan baru pada arti kolosal itu sendiri. Teknik mengemas pertempuran dan pertarungan yang tidak lepas dari unsur kolosal menjadi pilihan. Ketika Russel Crow bertarung dalam Gladiator, terlihat ribuan penonton memenuhi Colleseum untuk menyaksikan dirinya. Orang akan berpikir, inilah kolosal. Padahal, jumlah aktor yang ada dalam pengambilan gambar tersebut, tidak mencapai seratus. Ketika Raja Theoden memimpin serangan ke Minas Tirith dengan 6000 tentara melawan puluhan ribu tentara musuh, orang akan berpikir, inilah kolosal. Padahal semua itu adalah jasa rekayasa komputer.
Teknologi memang memainkan peranan penting dalam memperkuat makna kolosal. Saat ini, sutradara dapat membuat adegan super kolosal hanya dengan satu atau dua orang pemain. Tidak heran jika unsur cerita terkadang mendapat porsi kurang. Kemampuan akting yang serba pas-pasan dapat dengan mudah ditutup oleh adegan penyerangan 1000 pasukan atau gaya bertarung yang indah yang, lagi-lagi, harus berterima kasih pada jasa teknologi komputer.
Namun bukan tidak mungkin teknologi juga dapat mendistorsi sebuah artikulasi. Memang ketika kita menyaksikan Ben Hur atau Cleopatra, kita akan jarang menemui adegan perang seperti dalam Lord of the Ring. Teknologi di masa itu belum mampu menghadirkan imajinasi yang tinggi. Tetapi bagi para pecinta dunia film, pergeseran makna kolosal bukanlah suatu masalah. Mereka tetap mengkoleksi film-film seperti Lord of the Ring, Gladiator atau Troy seperti mereka juga memburu Ben Hur atau Cleopatra. Tiap-tiap zaman dan generasi memiliki keunggulan masing-masing. Ketika pecinta film zaman sekarang menyaksikan Ben Hur, mereka akan tertegun dengan apiknya cerita dan akting. Ketika orang tua kita menyaksikan Return of the King, mereka akan tertegun dengan sosok Gollum dan pertempuran Pelleanor.
Jadi, akankah makna kolosal berubah arah lagi? Setelah sekian banyak film kolosal produksi Hollywood menyihir penonton, tema dari film-film itu tidak pernah berubah. Sejarah atau mitos di masa lampau. Akankah film kolosal memakai tema masa depan? Star Wars nampaknya sedang membangun jembatan untuk menuju kesana. Jika kita perhatikan Star Wars episode 1 : The Phantom Mennace, kita akan lihat setting yang megah yang memperlihatkan ribuan penduduk suatu kota, pertempuran ribuan tentara (android) dan durasi yang cukup lama. Star Wars episode 2 : Attack of the Clone, juga memperlihatkan hal yang sama bahkan dalam skala yang lebih besar. Akan kita lihat di waktu yang akan datang, apakah Judah Ben Hur atau Aragorn atau bahkan Master Yoda yang dapat menjadi ikon film kolosal Hollywood.

Tuesday, April 10, 2007

Just Close Your Eyes & Open Your Mind

Pada awalnya saya kira film "Bridge of Therabithia" adalah film yang penuh dengan adegan animasi dari awal hingga akhir. Ternyata saya sedikit keliru karena adegan animasi dengan spesial efek fantasi hanya diperlihatkan dari tengah hingga akhir film saja. Tapi yang membuat saya begitu tersentuh ketika menyaksikan film ini adalah inti dari ceritanya sendiri.

Film ini berkisah tentang petualangan dua anak remaja yang bernama Jesse dan Leslie. Jesse adalah remaja lelaki yang tidak pandai bergaul disekolahnya. Bahkan beberapa temannya sering menggodanya dan mengerjainya. Namun dibalik sifat diamnya ternyata Jesse menyimpan bakat luar biasa dalam hal seni lukis. Ia sering secara diam-diam menggambar tokoh-tokoh pahlawan negeri dongeng yang ada dalam imajinasinya. Bahkan hampir seluruh waktu luangnya digunakan untuk melukis dan menggambar. Ia lebih suka mengerjakan hobbynya daripada bermain dengan teman-temannya. Sedangkan Leslie adalah seorang gadis remaja tomboy yang menjadi murid baru dikelas Jesse. Seperti juga Jesse, Leslie menemukan kesulitan untuk mendapatkan teman di sekolah itu. Tetapi Leslie memiliki bakat luar biasa dalam bidang tulis-menulis. Ibunya adalah seorang penulis dan profesi ibunya itulah yang ternyata menjadi pendorong Leslie untuk mencintai dunia tulis-menulis. Dan seperti juga Jesse, Leslie senang menggunakan imajinasinya untuk melepas diri dari rutinitas yang membosankan. Perlahan, Jesse dan Leslie menjadi teman yang sangat akrab dan kebetulan juga ternyata Leslie adalah tetangga baru Jesse. Suatu hari ketika mereka pulang sekolah, mereka bermain kedalam hutan yang berada dibelakang rumah mereka dan secara tak sengaja mereka menemukan suatu hutan ajaib. Hutan dimana imajinasi mereka dapat tumbuh dan hidup bersama dengan mereka. Untuk memasuki hutan tersebut, jalan satu-satunya adalah dengan melintasi sebuah sungai kecil yang yang hanya bisa diseberangi dengan berayun menggunakan seutas tambang yang diikat pada sebuah pohon disamping sungai itu. Leslie dan Jesse kemudian membangun sebuah rumah pohon di hutan itu dan menjadikannya sebagai pos pertahanan mereka dari serangan troll raksasa dan makhluk-makhluk lain dari pangeran kegelapan. Semakin lama, hutan tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Troll raksasa, para warrior yang berbentuk capung, burung-burung monster adalah makhluk-makhluk yang akrab dengan kehidupan mereka di hutan itu. Hingga suatu hari Leslie mendapat kecelakaan di hutan itu dan meninggal. Tali yang digunakan untuk menyeberang ke hutan ajaib ternyata putus dan Leslie tercebur ke sungai. Jesse sangat terpukul dengan kejadian itu dan merasa sangat kehilangan sahabatnya. Ia lalu membangun sebuah jembatan untuk mengenang sahabatnya dan menggantikan tali yang putus itu.

Secara keseluruhan, cerita film ini datar dan biasa saja. Namun ada adegan yang begitu menginspirasikan saya. Ketika Leslie sedang menatap pemandangan dari puncak sebuah pohon, ia mengatakan pada Jesse, "Lihatlah semua gunung dan lautan itu adalah milik kita." Jesse hanya bisa menjawab, "Lautan yang mana? aku tak melihat apapun." "Tutuplah matamu dan bukalah pikiranmu. Maka kau akan melihat apa yang kulihat," jawab Leslie. Jesse pun menutup matanya dan kemudian membukanya kembali. Lalu kemudian pemandangan yang begitu menakjubkan terhampar di depannya. Sebuah pemandangan yang belum pernah dilihat Jesse sebelumnya. Ucapan yang sama juga dikatakan Jesse kepada adiknya ketika ia mengajak adiknya masuk hutan ajaib itu. "Just close your eyes and open your mind. Then, you will get what you want."

Disini, kekuatan pikiran dan imajinasi terbukti begitu kuat. Jauh melebihi kekuatan fisik yang penuh dengan keterbatasan. Kita sering berniat untuk mempelajari suatu ilmu bela diri, kekebalan tubuh dan bahkan ilmu nujum selipun hanya untuk sekedar ingin meraih apa yang kita inginkan dengan jalan singkat. Tetapi ilmu-ilmu tersebut memiliki batasan. Kekuatan pikiran tidak memiliki batasan. Ia hanya terikat pada nurani. Nelson Mandela justru banyak menulis buku ketika berada di penjara. Napoleon selalu mengatakan "aku adalah kaisar Perancis" meskipun dia dibuang di pulau Elba. Colombus tak menghentikan usahanya membuat peta dunia meskipun dia di penjara. Jenderal Sudirman berhasil memimpin gerilya dari balik tandu dan dalam kondisi fisiknya yang begitu lemah.

Kekuatan pikiran dan imajinasi juga terbukti mampu mengubah peradaban dunia. Kita mungkin tidak akan bisa menikmati pesawat udara jika tidak ada mimpi Icarus. Kebenaran Al-Quran tentang alam semesta tidak akan terbukti jika tidak ada Galileo Galilei dan Stephen Hawkings. Jika John F Kennedy tidak mengatakan "By the end of the decade we will put man on the moon," mungkin hingga sekarang kita tidak tahu wajah bulan yang sesungguhnya, bolongnya atmosfir bumi karena polusi kendaraan dan teknologi ramalan cuaca.

Kemampuan imajinasi manusia telah terbukti dapat merubah peradaban dunia, menemukan apa yang tersembunyi, menggali dan menggali rahasia Illahi yang belum kita pelajari. Semua hanya berawal dari.. "Just close your eyes and Open your mind."

Wednesday, April 04, 2007

Beyond "The Labyrinth"

Belum lama ini saya sempat nonton sebuah film (DVD bajakan) yang judulnya “Pan’s Labyrinth”. Yang saya tahu film ini adalah berbahasa spanyol karena memang film ini adalah film non-Hollywood (produksi Spanyol). Bintang-bintangnya pun tidak ada yang tenar, jalan ceritanya sedikit lebih kaku namun sinematografinya sangat indah.

Meskipun begitu, saya sudah sangat mengincar film ini sejak setahun lalu karena menurut berita, film ini adalah salah satu kandidat piala Oscar 2007 untuk kategori film berbahasa asing terbaik dan film ini bertema dongeng fantasi anak-anak. Sekilas, kita pasti berpikir film ini tidak jauh dari bayang-bayang Harry Potter atau Narnia yang akrab dengan dunia remaja dan dapat ditonton anak-anak. Namun setelah menonton, ternyata film ini bukanlah konsumsi anak-anak sama sekali. Banyak adegan sadis, seram dan menjijikkan yang ditampilkan. Adegan penyiksaan seorang tawanan perang dengan dipukuli palu, seorang kapten yang mulutnya disobek dengan pisau, kaki yang diamputasi dengan gergaji, wajah orang yang dipukuli gagang pistol hingga hancur lebur hingga makhluk-makhluk imajinasi yang menyeramkan, kerap menghiasi film ini dan semuanya diperlihatkan secara detail dan close-up. Jadi, jika suatu saat film ini tayang di bioskop, jangan ajak anak-anak untuk menontonnya. Lebih baik ajak teman, suami, istri atau selingkuhan agar bisa berpegangan tangan lebih mesra saat adegan-adegan sadis dan seram berlangsung.

Film ini sendiri bercerita tentang seorang gadis kecil bernama Ofelia yang tinggal dengan ibunya yang sedang mengandung dan ayah tirinya yang kejam. Meskipun hidup menderita karena kekejaman ayah tirinya, Ofelia yang senang dengan cerita-cerita dongeng tidak pernah putus asa. Dalam kepedihannya, ia selalu membebaskan dirinya dengan berkhayal. Begitu senangnya Ofelia dengan dunia dongengnya, maka penonton pun sulit membedakan mana khayalan, mana kenyataan dalam film ini. Hari demi hari, siksaan yang dialami Ofelia semakin buruk dan hanya dunia mimpinyalah yang bisa menyelamatkan dirinya dari tekanan kesedihan. Hingga suatu hari, Ofelia pun mati ditembak oleh ayah tirinya sendiri.

Jangan berharap Happy Ending di film ini, karena banyak kematian dan kepedihan yang menghiasi film dari awal hingga akhir meskipun ilustrasi musiknya sangat bagus. Namun di akhir film, saya jadi berpikir bahwa sebenarnya film ini mewakili kehidupan umat manusia di bumi. Manusia lahir dengan kasih sayang (meskipun terbatas) layaknya Ofelia yang disayangi ibunya dari lahir namun ayah kandungnya meninggal dalam perang. Penderitaan-penderitaan Ofelia yang ditangkis dengan kecintaannya pada dunia dongeng mewakili tekanan hidup manusia yang kemudian berusaha mencari jati dirinya dengan berbagai macam substansi, seperti beragama, menekuni hobby, mempelajari ilmu-ilmu, depresi, frustasi, narkoba, rokok, bahkan bunuh diri. Dan pada akhirnya ketika ajal tiba, kita tidak bisa memilih dengan cara apa nyawa kita diambil namun kita bisa memilih dengan cara apa kita menghadapinya. Ketika Ofelia akan dibunuh oleh ayah tirinya, ia berlari meminta bantuan makhluk Faun yang selama ini menemaninya dalam angan-angan. Namun sebelum dunia mimpinya berhasil menyelamatkannya, peluru terlanjur menembus dadanya. Dalam hembusan nafasnya yang terakhir justru mengantarkannya dalam dunia yang selama ini begitu dalam dicintainya, yaitu dunia dongeng. Ia menghadapi ajalnya dengan memilih menggunakan imajinasinya untuk meraih kecintaannya pada dunia dongeng.

Hingga dalam kematiannya, Ofelia tersenyum bahagia. Tidak satupun yang mengerti dunia imajinasi Ofelia kecuali dirinya sendiri, tidak satupun kerabatnya yang merngerti mengapa ia meninggal dengan tersenyum.

Nah, bagaimana dengan kita? Cara apa yang akan kita pilih untuk menghadapi ajal? Sudahkah kita menemukan apa yang kita cintai begitu dalam? Sesuatu yang selalu menemani kita bahkan disaat yang paling berat sekalipun? Sesuatu yang selalu menyelamatkan kita dari tekanan hidup layaknya dunia dongeng Ofelia yang selalu menyelamatkannya dari kepedihan? Sesuatu yang dapat membuat kita menghadapi ajal dengan tersenyum?

Monday, April 02, 2007

Celestine Prophecy & Islam

Sekitar 13 tahun yang lalu, pada saat saya masih duduk di bangku kuliah, seorang teman pernah menanyakan pada saya tentang sebuah buku yang berjudul “Celestine Prophecy”.
Saat itu saya sendiri tidak mengetahui apapun tentang buku itu. Namun seorang teman menyarankan saya untuk membacanya. Saya ingat teman saya berkata, “Coba deh lu baca. Bagus juga isinya tentang perjalanan spiritual.” Beberapa teman lagi mengatakan bahwa buku itu berkaitan erat dengan kitab Perjanjian Lama.

Tak lama, saya segera mencarinya di toko buku. Memang tidak susah, karena buku itu termasuk best seller di toko-toko buku pada saat itu. Berdasarkan banyak masukan dari teman, saya mengarapkan buku tersebut sarat dengan kata-kata dan ajaran bijak atau paling tidak bisa mengimbangi kekaguman saya pada buku “Syeh Siti Jenar” yang baru selesai saya baca waktu itu. Namun baru beberapa chapter saya membacanya, saya seperti kehilangan arah. Bagi saya buku itu hanyalah seperti novel action biasa. Saya beranggapan bahwa hampir tidak ada nuansa spiritual didalamnya dan terlalu mengada-ada. Saya langsung berhenti membaca tanpa ada niat untuk meneruskannya lagi.

Anehnya di kampus saya, saat itu buku “Celestine Prophecy” menjadi bahan diskusi yang seru. Terutama diantara teman-teman saya dari fakultas theology. Saya sendiri lebih tertarik untuk main billyard, main gamelan di sanggar karawitan kampus atau nonton sepak bola di kos-kosan seorang kawan. Lagipula saya sendiri bukan berasal dari fakultas theology, jadi saya pikir tidak perlu bagi saya untuk terlibat dalam diskusi tersebut.

Sampai pada beberapa waktu lalu ketika istri saya membeli sebuah film DVD dengan judul yang sama, “James Reinfield’s Celestine Prophecy”, baru saya tertarik untuk mengkaji kembali novel tersebut. Saya memang pernah berpikir jika The Da Vinci Code saja bisa dibikin filmnya, maka seharusnya Celestine Prophecy tidak kalah menariknya untuk diangkat ke film. Mimpi menjadi kenyataan, karena memang film tersebut kini dapat di beli di outlet-outlet DVD bajakan. Ketika menontonnya, baru saya dapat sedikit memahami ‘perjalanan spiritual’ yang dikatakan teman kuliah saya 13 tahun yang lalu. Memang film tersebut tidak se-detail novelnya, namun justru saya merasa lebih dituntun dengan mudah melalui filmnya untuk memahami novelnya.

Celestine Prophecy sendiri bercerita tentang sebuah manuskrip kuno yang ditemukan di pedalaman Peru. Sebuah manuskrip yang berisi wawasan-wawasan yang akan menuntun kehidupan manusia ke tingkat kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Namun, pemerintah Peru dengan dukungan lembaga gereja setempat berniat menghancurkan manuskrip tersebut karena dianggap mengganggu stabilitas institusi. Tetapi seorang pastor berhasil menyalin wawasan tersebut dan memberikannya kepada seorang peneliti asal Amerika. Dalam perjalanannya menyelamatkan wawasan-wawasan yang sudah ditemukan itu, ia mempelajari satu per satu wawasan tersebut.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya ketika salah satu wawasan itu membahas mengenai energi. Dikatakan bahwa semua benda di alam ini memiliki energi positif dan negatif. Termasuk pada saat kita makan dan minum, makanan yang kita makan tersebut memiliki energi untuk tubuh kita. Itulah sebabnya jika kita makan maka tubuh kita menjadi kuat karena berenergi. Jika kita tidak makan, maka akan menjadi lemas karena kurang energi. Namun yang menjadi perhatian saya disini adalah bagaimana kita mengapresiasikan energi di sekitar kita. Saya yakin di semua agama pasti diajarkan untuk berdoa sebelum makan. Orang tua dan guru agama kita pasti mengajarkan hal ini sebagai sarana bersyukur atas makanan yang kita nikmati. Namun sebenarnya hal ini adalah hakekat dari apresiasi kita terhadap energi yang ada di makanan tersebut. Bukan sekedar bersyukur, namun kita berterima kasih kepada makanan tersebut karena telah memberi energi pada tubuh kita.

Substansi doa seperti ini adalah apresiasi energi positif untuk makanan yang kita makan. Maka Insya Allah makanan itu akan memberikan energi postif untuk tubuh kita. Jadi janganlah heran sekarang ini timbul begitu banyak penyakit yang baru dan aneh seperti flu burung, kencing tikus dan lain-lain. Memang semua itu bisa dijelaskan secara teknis seperti kandang burung yang kotor atau karena banjir yang melanda kota. Namun energi negatif yang kita terima dari alam dalam bentuk bencana sebenarnya adalah bias dari energi negatif yang kita lemparkan ke alam.

Kita seringkali membuang sampah sembarangan, meludah disembarang tempat, mengotori udara dengan asap knalpot, mencemari heningnya alam dengan suara bising motor kita, merusak tanaman, menyiksa binatang tanpa sebab, mengajari anak-anak kita untuk memusuhi jenis hewan tertentu (meskipun hewan itu juga ciptaan Allah), membenci kelompok manusia yang berbeda, memperkeruh udara dengan polusi asap rokok dan lain-lain. Kesalahan-kesalahan kecil hingga besar yang kita lakukan selama ini sangat tidak kita sadari namun justru kita anggap sebagai sesuatu yang benar bahkan beberapa diantaranya kita anggap menghasilkan ‘pahala’ (semacam reward di akhirat).

Manusia sebenarnya hidup dalam lingkup energi yang saling terkait. Ketika seorang sales asuransi mempresentasikan produknya, maka sebenarnya ia sedang berusaha merebut energi dari calon kliennya. Ketika seseorang mulai merasa frustasi dengan pekerjaan, maka energi positifnya cenderung berkurang dan energi negatifnya meningkat sehingga menimbulkan tindakan-tindakan yang negatif seperti menjatuhkan rekan kerjanya, korupsi, memperjual-belikan property kantor, mark-up harga, mencari perhatian atasan, dsb. Contoh lain adalah ketika sedang terjadi perebutan proyek oleh para calon kontraktor. Keuntungan proyek tersebut memiliki energi yang paling kuat sehingga ia mempengaruhi energi para calon kotraktor. Ketika energi positif para calon kontraktor ini mulai terpengaruh dan berkurang maka energi negatif-lah yang bertambah. Terjadilah penyuapan, saling menjatuhkan, permainan harga dan segala upaya negatif yang lain.

Dalam Islam, energi positif ini kita kenal dengan Asma’ul Husna atau nama sifat-sifat Allah. Pada dasarnya semua sifat-sifat Allah itu sudah tertanam pada manusia sejak lahir. Energi positif itu adalah Asma’ul Husna yang dihembuskan ke setiap jiwa yang dilahirkan dan ke setiap bentuk yang Ia ciptakan. Kita juga mengenalnya dengan sebutan ‘suara hati’. Dalam perkembangannya, energi positif ini mendapat banyak pengaruh dari lingkungan, tekanan, godaan, pengalaman, pola pikir dan literatur. Hal-hal inilah yang dapat berkembang menjadi energi negatif dan menjauhkan manusia dari sifat-sifat Tuhannya. Lalu bagaimana menjaga keseimbangannya? Islam mengajarkan kita dengan shalat, berpuasa, berzikir, beramal dan lain-lain. Amal bukan berarti sekedar menyumbang materi kepada pengamen, pengemis atau anak yatim piatu di saat Ramadhan. Tetapi memberikan pengetahuan pada orang lain, selalu berbuat baik tanpa harapan imbalan dan pahala, menolong dan menghormati semua makhluk-makhluk Allah. Dengan demikian kita sudah sedikit memancarkan energi positif kita kepada alam sekitar dan meredam bias energi negatif. Demikian juga berarti kita sudah mencoba untuk kembali ke sifat-sifat Allah.
Powered By Blogger