Thursday, April 02, 2009

Race on a volcano


Tak ada yang meragukan keindahan alam Jawa Barat. Sebagai salah satu destinasi wisata masyarakat Jakarta dan sekitarnya, dataran tinggi Bandung kerap kali menjadi sasaran utama para penikmat alam bebas untuk melepaskan sejenak kepenatan dan rutinitas kota.

Sekitar 25 kilometer ke arah utara Bandung, cobalah untuk berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu. Gunung dengan ketinggian 2.084 meter dpl ini memang sudah sejak lama menjadi sasaran wisata warga Bandung dan sekitarnya termasuk Jakarta.

Meski terlihat sebagai tempat wisata keluarga, Tangkuban Perahu juga cocok bagi anda yang senang petualangan dan hiking. Sebagai volcano atau gunung berapi aktif, Tangkuban Perahu termasuk sebagai sleeping volcano. Letusan terakhirnya adalah tahun 1983.

Dengan waktu tempuh sekitar 4 jam dari Jakarta melalui rute Subang dan Purwakarta, Tangkuban Perahu tidak sulit untuk dijangkau dengan kendaraan pribadi. Dari pintu gerbang sebetulnya saya memutuskan untuk berjalan kaki hingga ke puncak gunung yang kira-kira jaraknya sekitar 3 kilometer dengan kondisi jalan terus mendaki. Namun saya terpaksa mengurungkan niat saya karena petugas di pintu masuk menyarankan saya untuk tetap menggunakan kendaraan hingga sampai di tempat parkir. Dari situ, saya baru diizinkan untuk berjalan kaki ke puncak untuk melihat kawah. Jarak dari lokasi parkir menuju puncak adalah sekitar 1,2 kilometer.

”Nggak jauh kok,” bujuk saya pada teman-teman saya. Namun ketika kami baru berjalan sekitar 200 meter, kelelahan sudah mendera saya dan teman-teman. Nafas kami mulai tersengal-sengal karena jalan yang terus menanjak dan udara belerang yang menusuk penciuman kami. Saya tentu tak memperkirakan hal ini.

Sejenak kami menikmati pemandangan di sekitar jalan. Pohon-pohon pinus dan jurang-jurang yang ditutupi hutan lebat menyegarkan pikiran kami yang rindu alam bebas. Sambil beberapa kali beristirahat, kami melanjutkan perjalanan sambil mengobrol dan saling bercanda. Tak terasa bukit-bukit tandus dengan pagar kayu di bibir jurangnya sudah terlihat dihadapan kami. Sambil menarik nafas lega, sayapun bergegas menuju bibir jurang menganga yang berada dipuncak Tangkuban Perahu.

Sebuah pemandangan indah terhampar dihadapan kami. Sebuah kawah besar dengan kepulan uap belerang yang berada di sela-sela bebatuan hitam membuat saya dan teman-teman hanyut sejenak dalam keindahan itu.

Beberapa teman yang membawa kamera langsung menyiapkan kamera mereka. Dan yang lainnya bisa ditebak. Segera pasang aksi narsis! Saya tak melewatkan kesempatan ini untuk mengambil gambar pemandangan disekitar kawah. Bebatuan putih dan kuning, dipadu dengan hutan-hutan kecil yang hijau dan birunya langit yang siang itu sangat cerah menjadikan pemandangan siang itu begitu mengesankan.

Terdapat tiga buah kawah yang berada di Tangkuban Perahu, yaitu Kawah Ratu, Kawah Upas dan Kawah Domas. Kawah yang paling mudah dapat dilihat adalah Kawah Upas dan Kawah Ratu. Kawah ini langsung terlihat begitu pengunjung tiba dipuncak. Disarankan untuk tidak terlalu dekat dengan pagar pemabatas saat menyaksikan keindahan kawah ini karena konsdisi pagar-pagar kayu yang terlihat agak rentan dan tidak rata.

Saya sempat kembali membujuk teman-teman saya untuk turun ke bawah langsung dan berdiri diatas Kawah Ratu untuk merasakan sensasi di lingkaran kawah ini. Namun ternyata saya harus mengurungkan niat saya karena ternyata petugas melarang pengunjung untuk turun kebawah disebabkan bahaya gas beracun yang keluar dari kawah.

Kamipun memutuskan untuk melakukan santap siang sejenak untuk mengisi tenaga. Sambil dikelilingi pemandangan indah, bermandikan cahaya matahari yang cerah dan diselimuti angin dingin sambil sesekali dibekap kabut gunung, makan siang kami benar-benar terasa luar biasa. Beberapa pedagang yang menjajakan topi berbulu yang khas menghampiri kami sambil menyodorkan barang dagangan mereka. Keluarkan semua ilmu menawar anda jika ingin membeli barang dagangan mereka.

Disebelah kanan bibir jurang, pengunjung dapat memuaskan hasrat berbelanja dengan berbelanja di pasar suvenir. Sekali lagi, disini ilmu tawar-menawar anda akan diuji! Bentuk dari pasar suvenir ini juga tergolong unik. Hamparan kios-kios tradisional berjejeran berkelok dengan kondisi jalan yang menurun dipadu dengan warna-warni cinderamata membuat mata ini tak bosan untuk mondar mandir di gang pasar ini.

Beberapa turis asing seperti dari Timur Tengah dan Taiwan juga banyak berkeliaran berbelanja cindera mata disini. Saya dan beberapa teman menelusuri gang pasar ini hingga terus ke sebuah jurang dengan pemandangan yang juga menakjubkan. Kami berfoto-foto sebentar disini dan tak disangka, disini kami bertemu dengan rombongan kedutaan Kuwait yang juga sedang asyik berfoto-foto di bibir jurang.

Kamipun meneruskan perjalanan menyusuri hutan kecil dengan rute cukup datar. Disini cukup rindang karena banyak pohon besar yang tumbuh dikanan kiri jalan setapak. Dibeberapa belokan, jalanan justru mengarah masuk ke dalam hutan-hutan kecil. Kami terus berjalan sebelum akhirnya tiba disebuah bibir jurang dengan kondisi jalan agak sulit. Melewati celah batu-batu besar dan curam. Diujung rute, saya membaca tanda ”batas akhir pengunjung.”

Kamipun berhenti disitu sambil duduk di batu-batu besar yang menghadap ke Kawah Upas. Kepulan uap belerang terlihat lebih banyak disini. Mereka mengepul disisi-sisi jurang diantara bebatuan gelap. Sambil melepas lelah, kami membayangkan betapa panasnya batu-batuan tersebut.

Sepasang turis asing yang sudah cukup berumur bertemu kami disini, Kami menyarankan untuk berhati-hati karena jalan yang dilalui cukup berat dan mereka tidak menggunakan sandal atau sepatu khusus treking. Namun pasangan turis ini membuat kami tercengan dan malu setengah mati. Karena ternyata mereka berjalan lebih lincah dan lebih cepat dari kami semua.

Setelah ”dipecundangi” pasangan turis bule paruh baya di jalur Kawah Upas, kami menuju ke Kawah Domas. Konon di kawah ini, pengunjung dapat merebus telur hingga matang di air kawahnya. ”Rebus telur 10 menit,” begitu kata iklan yang terpampang di papan penujuk jalan. Meladeni rasa penasaran, kamipun bergerak menuju kawah Domas.

Jalur ke Kawah Domas lebih sulit dari Kawah Upas. Menuju Kawah Domas harus melalui jalan meurun yang cukup jauh, yaitu sekitar 1,2 kilometer dengan rute menurun dan berkelok-kelok. Jalur yang lebih mudah sebenarnya dapat ditempuh dari pinggir jalan utama dekat gerbang masuk. Jalur dari situ lebih mendatar dan dekat dibanding jalur dari puncak Tangkuban Perahu.

Rasa lelah kembali mendera kami sekitar 300 meter sebelum tiba di Kawah Domas. Kawah ini terlihat dari atas tidak begitu besar dibanding Kawah Ratu dan Kawah Upas. Namun rute terakhir menuju Kawah Domas cukup sulit karena harus melalui turunan yang sangat curam. Disini, kami kembali tercengang. Bukan karena indahnya pemandangan, namun karena jauh dibawah sana, pasangan turis bule yang tadi bertemu kami, tampak sedang asyik merebus telur di tengah kawah. Kami ”dipecundangi” lagi.

Ingin sekali sebetulnya kami bergabung dibawah sambil merebus telur. Namun sayang, waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 yang berarti kami harus kembali ke tempat parkir, karena kawan-kawan yang lain menunggu disana pukul 16.00. Kami harus berpacu dengan waktu.

Jalan menuju tempat parkirpun ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Rute ini melewati hutan-hutan dengan jalan setapak yang sesekali bercabang dan tak jelas arahnya. Udara dingin sejuk yang tadi saya rasakan, kini mulai berubah menjadi panas dan gerah. Ini disebabkan kartena rute yang saya lalui menjadi semakin berat dan menguras banyak tenaga. Disebuah persimpangan, kami sempat terkecoh dengan cabang-cabang jalan. Rute yang kami ambil ternyata membawa kami pada kondisi jalan yang semakin berat.

Kami sempat beristirahat sejenak sambil berfoto-foto di tengah hutan. Meski kami semua khawatir tersesat, namun ketika kamera mulai dinyalakan, sebuah senyum keterpaksaan pun menghiasi wajah kami. ”Ayo lanjut,” kata kawan saya yang merasa yakin bahwa jalan menanjak didepan kami akan membawa kami ke jalan utama.

Benar saja, setelah menjajaki jalan menanjak yang tak ada habisnya, akhirnya kami dapat mendengar deru sepeda motor. ”Tuh betul kan!” kata kawan saya tadi. Kamipun bergegas memaksa tenaga kami yang tersisa untuk terus menjejak jalur menanjak. Akhirnya saya dapat bernafas lega begitu kami benar-benar tiba di seberang lapangan parkir. Rasa khawatir yang dari tadi menghinggapi kami, berubah menjadi perasaan lega diiringi tawa canda sambil berjalan tertatih-tatih kelelahan. Namun, untuk yang kesekian kalinya, kami harus tercengang lagi. Bis rombongan kami sudah tidak ada di tempat parkir. Kami ketinggalan bis!

Setelah ”dipecundangi” pasangan kakek nenek, kini kami ”dipecundangi” oleh waktu kami sendiri. Untungnya ternyata bis rombongan kami menanti kami di pintu gerbang. ”Lima belas menit!” kata ketua rombongan kami melalui telpon seluler. Kami kembali berpacu dengan waktu karena jalan kaki menuju pintu gerbang sangat jauh. Apalagi kami dalam kondisi kelelahan.

Untungnya, sebuah bis yang mengangkut rombongan wisata pegawai negeri, berkenan kami tumpangi hingga pintu gerbang. ”Kenapa mas?” tanya seorang bapak di bis itu. Kamipun menjawabnya sambil malu-malu, ”Ditinggal rombongan pak.” Kali ini kami dapat mengalahkan waktu lima belas menit untuk sampai di tempat bis kami menunggu. Tak sampai sepuluh menit kami tiba. Namun sebagai imbalan, kami jadi bahan tertawaan kawan-kawan lainnya karena sempat ditinggal rombongan. What a race!

Warna warni Little Amsterdam














Pictures of Citalahab









Cirebon's Sacred Night



Kota Cirebon bagi saya memang sudah tak asing lagi. Namun yang membuat kunjungan saya kali ini berbeda adalah antusias masyarakat Kota Udang ini dalam menyambut malam Panjang Jimat, yaitu malam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Malam yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat Cirebon sebagai malam yang keramat dan penuh dengan ritual.

Perjalanan ini juga awalnya hanyalah memenuhi ajakan kawan lama saya Ami, yang tinggal di Cirebon untuk menyaksikan ritual khas Kota Udang itu. “Menjelang Maulid, Cirebon bakalan ramai dan banyak upacara adat,” katanya.

Tanpa membuang waktu lagi, Ami mengajak saya untuk jalan-jalan diseputar kota Cirebon. Tempat yang pertama kami tuju adalah daerah Pasar Pagi. Disini, meskipun sudah sore hari, para pedagang tetap ramai. Kebanyakan dari mereka menjual hasil laut seperti ikan jambal roti, kerupuk udang, terasi udang dan berbagai jenis ikan laut. Di beberapa kios juga terlihat pedagang manisan khas Cirebon. Namun target saya sore itu adalah makanan khas Cirebon favorit saya yang paling masyur: Empal Gentong!

Kenyang menyantap empal gentong, Ami mengajak kami berjalan-jalan menyusuri daerah Pasar Pagi dengan berbelanja sejenak. Setelah itu, saya kembali meneruskan jalan-jalan sore dengan menuju ke Keraton Kanoman yang letaknya di ujung jalan. Ami yang tak bisa mengantar kami menuju Kanoman karena suatu urusan penting, berjanji akan menemani kami lagi esok pagi untuk berjalan-jalan melihat persiapan warga Cirebon menyambut Panjang Jimat.

Mendekati Keraton Kanoman, suasana menjadi bertambah ramai. Banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di sekitar gerbang masuk keraton. Ternyata di setiap malam menjelang Panjang Jimat, di setiap keraton memang selalu ada pasar malam yang digelar secara kagetan. Saya segera memasuki jalan-jalan menuju gerbang Kanoman. Di kanan kiri saya berbagai macam barang dagangan digelar. Mulai dari pakaian, gorengan, martabak, arumanis, mainan anak-anak hingga para peramal yang menawarkan jasa membaca nasib melalui garis tangan.

Setelah beberapa kali mengitari areal Keraton Kanoman, saya dan Alel menghampiri sebuah bangunan keraton yang bertulisakan Museum Keraton. Bangunan ini tertutup dan terkunci. Mungkin memang karena hari itu sudah malam. Di depannya banyak sekali terlihat warga Cirebon yang sedang beristirahat. Entah sekedar duduk-duduk atau mengobrol dengan kerabatnya. Sayang sekali areal yang mengandung begitu besar kisah sejarah ini tampak tak terjaga kebersihannya. Saya tak sekalipun melihat adanya tempat sampah. Banyak warga yang membuang sampah seenaknya membuat areal keraton ini jadi tak sedap dipandang mata.

Malam semakin larut dan akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke penginapan dengan berjalan kaki. Jarak yang kami tempuh kira-kira sekitar dua kilometer hingga sampai ke hotel. Meski lelah, semangat kami tak surut sambil menikmati keramaian di sepanjang Jalan Siliwangi.

Esok paginya, seperti yang sudah dijanjikan Ami, kamipun segera bertolak menuju makam Sunan Gunung Jati. “Menjelang Maulid, disana bakal penuh peziarah,” kata Ami. Dengan menggunakan sebuah becak, kamipun bertolak menuju makam yang letaknya sekitar empat kilometer dari tempat saya mengunap. “Lima belas ribu!... Sampai depan pintu masuknya,” kata si tukang becak.

Seperti yang sudah dijelaskan oleh Ami, suasana makam memang penuh dengan pengunjung. Berbagai kios digelar di depan pintu masuk makam sehingga agak sulit juga untuk menuju pintu kompleks pemakaman. Setelah terbebas dari desakan pengunjung di areal depan, para pengemis masih membuntuti kami untuk meminta sedekah. Belum lagi banyaknya kotak-kotak amal yang digelar warga di sepanjang areal pemakaman. Beberapa dari mereka memang meminta secara paksa namun tak sampai mengganggu perhatian saya pada antusiasme warga Cirebon yang hendak berziarah ini.

Antrian panjang peziarah tertuju pada sebuah pintu besar yang tertutup rapat. Para peziarah bergantian memegang pintu tersebut dan yang lainnya tampak duduk menghadap pintu sambil mengumandangkan shalawat atau hanya sekedar membaca surat-surat Al Qur’an. “Itu pintu ke makam Sunan. Hanya dibuka saat malam Panjang Jimat dan hanya keluarga Sunan yang boleh masuk,” kata Ami.

Meski suasana sangat padat dan penuh sesak, namun nuansa religi dan spiritual yang begitu kuat memang tak bisa dipungkiri disini. Seorang petugas makam yang juga berpakaian adat berwarna putih menghampiri saya sambil memberi penjelasan tentang beberapa makam yang ada di situ. “ Masuk saja pak, itu makam istri Sunan yang berasal dari Cina,” katanya. Makam itu sedang diziarahi beberapa warga. Yang unik adalah, ada dupa di bagian depan makamnya. Mirip seperti yang terdapat di klenteng-klenteng. Mungkin ini menjelaskan asal-usul sang istri Sunan.

Kami melanjutkan perjalanan dengan memasuki sebuah ruangan dimana terdapat sebuah tangga yang menuju ke bagian atas kompleks ini. Disetiap ruangan ini ada beberapa petugas makam yang sedang mengaduk beras yang terdapat disebuah tempat yang mirip bak. “Sedekahnya pak, buat Mauludan,” kata mereka.

Dibagian atas kompleks pemakaman ini ternyata masih banyak terdapat makam-makam keluarga Sunan. Jalurnya pun masih terus menanjak lagi. Banyak juga rombongan dari luar kota yang sedang berziarah ke bagian ini. Sekelompok peziarah terlihat sedang bersalawat sambil duduk mengerumuni sebuah makam. Ada juga beberapa orang yang mengambil segenggam tanah disamping bangunan makam Sunan. “Ini buat disimpan pak. Bisa bawa rezeki atau yang punya anak biar anaknya pintar nantinya,” kata petugas makam.

Setelah puas mengunjungi makam Sunan Gunung Jati, kami menuju Keraton Kasepuhan yang kondisinya jauh lebih ramai dari makam Sunan. Hamparan tenda-tenda pedagang pasar kaget yang cuma ada menjelang Panjang Jimat ini benar-benar sulit ditembus. Kami mengambil jalur memotong, menyisir sebuah kali disamping keraton. Ami nampaknya sangat lihai dengan hal ini.

Memasuki Keraton Kasepuhan pun harus bergantian dengan pengunjung yang berdesakan. “Maklum, ini menjelang Maulid,” kata Ami. Di bagian dalam keraton, saya begitu tertegun dengan dinding keramik yang menghiasi bangunan tua nan kokoh ini. Seorang petugas keraton menghampiri saya sambil menjelaskan tentang keramik-keramik tersebut. “Gambar yang ada di keramik ini menjelaskan tentang kisah Nabi Adam hingga Nabi Isa,” katanya.

Luar biasa! Ternyata keraton yang berbasis Islam ini didalamnya terdapat ornamen yang melambangkan kaum Nasrani. Saya sendiri bisa melihat gambar penyaliban Nabi Isa dan berbagai kisah yang diangkat dari Injil. Meski begitu, susunan keramik ini dibuat mirip kubah mesjid hingga membentuk nuansa Islam. Benar-benar sebuah perpaduan yang menarik! Ini bukti dari kerukunan antar umat beragama di zaman kesultanan dulu.

Disamping kiri areal keraton, Ami mengajak saya mengunjungi museum yang terdapat kereta Singobarong. Konon kereta ini dapat membawa berkah bagi siapa yang menyentuhnya. Betul saja! Antrian panjang terlihat di depan pintu museum. Dengan membayar Rp 2.000, kami ikut mengantri masuk ke museum. Kerumunan warga begitu ramai mengelilingi kereta Singobarong yang berbentuk burung dengan kedua sayapnya berwarna emas yang mengembang di samping kereta. Kereta ini langusng terlihat di depan pintu masuk. Orang tua dan anak-anak, semuanya berebutan memegang badan kereta. Beberapa orang tua bahkan memegangnya berkali-kali dan kemudian membasuhkan tangan ke wajah mereka. Antusiasme warga yang benar-benar menarik!

Esok paginya, kami melanjutkan perjalanan kami ke Keraton Kacirebonan yang letaknya tak jauh dari Keraton Kasepuhan. Berbeda dengan dua keraton sebelumnya, Kacirebonan nampak lebih sederhana dan jauh dari hiruk pikuk pasar kaget. Beberapa pedagang yang berjualan disini hanya berjualan cindera mata khas cirebon seperti batik, kain ikat kepala, kaos bergambar simbol-simbol Cirebon dan topeng-topeng khas Cirebon.

Suasana adem dan nyaman langsung terasa begitu kami memasuki gerbangnya. Seorang bapak berpakaian casual dengan ramah menyapa saya. “Darimana mas?” katanya. Ternyata bapak tersebut adalah salah seorang anggota keluarga Keraton Kacirebonan. Kami pun diajak berkeliling untuk berfoto-foto sambil diberikan penjelasan tentang sejarah kesultanan Cirebon. “Sambil duduk akan lebih enak,” katanya sambil mempersilahkan kami untuk lesehan dihalaman keraton.

“Anda tahu arti sebenarnya dari Panjang Jimat?” tanya bapak itu. Sayapun menjawab dengan pengetahuan yang saya miliki bahwa Panjang Jimat adalah upacara mengarak benda-benda pusaka keraton. “Itu salah besar,” kata bapak itu. Dari penjelasannya, saya baru tahu jika sebenarnya Panjang Jimat adalah hanya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Bentuk peringatan itu diwujudkan dengan penghormatan pada para leluhur. Salah satunya adalah dengan membersihkan barang-barang peninggalan leluhur, membaca ayat-ayat suci dan kemudian menyimpannya kembali.

Sesuai dengan perkembangan zaman, kepercayaanpun mulai bergeser. Banyak warga yang menganggap bahwa benda-benda peninggalan leluhur itu memiliki kekuatan dan berkah. Sehingga akhirnya benda-benda itulah yang sekarang menjadi simbol dari Panjang Jimat. “Datang saja kemari malam ini,” undang bapak itu. Sayapun tak akan melewatkan kesempatan berharga ini.

Pengalaman yang menakjubkan bagi saya terjadi selepas Adzan Isya malam itu. Saya dan Ami begegas menuju Keraton Kacirebonan. Suasana kota agak sepi karena hampir semua warga Cirebon menuju ke keraton. Beberapa petugas keamanan yang mengenal Ami langsung mempersilahkan kami masuk ke areal keraton yang sudah penuh oleh warga. Ami yang selama ini bertugas di Pemda Cirebon memang tak perlu undangan khusus untuk bisa masuk dan duduk di kursi undangan. Maklum, Ami kenal dengan semua pejabat yang hadir malam itu di Kacirebonan.

Acara langsung dimulai begitu Gubernur Jawa Barat hadir di keraton. Kesempatan langka bagi saya. Kapan lagi bisa memotret seorang Gubernur Jawa Barat dari jarak sangat dekat dan bisa duduk di belakang kursi beliau! Saya pun segera bergabung dengan para rombongan jurnalis.

Setelah beberapa kata sambutan dari pihak keraton dan Gubernur, arak-arakan Panjang Jimat segera dimulai. Dengan diiringi shalawat, rombongan mulai berjalan keluar dari ruangan utama menuju alun-alun keraton dan kemudian menuju mesjid di samping keraton. Mesjid ini memang khusus untuk kalangan keraton. Suasana sakral sangat terasa!

Benda-benda pusaka yang dibawa keluar ini sudah dicuci pada pagi harinya. Dalam keadaan terbungkus kain, benda-benda ini di arak perlahan-lahan keluar. Sayang sekali saya tak dapat melihat benda-benda dibalik bungkusan itu. Masyarakat yang dari tadi sore sudah memenuhi alun-alun, langsung mengikuti iring-iringan itu. Barikade yang mengawal iring-iringan ini adalah sekelompok anak-anak muda berpakaian ala pencak silat, serba hitam. Para kaum ibu segera berebut mencabuti daun-daun penghias ruangan. “Itu berkah mas,” kata seorang petugas keamanan pada saya.

Jangan terkejut dengan cerita-cerita gaib di seputar acara ini. Menurut Ami, di acara seperti ini, para “pengunjung tak terlihat” kerap datang. Jadi seolah-olah kerumunan massa terlihat begitu padat. “Pengunjung tak terlihat” yang dimaksud Ami, tak lain adalah para makhluk halus.

Setelah melewati kerumunan massa, iring-iringan memasuki mesjid keraton. Disini, saya tak diizinkan masuk. Beberapa jurnalis juga terpaksa meliput dari luar. Sayapun terpaksa mengambil gambar dari luar sambil berebutan tempat dengan para warga. Para pembawa benda-benda pusaka ini nampak duduk mengitari benda-benda tersebut sambil diterangi lilin-lilin. Pintu masjid segera ditutup rapat oleh petugas berpakaian sorban mirip para kiyai zaman dahulu.

Lantunan ayat-ayat suci segera terdengar dari dalam mesjid kecil yang sakral itu. Saya terkagum-kagum dari balik jeruji jendela yang bermotif antik sambil menodongkan kamera kedalam ruangan yang kental bernuansa spiritual itu. Warga juga masih banyak yang mengelilingi mesjid. Mereka masih penasaran melihat benda-benda pusaka tersebut.

Meski acara Panjang Jimat sudah selesai, tapi antusias warga masih sangat terasa di sekitar keraton. Beberapa dari mereka ada yang segera bergegas ke Keraton Kanoman dan Kasepuhan untuk menyaksikan upacara yang sama. Namun menurut Ami, kondisi keramaian di Kasepuhan sudah tak bakal bisa ditembus. Disanalah pusat keramaian Panjang Jimat seantero Cirebon. “Bukan hanya orang Cirebon. Dari Indramayu, Garut, Tasik, semua ngumpul di Kasepuhan,” kata Ami. Mungkin karena Kasepuhan adalah keraton paling tua dan paling besar di Cirebon. Kami mengurungkan niat kami menuju Kasepuhan karena faktor keamanan disana.

Dua orang anggota Keraton Kacirebonan yang ternyata kenal dengan Ami terlihat bercakap-cakap di depan mesjid. “Pengajiannya kira-kira sampai jam 23.00,” kata Ami pada saya. Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke penginapan karena harus berkemas untuk pulang ke Jakarta esok pagi. Sayapun berpamitan dengan beberapa petugas keraton. “Tahun depan kesini lagi ya,” kata mereka. “Tahun depan kita coba ke Kanoman atau Kasepuhan,” kata Ami. Entah itu Kasepuhan, Kanoman atau Kacirebonan, bagi saya mengikukti malam sakral Panjang Jimat adalah pelajaran yang sangat berharga. Pengalaman menembus budaya masa lampau yang begitu sakral.

Tips mengikuti upacara Panjang Jimat
Untuk mengikuti upacara di Kasepuhan, disarankan untuk hadir disana dari sore hari. Kerumunan massa akan semakin membludak menjelang acara di keraton tertua di Cirebon ini. Berbeda
dengan Keraton Kanoman dan Kacirebonan yang relatif agak sepi.

Imlek Glodok 2009























































Powered By Blogger