Sunday, April 15, 2007

War in Hollywood

Setelah suksesnya film trilogy Lord Of The Ring, Hollywood seakan bernafsu untuk membuat film-film kolosal berlatar sejarah dari peradaban menengah. Meskipun Return… sendiri bukan berdasarkan sejarah nyata, tetapi film ini banyak memberikan inspirasi bagi para insan perfilman untuk membuat film kolosal dengan setting yang sangat mendetail, adegan pertempuran yang super dahsyat dengan melibatkan ratusan ribu prajurit dan teknologi special efek yang mengagumkan. Mungkin masih teringat betapa adegan penyerbuan prajurit Rohan ke Minas Tirith dengan menaklukan pasukan Mordor di padang Peleanor begitu menegangkan dan menyita banyak perhatian penonton. Adegan itu bisa dikatakan adegan puncak dari film itu. Walaupun dari segi cerita, pertempuran Peleanor bukanlah pertempuran terakhir. Dan tidak menandakan kejatuhan Mordor, karena setelah itu Aragorn, sang raja Gondor harus kembali bertempur di Gerbang Hitam Mordor melawan 10.000 pasukan Orcs. Lalu mengapa adegan itu sekarang banyak dijadikan acuan adegan pertempuran kolosal?
Pertama, pertempuran tersebut melibatkan ratusan ribu prajurit yang saling serang dan bunuh. Walau kenyataannya sebagian besar prajurit tersebut adalah rekayasa animasi komputer. Disini dibutuhkan kecermatan teknologi tinggi. Tidak terlihat adegan yang tambal sulam dan semuanya dibuat dengan begitu rapih. Mulai dari prajurit yang menunggang kuda hingga pasukan musuh yang terlindas diterjang pasukan kuda Rohan. Penonton bioskop pun rela tidak berkedip dan menahan diri untuk tidak keluar ke kamar kecil.
Kedua, detail yang ditampilkan seolah memberikan kita pelajaran seni tingkat tinggi. Mulai dari detail pakaian tempur masing-masing kerajaan, ciri khas senjata yang berbeda dan kecermatan menampilkan teknologi animasi yang digabungkan dengan adegan sungguhan. Ketiga, pertempuran-pertempuran tersebut memang kejadian yang dinanti-nantikan oleh para penonton. Kalau kita mengikuti film Lord of The Ring dari awal ( Fellowship of The Ring ), akan kita dapatkan bahwa setiap episode film ini selalui ditandai dengan pertempuran sebagai puncak cerita. Pertempuran menjadi moment yang penting bukan karena sekedar adegan action yang seru atau tingkat ketegangannya, tetapi akumulasi dari cerita itu sendiri. Dalam Fellowship… pertempuran puncak terjadi dihutan dekat sungai Besar setelah mereka melalui Argonath. Disinilah para fellowship tersebut diserang mendadak dan terpisah-pisah. Disinilah kemudian pernyataan yang menentukan muncul..”The Fellowship is Broken!” Dalam The Two Towers, adegan puncak terjadi dalam pertempuran Helms Deep. Pertempuran ini menjadi puncak cerita karena dari sinilah penghimpunan kekuatan baru dimulai. Pasukan Rohan yang kalah jumlah akhirnya menang setelah dibantu Eomer dengan pasukan Rohirrim dan Gandalf. Dalam Return of The King, pertempuran Peleanor menjadi penting karena dalam ajang ini, sebagian besar pasukan Mordor dapat dikalahkan dengan dukungan pasukan Rohan dan pasukan kematian yang dipimpin Aragorn. Selain itu, inilah moment pre-finale, dimana Aragorn kembali ke Gondor dan bersiap menjadi raja.
Mengikuti suksesnya trilogy Lord of The Ring, banyak insan perfilman bernafsu untuk membuat film dengan tema serupa. Sebut saja King Arthur, Troy dan Alexander. Banyak harapan tertuju pada film-film tersebut untuk bisa menyaingi Lord of The Ring. Namun nampaknya masih cukup sulit karena Lord… masih didukung oleh sesuatu yang sangat sulit ditandingi yaitu JRR Tolkiens. Dalam menulis cerita Lord.. Tolkiens seakan menciptakan suatu peradaban baru. Dunia sendiri yang diceritakannya dengan sangat mendetail dan akurasinya sangat tepat. Silsilah kerajaan, hubungan antar suku, kebudayaan hingga sastra dari tiap kebudayaan diceritakan dengan sangat spesifik dan mendetail.
Penggemar film sempat berharap banyak dengan munculnya film Troy, sebuah legenda dan mitos dari Yunani yang juga mengambil pertempuran kolosal sebagai bumbu cerita. Tetapi dalam kenyataannya, tetap saja Troy belum bisa menandingi Lord… Sebenarnya teknologi yang digunakan untuk menggambarkan pertempuran sudah cukup baik. Perhatian penonton mungkin mulai serius ketika Agamemnon mulai berlayar dengan 1000 kapal menuju Troya. Adegan 1000 kapal menjadi perhatian dan kekaguman penonton. Sayangnya pertempuran pertama tidak menjadi suatu titik balik yang penting karena pasukan Troya dapat dengan mudah mengalahkan Yunani. Titik balik yang penting justru terjadi dalam pertempuran kedua yang tidak terlalu dahsyat. Disini Hector membunuh sepupu Achilles, Patroclus dan akhirnya menimbulkan dendam pada Achilles terhadap Hector. Jika dalam trilogy Lord of the Ring pertempuran mejadi selalu berakumulasi menjadi lebih besar, dalam Troy justru sebaliknya.
Selain Wolfgang Petersen, Oliver Stone nampaknya juga berambisi membuat konsep serupa dengan film Alexander. Dalam Alexander, acungan jempol patut diberikan karena Oliver Stone mencoba untuk menghadirkan sisi kemanusiaan sang raja agung tersebut. Jika kita berpikir tentang seorang raja yang sangat kuat, tak terkalahkan dan ditakuti semua orang, mungkin akan terkejut karena Alexander ditampilkan dengan hanya seperti manusia biasa. Alexander yang bisa sakit hati, marah, sedih bahkan ketakutan dan panik.
Secara garis besar, pengertian film kolosal itu sendiri masih berpijak pada segi sejarah. Semua sutradara yang membuat film kolosal, hampir dipastikan akan membuat film yang berlatar belakang sejarah. Namun ada sesuatu yang bergeser dari dulu hingga kini. Acuan dari kolosal itu sendiri saat ini cenderung berpijak pada adegan pertempuran yang maha dahsyat- Lord of the Ring adalah pelopor dalam hal ini. Jika melihat Ben-Hur, Cleopatra, atau Spartacus, acuan kolosal bertumpu pada beberapa adegan kemegahan saja. Adegan yang biasanya membutuhkan ratusan atau bahkan ribuan figuran yang sedang membangun sebuah pyramid, ribuan orang yang sedang menyaksikan pertunjukan gladiator. Namun film-film tersebut mempunyai unsur cerita yang bagus dan akting para bintang yang memukau. Saat ini, jumlah ribuan orang dapat digantikan dengan teknologi komputer, kemegahan pyramid sudah bukan sesuatu yang membuat kagum penonton. Itulah sebabnya saat ini, para insan perfilman dengan usaha keras dan teknik tinggi, mencoba untuk menggali sesuatu yang baru untuk dapat memberi kekuatan baru pada arti kolosal itu sendiri. Teknik mengemas pertempuran dan pertarungan yang tidak lepas dari unsur kolosal menjadi pilihan. Ketika Russel Crow bertarung dalam Gladiator, terlihat ribuan penonton memenuhi Colleseum untuk menyaksikan dirinya. Orang akan berpikir, inilah kolosal. Padahal, jumlah aktor yang ada dalam pengambilan gambar tersebut, tidak mencapai seratus. Ketika Raja Theoden memimpin serangan ke Minas Tirith dengan 6000 tentara melawan puluhan ribu tentara musuh, orang akan berpikir, inilah kolosal. Padahal semua itu adalah jasa rekayasa komputer.
Teknologi memang memainkan peranan penting dalam memperkuat makna kolosal. Saat ini, sutradara dapat membuat adegan super kolosal hanya dengan satu atau dua orang pemain. Tidak heran jika unsur cerita terkadang mendapat porsi kurang. Kemampuan akting yang serba pas-pasan dapat dengan mudah ditutup oleh adegan penyerangan 1000 pasukan atau gaya bertarung yang indah yang, lagi-lagi, harus berterima kasih pada jasa teknologi komputer.
Namun bukan tidak mungkin teknologi juga dapat mendistorsi sebuah artikulasi. Memang ketika kita menyaksikan Ben Hur atau Cleopatra, kita akan jarang menemui adegan perang seperti dalam Lord of the Ring. Teknologi di masa itu belum mampu menghadirkan imajinasi yang tinggi. Tetapi bagi para pecinta dunia film, pergeseran makna kolosal bukanlah suatu masalah. Mereka tetap mengkoleksi film-film seperti Lord of the Ring, Gladiator atau Troy seperti mereka juga memburu Ben Hur atau Cleopatra. Tiap-tiap zaman dan generasi memiliki keunggulan masing-masing. Ketika pecinta film zaman sekarang menyaksikan Ben Hur, mereka akan tertegun dengan apiknya cerita dan akting. Ketika orang tua kita menyaksikan Return of the King, mereka akan tertegun dengan sosok Gollum dan pertempuran Pelleanor.
Jadi, akankah makna kolosal berubah arah lagi? Setelah sekian banyak film kolosal produksi Hollywood menyihir penonton, tema dari film-film itu tidak pernah berubah. Sejarah atau mitos di masa lampau. Akankah film kolosal memakai tema masa depan? Star Wars nampaknya sedang membangun jembatan untuk menuju kesana. Jika kita perhatikan Star Wars episode 1 : The Phantom Mennace, kita akan lihat setting yang megah yang memperlihatkan ribuan penduduk suatu kota, pertempuran ribuan tentara (android) dan durasi yang cukup lama. Star Wars episode 2 : Attack of the Clone, juga memperlihatkan hal yang sama bahkan dalam skala yang lebih besar. Akan kita lihat di waktu yang akan datang, apakah Judah Ben Hur atau Aragorn atau bahkan Master Yoda yang dapat menjadi ikon film kolosal Hollywood.

No comments:

Powered By Blogger