Thursday, December 27, 2007

Apa Obsesimu?

"Mana ekspresinyyaaaa?"... Begitulah yang dikatakan seorang lelaki dalam sebuah iklan rokok di TV. Si lelaki itu terobsesi menjadi sutradara. Tapi bagiku, lelaki di TV itu lebih mirip pria dungu yang sedang digelandang pasukan Pamong Praja. Tagline dari iklan itu adalah "Apa Obsesimu?"

Benar juga ya? Coba deh tanyakan pada diri sendiri, apa sih obsesi kita? Apa sih cita-cita kita? Waktu kita masih kecil dulu mungkin dengan gampangnya kita akan mengatakan "dokter!" atau "pilot!" bahkan "presiden!" Setelah beranjak dewasa dan semakin sadar akan realita yang dihadapi, biasanya cita-cita akan berbubah haluan. Obsesi akan berkelit dan bahkan (yang paling parah) memudar. Nah, coba deh saat ini, detik ini juga tanyakan pada diri kita masing-masing.. "Apa obsesiku?"

Bisakah kita menjawab dengan waktu kurang dari satu detik? Apakah kita akan menjawab dengan... "Hmm anu.. itu tuh.. dulu sih gue pengennya..mmm..anu.." Wah keburu kabur tuh obsesinya. Atau akan menjawab..."Gue sih cuma pengen bahagia aja." Hmmm... iya juga sih.. tapi aplikasinya apa? Apakah anda saat ini belum bahagia? Terus, kalau belum bahagia, caranya bikin bahagia apa dong? Banyak duit? Ya berarti obsesinya "Punya banyak duit" bukan "Pengen bahagia".

Nah, jadi apa sih sebenarnya obsesi kita? Stop!!! jangan bilang nggak punya obsesi ya... wah pesimis tuh mas. Nggak baik buat kesehatan jiwa. Kalau saya sih dari dulu obsesinya sederhana saja. Saya pingin menjelajahi Nusantara dan saya akan menulis buku tentang kisah-kisah petualangan. Saya pingin menjadi seorang penulis petualangan dan travel journalist. Saya nggak pernah kapok dibilang sebagai orang aneh, ini itu dan lain-lain. Ada juga yang bilang saya ini terlalu idealis dan ada juga yang bilang saya sok cinta tanah air. Lho terus kalau nggak cinta tanah air, negeri ini siapa yang jaga? Saya selalu bermimpi bisa berkeliling Nusantara dan dunia. Entah bagaimana caranya. Saya bukan tipe orang yang banyak duit. Hampir semua penghasilan yang saya dapat saya pergunakan untuk backpacking, menjelajah kemana saja ke pelosok negeri ini. Bagi saya, backpacking adalah wajib hukumnya. Sama dengan Sholat dalam Islam. Seperti kata teman saya, "It's not about the destination, It's about the Journey."

Kenapa obsesi saya seaneh itu? Waktu kecil dulu saya begitu mengagumi kisah Majapahit dengan Gajah Mada-nya yang menyatukan Nusantara ini cuma dengan sebatang keris. Nah sekarang kok sudah ada teknologi canggih, eh malah luas negaranya makin ciut. Ada yang merdeka sendiri, ada yang di ambil negara lain dan yang parah adalah ada yang menjual pulaunya sendiri ke orang asing. Weleh...weleh...weleh...

Makannya, jangan pernah berhenti untuk bermimpi. Katakan saat ini juga.. "Apa sih obsesiku?" dan jawab kalau bisa. Jangan pernah takut untuk bermimpi. Jangan pernah bilang, "Yaa.. duitnya darimana?" atau "Elu mah enak.. banyak duit! nah kalo gue?" Nah yang kayak gini ini yang seumur-umur nggak bakalan punya duit. Yang kayak gini ini yang sebenarnya sudah mati perlahan-lahan. Jika kita berpikir "nggak punya duit", ya sampai kiamat juga nggak bakal punya duit...

Saran saya, jangan biarkan apa yang ada sekarang menjajah dirimu, jangan biarkan struktur hirarki organisasi memudarkan mimpi-mimpi, bermimpilah, pikirkan apa yang membuat kamu bahagia, pikirkan dan fokuskan setiap hari....

Bagaimana? apa obsesimu?

Saturday, December 22, 2007

P A L S U

Meski awalnya nampak suci, namun kepalsuan tak bisa disembunyikan

Awalnya harapan itu nampak datang
Meski datang pada waktu yang salah
Awalnya kesucian dan keluguan yang terlihat
Meski terkadang binatang itu kerap muncul

Sang waktu adalah penentu segalanya
Perlahan ia tunjukan binatang yang sesungguhnya
Sang waktu yang maha agung ciptaan Sang Khalik
Kian lama binatang itu kian terlihat

Tiada tempat untuk sembunyi
Tiada kata untuk berkelit
Kebohongan telah menguasai dirinya
Kepalsuan telah mengisi seluruh raga

Dengan kata-kata ia berbangga
Dengan kebohongan ia meraih dunianya
Dengan kepalsuan ia lampiaskan hasratnya
Dengan hati bersisik ia memekik kemenangan

Entah apa yang dicarinya
Binatang itu terus berjalan
Mengusung kepalsuan dan kebohongan
Terus berjalan menuju lembah gelap yang tak ia sadari

Untung Jawa Island

Cuaca Jakarta yang sering memburuk akhir-akhir ini membuat saya agak pesimis bisa melakukan perjalanan bersama teman-teman Indobackpacker ke Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu, Jakarta. Namun ternyata pada hari keberangkatan, cuaca cukup bersahabat. Teman-teman dari Indobackpacker merasa cukup yakin bahwa perjalanan akan berjalan mulus. Saya percaya sepenuhnya pada mereka karena mereka ini adalah para punggawa untuk urusan pelancongan. Pengalaman mereka menjelajahi Indonesia sudah tidak diragukan lagi.

Perjalanan yang kami tempuh dari Muara Angke, Jakarta menggunakan kapal motor kayu memakan waktu sekitar satu jam. Meski diatas kapal matahari bersinar cukup cerah, di belakang kami di daratan Jakarta, awan mendung gelap mulai menggantung. Bahkan petir-petir yang menyambar dapat dilihat dari kapal. Untungnya cuaca buruk di atas Jakarta itu tidak mengejar arah kapal kami yang menuju ke Kepulauan Seribu.

Pulau Untung Jawa sendiri sebenarnya cukup nyaman untuk digunakan sebagai tempat berwisata bersama keluarga. Selain jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, di Pulau ini fasilitas untuk penginapan terbilang cukup lengkap. Mulai dari home stay, gedung aula, musholla, tempat memancing dan berbagai macam rumah makan sederhana yang kebanyakan menyediakan hidangan laut. Untuk pantainya sendiri, Untung Jawa tidak banyak menawarkan tempat untuk berenang. Karena selain ukurannya yang kecil, beberapa garis pantai banyak ditumbuhi hutan bakau yang sebagian besar sudah tercemar sampah kering. Pengunjung lebih banyak memanfaatkan beberapa garis pantai untuk memancing, khususnya disekitar dermaga.

Dari Untung Jawa, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Rambut yang hanya berjarak sekitar dua puluh menit dari Untung Jawa. Pulau Rambut sendiri lebih merupakan cagar alam daripada tempat berwisata. Pulau yang relatif lebih kecil ini hanya dihuni oleh beberapa petugas penjaga hutan. Beberapa jenis burung liar dapat dinikmati di sepanjang jalan setapak yang membelah hutan dan sepanjang garis pantai. Beberapa lubang tempat persembunyian ular tersebar diantara jalan setapak. Kami agak kecewa karena biawak yang menjadi primadona pada hari itu ternyata tidak menampakkan sosoknya. Kekecewaan besar juga menusuk hati saya begitu melihat tumpukan sampah yang menghampar hampir sepanjang garis pantai dan beberapa hutan. Walau begitu, eksplorasi di pulau ini cukup seru. Banyaknya jenis tanaman, suasana hutan yang misterius dan serbuan nyamuk serta serangga hutan menjadi bumbu tersendiri dalam eksplorasi. Nampaknya lotion anti nyamuk yang saya pakai tidak bisa menandingi keganasan nyamuk-nyamuk hutan. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama di pulau ini. Keterbatasan waktu karena hari mulai menjelang sore, padatnya acara dan mendung yang mulai merambah pekat menjadi pertimbangan kami untuk segera kembali ke Untung Jawa.

Kembali ke Untung Jawa bertepatan dengan hujan yang kian deras. Teman-teman sempat ragu akan kelancaran acara berikutnya karena cuaca yang mulai tidak bersahabat. Waktu ini saya pergunakan untuk beristirahat, membasuh diri dan mengecek peralatan kamera. Beberapa teman yang memiliki hobby sama dengan saya dengan sigap langsung mengganti battery kamera dan men-charge battery yang lama. Untungnya saya sudah mengantisipasi hal ini. Battery kamera sengaja sudah saya charge penuh sebelum berangkat. Niat saya untuk membawa dua buah kamera (Pocket dan SLR) ternyata tidak bisa terwujud. Wabah pikun yang semakin menghinggapi saya karena terlalu sering berkutat dengan pekerjaan rutin kantor yang menjemukan membuat saya hanya membawa satu buah kamera SLR Olympus E-330. Dan gara-gara kamera besar ini, beberapa teman memperlakukan saya seperti seorang tukang foto keliling.

Malam hari ternyata tidak seburuk yang saya perkirakan. Hujan berhenti dan kami dapat melakukan Sea Food Barbeque di pinggir pantai. Meski saya ingin terus berakrab-akraban dengan teman-teman backpacker, namun saya menyadari bahwa besok adalah hari yang sangat melelahkan. Ada tiga pulau lagi yang harus kami eksplorasi, yaitu Pulau Cipir atau Khayangan, Pulau Onrust dan Pulau Kelor. Saya pun memutuskan untuk beristirahat dan tidur. Beberapa teman yang juga pecinta fotografi nampaknya juga mengambil langkah sama dengan saya. Mereka ini justru lebih bernafsu lagi karena mereka berniat untuk berburu sunrise besok subuh. Saya sendiri memutuskan untuk tidak mengikuti ritual subuh tersebut karena saya yakin cuaca mendung akan menghalangi cahaya matahari untuk melukiskan keindahannya di langit fajar.

Besok pagi ternyata tidak seburuk yang saya duga. Matahari bersinar cukup terang. Sedikit rasa menyesal mulai terbesit karena tidak mengikuti ritual subuh berburu sunrise bersama beberapa penggila fotografi. Setelah selesai sarapan, pukul 07.00 kami kembali ke dermaga. Kapal telah siap untuk membawa kami mengeksplorasi tiga buah pulau dan kemudian kembali pulang menuju Jakarta. Lautan nampak tenang dan matahari mulai terik menyengat kulit. Saya sengaja mengambil tempat paling ujung depan kapal agar dapat memotret objek dengan mudah. Langkah ini juga diikuti teman-teman saya penggila foto. Jika dilihat, kami ini mirip para tentara AS yang naik kapal amfibi, lengkap dengan senjatanya (kamera) dan siap menyerbu garis pantai Normandia di PD II. Persis adegan pembuka film Saving Private Ryan-nya Tom Hanks.

Beberapa orang teman saya saling bertukar foto sunrise sambil tersenyum-senyum. Saat itu saya menyadari bahwa subuh tadi saya telah melewatkan momen yang begitu berharga dan paling diburu para pecinta fotografi, “Matahari terbit”. Saya sengaja mengacuhkannya karena saya tidak bisa menerima kenyataan bahwa saya melewatkan momen foto yang menakjubkan.

Beberapa saat kemudian, kapal motor mulai mendekati Pulau Cipir. Pulau ini terkesan seperti pulau angker bekas peninggalan penjajah yang terbengkelai. Bangunan-bangunan kuno yang kumuh dan hancur berserakan di seantero pulau. Hanya ada beberapa orang yang mendiami pulau ini. mereka terlihat seperti kuli bangunan atau pedagang yang mampir. Pandangan mata mereka langsung tertuju pada kami yang langsung menghambur begitu turun dari kapal.

Sebagian besar anggota rombongan langsung berpose-pose di depan sebuah meriam tua dan bangunan-bangunan kuno lainnya. Saya lebih memilih menghindari para foto model kagetan ini dan menyendiri mencari objek menarik. Secara sangat sederhana saya dapat menyimpulkan bahwa perjalanan eksplorasi ini ternyata membagi kami menjadi tiga kelompok orang. Para turis yang doyan foto-foto, para observer yang selalu menanyakan sejarah setiap pulau yang dikunjungi dan para pecinta fotografi.

Tingkah laku kami juga sangat unik ketika memasuki suatu pulau. Para pecinta foto (saya lebih senang menyebutnya “paparrazi”) langsung melompat ke atas daratan begitu kapal merapat di dermaga seperti para marinir yang menyerbu pantai musuh dan langsung terburu-buru menuju tengah pulau untuk mencari objek foto yang menarik. Inilah yang mungkin sering disebut sebagai Hunting Photo. Dan ternyata, saya termasuk orang dalam kategori ini.

Para turis atau foto model kagetan biasanya agak lambat reaksinya ketika kapal merapat. Mereka lebih heboh mencari tempat untuk difoto daripada mencari objek. Mereka ini tidak terbiasa melihat kamera dalam keadaan standby. Begitu melihat ada rekan mereka yang memegang kamera, mereka ini langsung memaksa minta di foto. Mirip rombongan darmawisata dari daerah setingkat kabupaten yang mengunjungi Taman Mini.

Lain lagi tingkah para observer. Mereka terlihat lebih kalem ketika kapal merapat. Mereka cenderung bergerak belakangan dan memberi kesempatan pada rombongan setingkat kabupaten tadi untuk bersenang-senang. Begitu memasuki suatu pulau biasanya mereka selain mencari objek foto, juga menemui penduduk lokal dan bertanya macam-macam tentang pulau tersebut. Mereka ini sering saya anggap sebagai model percontohan masyarakat yang ingin maju. Mereka selalu banyak bertanya dan kemudian membuat suatu artikel tentang lingkungan hidup, pariwisata atau humaniora saat pulang nanti. Seperti layaknya para paparrazi, para observer juga bermodal kamera. Dan tidak tanggung-tanggung mereka berani membekali diri dengan sebuah SLR dan beberapa perangkat seperti tripod dan lampu flash.

Waktu yang singkat untuk meng-observe Pulau Cipir tidak menurunkan semangat saya. Beberapa gambar bersifat angker berhasil saya dapatkan. Meski untuk mendapatkannya saya harus menjelajahi reruntuhan bangunan tua, diserbu nyamuk-nyamuk liar, kepanasan dan selalu merasa “diikuti”. Maklumlah daerah ini dulunya adalah bekas benteng Belanda dan kemudian berubah fungsi menjadi barak Haji. Setelah itu semuanya ditinggalkan begitu saja. Tanaman liar merambati tembok-tembok tua yang lebam dan kusam termakan waktu. Pohon-pohon beringin menaungi atap-atap rumah yang doyong tergarap usia. Semua serba angker dan menyeramkan. Tapi justru semakin menyeramkan, saya semakin bernafsu untuk memotret dan menjelajah lebih jauh.

Bunyi sirene yang meraung-raung tanda berkumpul memecah keheningan di Pulau Cipir yang angker. Kami segera kembali ke kapal dan melanjutkan eksplorasi ke Pulau Onrust. Kelompok paparrazi tampak puas dengan hasil foto mereka. Kelompok turis kabupaten terbahak-bahak bercanda sambil masih terus berfoto-foto ria didalam kapal motor yang sempit. Kelompok observer nampak paling serius. Selain membahas hasil foto, mereka juga membahas data-data kependudukan, statistik dan tingkat perekonomian penduduk pulau. Dari tiga kelompok itu, saya tertarik dengan kelompok saya sendiri, kelompok paparrazi. Kami meskipun puas dengan hasil foto, tapi kami tetap berwajah serius. Kami asyik mengutak-atik kamera kami seperti tentara Delta Force men-setting M-16 nya ketika selesai beroperasi di daerah Tirkit, Irak.

Mendekati Pulau Onrust, kelompok paparrazi bersiap-siap lompat dari kapal kayu sambil memegangi kameranya. Begitu tambang dilempar dan ditarik, kami langsung menghambur seolah siap menyerbu musuh. Saya langsung menghambur ke tengah Onrust dan menghindari para turis kabupaten yang berisik.

Pulau Onrust sendiri ternyata lebih angker dari Pulau Cipir. Menurut sejarahnya, konon Onrust berasal dari bahasa Belanda yang berarti tidak pernah istirahat (unrest dalam bahasa Inggrisnya). Pulau ini dulunya dijadikan benteng pertahanan Belanda dari serangan kerajaan-kerajaan nusantara dan serangan Inggris. Secara teknis, pulau ini memiliki fasilitas yang lengkap di zamannya. Selain benteng pertahanan, beberapa fasilitas umum seperti kantor administrasi, lorong bawah tanah, rumah sakit, penjara dan bahkan kuburan juga terdapat di pulau kecil ini. Dari kuburan yang ada, saya berpendapat bahwa dulu pernah ada suatu dinasti penguasa dari Belanda yang cukup berpengaruh tinggal di daerah ini. Salah satu kuburan yang terkenal disitu adalah kuburan Maria. Menurut warga setempat, Maria adalah nama putri dari penguasa Belanda saat itu yang tinggal di Onrust.

Sambil memandangi reruntuhan Onrust, saya membayangkan kejayaan mereka dulu di zamannya. Sebuah jalan utama yang membentang lurus menuju pantai yang dulu pasti ramai oleh lalu-lalang serdadu VOC, tempat cuci umum yang sering digunakan para inlander untuk mencuci pakaian majikan mereka, reruntuhan bangunan tua yang dulu berdiri dengan megahnya dan didalamnya nampak seorang petinggi militer VOC berpakaian terang, sepatu boot tinggi, lengkap dengan pangkat dan benang-benang emas berjuntai serta sebilah pedang berkilau menggantung di pinggang kiri.

Tak jauh dari Onrust, terlihat sebuah pulau sengat kecil dengan hanya satu bangunan yang berdiri diatasnya. Bangunan itu berbentuk silinder dan tidak begitu besar. Itulah Pulau Kelor. Pulau ini merupakan garda pengaman dari Pulau Onrust. Di Pulau Kelor hanya terdapat sebuah benteng pertahanan yang fungsinya adalah melindungi Onrust dari serbuan musuh.

Sirene kembali meraung memecah misteriusnya Onrust di siang bolong. Rombongan kami segera berkumpul lagi untuk naik ke kapal dan melanjutkan eksplorasi ke Pulau Kelor. Seperti biasa, rombongan turis kabupaten belum berubah akhlaknya dan rombongan observer masih serius dengan data-data di museum Onrust. Rombongan paparrazi biasanya paling egois. Mereka berpencar sendiri-sendiri mencari objek foto yang unik. Mereka jarang pergi berkelompok. Hanya sendirian dengan ditemani perangkat kameranya.

Perjalanan ke Pulau Kelor ini sangat sebentar. Hanya memakan waktu sekitar 10 menit dari Onrust. Namun begitu, saya sudah merasakan sedikit kelelahan karena cuaca yang panas dan aktivitas yang banyak menguras tenaga. Untungnya saya membawa persediaan air yang cukup.
Merapat di Pulau Kelor tidak seperti merapat di dermaga pulau-pulau lainnya. Disini tidak ada dermaga sama sekali. Kapal hanya merapat di bibir garis pantai dengan dibantu dorongan oleh beberapa awak kapal. Dermaga yang tak terurus nampak disebelah kapal kami merapat namun dermaga tersebut sudah tidak dapat lagi digunakan. Saya menyebutnya “dermaga tak bertuan.”

Seperti biasanya, kelompok paparrazi lompat paling awal dan menapakkan kakinya di pulau Kelor dengan paling penuh semangat. Saya berkesempatan menjadi orang kedua yang menapakkan kaki setelah rekan saya Wishnu. Dia ini adalah salah satu panutan saya dalam fotografi. Tidak banyak bicara, tidak banyak share picture, jarang bergaul dengan para turis kabupaten, hanya menjelajah seorang diri di setiap pulau. Benar-benar sifat seorang fotografer sejati. Kami berdua dengan penuh energi segera menapaki pulau Kelor dan meninggalkan jauh para turis kabupaten dan segala kehebohannya. Kami berdua hanya tertarik pada satu bangunan silinder yang berdiri angker di depan kami. Kami merasa harus mencapainya lebih dulu sebelum para turis kabupaten itu mencapainya dan merusak suasana pemotretan.

Bangunan angker itu adalah sebuah benteng yang sebagian sudah menjadi puing-puing. Menara Mortello namanya sesuai dengan plang nama yang terpampang di depannya. Namun kegagahannya masih belum pupus oleh zaman. Susunan bata merah yang menjadi tubuh benteng itu menandakan semangat pantang mundurnya mempertahankan Onrust. Cuaca yang panas menyengat mendadak menjadi pekat ketika berada dibawah bayang-bayang kegagahannya. Wishnu dengan segala ketrampilannya seolah tahu angle mana yang paling baik untuk diabadikan. Gerakannya sangat alamiah, instingnya tajam dan sangat mengerti apa yang harus dilakukan. Sesekali saya meniru angle yang diambilnya meskipun mungkin hasilnya tidak sebaik yang dia dapat.

Fotografer panutan saya yang lainnya adalah mbak Raiyanna. Kami semua memanggilnya mbak Ray. Wanita berjilbab ini mengantongi jam terbang fotografi yang luar biasa. Beliau ini memang seorang fotografer profesional. Kabarnya, dia juga memiliki studio sendiri. Beberapa hasilnya yang pernah di presentasikan sudah saya lihat sendiri dan membuat saya mengacungi dua jempol kepadanya. Setiap bidikan dari lensanya adalah jaminan kualitas bagi penikmat hasil foto. Beberapa turis kabupaten yang heboh berpose juga ikut kena kursus singkat arahan gaya dari mbak Ray. Dan hasilnya?... Perfecto!

Sengatan terik matahari tak membuat saya ciut berburu objek foto yang menarik. Dengan gaya seperti sniper, saya memotret hampir siseluruh penjuru pulau. Seorang kawan saya yang melihat antusiasme saya justru menggunakan kesempatan ini untuk minta saya foto dengan kamera saya dan minta hasilnya nanti dikirim via e-mail. Karena saya tidak terbiasa memotret objek manusia selain istri saya sendiri, saya sedikit gemetar. Takut hasilnya tidak memuaskan. Namun beberapa hari kemudian saya boleh bernapas lega. Karena setelah saya edit dan saya kirim via e-mail, teman saya ini langsung me-reply e-mail saya sambil memuji-muji hasilnya. Alhamdulillah!

Menjelang tengah hari, sirene kembali meraung-raung. Tanda bahwa kali ini kami akan pulang ke Jakarta dan meninggalkan perairan Teluk Jakarta. Meninggalkan eksotisme keangkeran peninggalan masa lalu, meninggalkan kenangan akan sebuah kebersamaan yang singkat namun tak akan saya lupakan. Dalam perjalanan pulang saya memilih untuk duduk didalam, tidak di ujung depan kapal lagi. Karena saya sudah merasa kelelahan dan ingin berteduh sambil istirahat. Saya tidak lagi memiliki hasrat memotret. Dan di saat yang sama, saat perjalanan pulang, ketika gedung-gedung tinggi Jakarta yang congkak sudah mulai terlihat, battery kamera saya habis. Tepat pada perkiraan!

Saya dapat beristirahat dengan tenang karena memang hampir tidak ada lagi objek yang menarik menurut saya. Namun begitu, rombongan turis kabupaten tidak pernah kehabisan masa. Mereka masih heboh pasang aksi seolah mereka baru saja berangkat darmawisata. Mendekati Muara Angke, ternyata banyak sekali objek foto yang menarik. Saya salah perhitungan. Beberapa nelayan yang sedang beristirahat, pom bensin apung, kapal-kapal nelayan yang khas, kuli-kuli dermaga yang bekerja, semuanya sangat menarik untuk diabadikan. Saya hanya berpangku tangan sambil berandai-andai, “seandainya saya bawa battery cadangan.”

Di dermaga Muara Angke, kami semua berpisah. Semua kembali seperti saat berangkat. Penuh semangat kebersamaan. Sambil bersalam-salaman, kami semua mengucapkan terima kasih dengan harapan perjalanan berikutnya kami akan bertemu kembali. Tidak ada rombongan paparrazi, tidak ada turis setingkat kabupaten, tidak ada para observer. Kami semua adalah anggota Indobackpacker, Indonesian Backpacker Community.

Symbiosis Mutualisme backpacker

SYMBIOSIS MUTUALISME... mungkin adalah kosa kata yang tepat untuk saya. Tepatnya untuk gaya traveling yang saya lakukan. Daripada menggunakan full budget sendiri, menumpang istri yang sedang dinas luar kota adalah hal yang menguntungkan. Bisa dapat kamar hotel berbintang secara gratis, transportasi bandara gratis dan tentunya sarapan gratis di hotel. Dasar backpacker!!

Perjalanan saya kali ini adalah unexpected journey. Artinya, saya tidak pernah merencanakan perjalanan ini dan ini terjadi begitu saja karena kepastian istri saya pergi ke Pontianak juga mendadak. Yap!.. perjalanan kali ini adalah ke Pontianak. Ditengah kekhawatiran saya akan cuaca buruk, ternyata cuaca Jakarta cukup mendukung untuk menerbangkan pesawat Boeing 737-400 Lion Air dari Cengkareng. Meski begitu, ketika mendekati Pontianak, cuaca buruk tak ayal menghadang pesawat dan... situasi jetcoaster pun terjadi. Goncang sana goncang sini, naik, turun. Tercatat tiga kali perut saya dibuat ngilu.

Meskipun ini bukan Kalimantan Timur, saya tetap merasa ini kampung halaman. Tentu saja karena ini Kalimantan Bung! Borneo!... Tempat saya dilahirkan dan besar hingga sembilan tahun. Tak punya mental petualang? Jangan datang kemari! Ini tanah yang membuat saya melihat anak-anak Jakarta seperti anak-anak manja yang cengeng. Di Kalimantan, hutan adalah rumah kita, sungai adalah sahabat, ular dan biawak adalah tukang ngamen yang berseliweran. Bukan Mall, Plaza, Video game yang membuat mental kita lembek dan mudah terkorosi. Di Kalimantan, kita hidup berpayung alam.

Menemani istri yang sibuk dengan pekerjaannya dari subuh hingga malam tentu bukan tujuan saya ke sini. Layaknya tentara NICA pada agresi militer Belanda, alasan saya adalah menemani istri. Namun sesampainya di Pontianak, seperti biasa, saya membuka peta dan menunjuk satu kota atau daerah secara acak untuk dikunjungi. Penunjukan ini adalah hal yang sakral. Bisa saja karena nama daerah yang unik, jarak yang lumayan jauh dan menantang atau karena informasi yang saya dapat tentang daerah itu. Dan kali ini nama daerah yang saya tunjuk adalah Singkawang. Sebuah kota kecil dekat perbatasan Serawak. Jadilah saya ke Singkawang sendirian sementara istri sibuk bekerja sendiri di kantornya.

Sebagai kota kecil, Singkawang juga mempunyai peranan penting dalam denyut rakyat Pontianak. Kota yang dapat ditempuh selama tiga jam dari terminal Batu Layang, Pontianak ini ternyata menyimpan sejarah. Singkawang adalah gerbang awal masuknya masyarakat Tionghoa pertama kali ke Kalimantan Barat. Singkawang lah yang membuat Pontianak mendapat julukan kota Amoy. Saran saya jika ingin kesini menggunakan bis kota, berangkatlah sepagi mungkin. Karena bis kota di Pontianak sangat doyan ngetem hingga hampir dua jam di terminal.

Kota Singkawang sendiri tidak terlalu besar. Perjalanan ke sini tidak akan membuat kita bosan. Di beberapa ruas jalan, bis kota akan melewati rute dipinggir laut yang pemandangannya...ambooyy indahnya! Selebihnya bis akan melewati daerah kampung pedalaman dengan jalan-jalan yang sepi. Pusat kotanya terletak di daerah yang disebut sebagai Pasar Lama. Inilah pusat bisnis Singkawang. Daerahnya seperti labirin. Banyak persimpangan jalan yang kalau kita ikuti semua arahnya akan mengarahkan kita ke situ-situ juga. Meskipun disebut sebagai Pasar Lama, jangan berharap daerah ini macet seperti Tanah Abang, Jakarta yang kanan kiri jalan banyak pedagang, setiap ruko penuh padat dan banyak orang berlalu lalang di sekitar angkot yang nggak jelas maunya.

Pasar Lama Singkawang hampir seperti kota tua yang akan mati. Banyak ruko yang berjejer namun jumlah pembelinya dapat dihitung dengan jari. Beberapa restoran juga sepi pengunjung. Di ujung jalan terdapat sebuah Klenteng dengan sebuah Mesjid yang lumayan besar menghias dibelakangnya. Akhirnya... Bhinneka Tunggal Ika! Hal yang jarang terdapat di Jakarta. Disebuah jalan, mata saya tertuju pada sebuah kios minuman yang sangat sederhana. Penjualnya adalah anak remaja keturunan Cina yang bicaranya berlogat Jawa. Lho... Jawa? Di sini? Di tanah Dayak? Si anak ini berjualan Liang Teh. Sebuah minuman teh es segar yang rasanya wangi. Lalu saya memutuskan untuk nongkrong sejenak sembari ngobrol sama si penjual dan menikmati Liang teh.

Jangan heran jika di seantero penjuru kota anda akan berisik dengan suara burung walet. Karena masyarakat disini hampir semua loteng rumahnya dijadikan sarang burung walet. Tapi menikmati Liang teh di pinggir jalan sambil ngobrol dengan masyarakat lokal adalah sensasi tersendiri. Di kota ini nampaknya semua orang adalah satu keluarga besar. mereka saling mengenal satu sama lain. Bahkan ketika melakukan sholat di mesjid, saya sempat menjadi selebritis. Alias jadi pusat perhatian sambil mereka bertanya, “bapak darimana?” atau “ada perlu apa datang kesini?” Hmmm... iya juga yah? Ini bukan daerah turis dan bukan jalur turis sama sekali. Mana ada Travel Agent yang menawarkan paket berlibur di Singkawang? Dasar backpacker! Nalurinya aneh..

Sore hari baru saya memutuskan untuk kembali ke Pontianak. Itupun saya harus naik ojek dulu ke perbatasan kota karena di terminal sudah tidak ada lagi bis yang ke Pontianak. Sepanjang jalan saya sudah memperkirakan bahwa saya akan tiba di Pontianak malam hari dan saya buta sama sekali daerah ini. Sepanjang jalan, langit sore memberikan torehan lukisan yang menawan. Saya ingin sekali memotret, namun keadaan yang nggak memungkinkan membuat saya hanya menyimpan pemandangan itu dalam memori otak saya sendiri.

Tiba malam hari di Pontianak, seperti yang terjadi dari awal, hujan.. hujan dan hujan. Saya berjalan kaki ke hotel dengan guyuran hujan. Tiba di hotel, saya berencana untuk ke Kapuas esok pagi. Namun yang namanya nasib berkata lain, HP saya sempat dicopet di Mall Pontianak ketika saya akan ke ATM untuk mengisi pulsa. Zippp... HP hilang dijambret. Padahal disitu ada dua buah foto perjalanan saya ke Singkawang yang gambarnya aduhaaii..!! Dan ke Kapuas pun batal. Semangat petualang sempat drop seketika. Namun saya teringat kisah Trinity di bukunya “Naked Traveller”. Saya membandingkannya dan pengalaman saya kehilangan HP yang belum seberapa. Dan tiba-tiba... Jozzz!! Naluri backpacker timbul lagi. Lau timbul pikiran dalam benak yang aneh ini... Benak yang akalnya tak lurus lagi. Seperti ada suara aneh yang berbisik pelan namun merasuk kuat ke hati. Suara ini sering timbul di kala saya lagi bengong, stress atau lagi nonton TV. Bisikan mistik itu bunyinya adalah.... “Jelajah lintas Kalimantan yuk!”

Dasar backpacker...!!
Powered By Blogger