Wednesday, July 18, 2007

PICcanSPEAK (from the air)

Duduk diam dalam perjalanan menggunakan pesawat memang membosankan. Selain buku, biasanya obat penghilang bosan saya adalah kamera...










Celingak-celinguk.. eh pas banget! Light is come from the perfect angle. Ada yang bisa nebak gunung apa yang terlihat dalam foto? Hmm.. saya juga nggak tahu tuh, yang jelas ini ada di wilayah Jawa Timur. (Batavia Air, Denpasar-Jakarta)







Berkabut (karena polusi?), sungai yang kotor, pemukiman padat, not a good view to see... Bisa ditebak kan ini dimana? Yap.. our beloved city, Jakarta..
(Batavia Air, Denpasar - Jakarta)




















Taburan kapas putih di atas perairan Kalimantan.
(Lion Air, Jakarta - Pontianak)























Pontianak from the air. Sesaat sebelum landing.
(Lion Air, Jakarta - Pontianak)














Tuesday, July 17, 2007

PICcanSPEAK "the big city"

Banyak sekali momen yang dapat kita abadikan ketika kita sedang berada dalam perjalanan...

Siapa sih yang nggak kenal bangunan ini? bukan sekedar patung dan gedung. Tapi inilah Jakarta... susah, senang, kering, banjir, tenang, berisik, bersih dan jorok.. semua nyampur disini. The Biggest Village on earth...











Masih seputar hiruk pikuk Jakarta. Selain jumlah manusianya bertambah pesat, bangunannya pun melesat tinggi menggapai awan dilangit yang menyengat.







Jendral Sudirman yang siap menantang perubahan Jakarta. Ayo berjuang...







Yiiihaaa... our Prince Diponegoro is taking the lead!! cobain deh jalan-jalan ke monas di minggu pagi. Too many good object








Sunday morning in Monas field. It's the real Jakarta.. Jujur aja deh, kita warga Jakarta, berapa lama tinggal di Jakarta?... berapa kali ke Monas?









Ini bukan Tiananmen di China atau HongKong. Tapi ya di Monas kita tercinta. Meskipun agak gelap, tapi nggak ngurangin semangat jogging kan?






Monday, July 16, 2007

Me & My Bike



Di Jakarta naik sepeda? lu gila ya?... Kata-kata itulah yang kerap muncul ketika orang mengetahui bahwa saya kerap nggenjot sepeda ke tempat kerja. Bagi saya bersepeda di kota "keras" seperti Jakarta adalah hal biasa dan justru harus dibudidayakan. Kenapa? hmm.. coba deh kita tengok berapa banyak kendaraan bermotor yang membebani jalan-jalan raya di Jakarta ini? berapa persen pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta? bandingkan dengan pertumbuhan jalan rayanya sendiri.




Selain itu, mengikuti gaya hidup green living boleh juga dicoba. Selain membuat badan lebih sehat, mengurangi polusi adalah tujuan akhir dari gaya hidup ini. Beberapa pandangan sinis sering kali menghinggapi saya. Mulai dari rekan-rekan kerja, orang-orang sekitar tempat tinggal dan para pengguna jalan. Seringkali saya harus berduel keras dengan para pengendara syaitan beroda dua yang bernama sepeda motor, belum lagi kesinisan para supir angkutan umum yang sering memojokkan pengguna sepeda di setiap tikungan. Ketika lampu merah di persimpangan menyala, sudah menjadi hal biasa para pengendara syaitan beroda dua memojokkan saya di tengah dan menyenggol sepeda saya seraya berkata "mau lu apa?"


Hmm.. kekejaman-kekejaman tersebut tidak satupun membuat saya jera. Ketika lampu persimpangan menyala merah, saya dan Polygon kesayangan saya sekarang dapat berkelit menerobos kendaraan yang berhenti. Sambil menengok ke arah para syaitan beroda dua yang tertahan lampu merah, saya berkata dalam hati, "mampus lu banci!" dan saya pun terus menggenjot dengan santai.


Seiring dengan makin berkembangnya komunitas sepeda, saya sedikit tersenyum. Sambil membayangkan sebuah khayalan bahwa suatu saat nanti di sebuah koran ibu kota akan terpampang headline "Jumlah sepeda meningkat pesat mengalahkan sepeda motor", saya tetap optimis bahwa suatu saat nanti saya akan berkata pada anak cucu, "nih dulu sepeda bapak yang bapak pake buat kerja..."









Lovely LOVINA

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini saya berkesempatan untuk kembali mengunjungi Bali. Yang istimewa adalah jika tahun-tahun sebelumnya saya hanya kurang lebih tiga hari berada di Bali, maka kali ini saya mendapat anugerah luar biasa yaitu cuti selama seminggu. Artinya saya bisa menikmati dunia tanpa macet, tanpa angkot, tanpa metro mini dan kerabatnya dan tanpa syaitan beroda dua.

Seperti biasanya juga, saya pergi bersama istri saya dan kami mempunyai kebiasaan menarik jika pergi ke Bali. Yaitu, kami tidak pernah berangkat bersama-sama. Kali ini istri saya sudah tiba di Bali sehari lebih awal dari saya karena kesibukannya di Surabaya. Bagi kami justru hal ini membuat segalanya bertambah seru. Dua tahun lalu saat kami juga berkunjung ke Bali, istri saya berangkat dari Yogyakarta dan kedatangannya di Bali hanya berbeda sekitar dua jam dari saya yang datang dari Jakarta. Tampaknya sudah menjadi kebiasaan bagi kami untuk saling tunggu dan janjian di bandara Ngurah Rai.

Dari waktu di Jakarta, saya dan istri memang sudah lama merencanakan mudik ini. Entah kenapa kami jadi lebih merasa Bali adalah rumah bagi kami (mungkin karena mertua saya tinggal disana). Dan kali ini kami juga sudah berencana untuk “berburu” dolphin di lepas pantai Lovina (Bali utara). Bagi kami, Kuta sudah sangat membosankan untuk berekreasi. Jadi kami sepakat untuk melihat Bali lebih kedalam alias ke daerah perkampungannya. Cerita tentang dolphin di Lovina memang sudah sering saya dengar. Terlebih ketika istri saya dan teman-temannya mengunjungi tempat itu tahun lalu tanpa ditemani saya. Sejak itu, istri saya menjadi seperti jatuh hati pada dolphin dan memaksa saya untuk mengunjungi Lovina suatu saat.

Sehari sebelum berangkat ke Lovina, kami secara tidak sengaja menyaksikan liputan tentang daerah tersebut di sebuah TV swasta. Tentu saja saya semakin yakin bahwa perjalanan kami memang benar-benar direstui dan seolah diberi petunjuk secara langsung. Semangat kami semakin menggebu dan tidak sabar untuk menunggu esok hari. Memang benar, keesokan harinya cuaca sangat cerah dan kami sudah siap untuk berangkat ke Singaraja. Menurut istri saya perjalanan memakan waktu sekitar dua jam dan itu belum termasuk singgah di daerah-daerah wisata dan berhenti makan siang.

Dalam perjalanan, ternyata tidak seperti yang saya harapkan. Perjalanan ke Lovina di Singaraja dapat ditempuh melalui beberapa jalur. Kami memilih rute Bedugul karena itu adalah rute terpendek. Namun perjalanan melalui daerah ini sangat menguji fisik saya. Banyak tanjakan dan turunan curam disertai dengan tikungan-tikungan tajam yang berliku-liku. Saya sarankan jika rekan-rekan mengunjungi daerah ini sebaiknya jangan mengkonsumsi makanan terlalu banyak. Beberapa kali saya mencoba untuk mengambil gambar di daerah ini namun selalu gagal untuk mendapatkan gambar yang optimal karena jalur yang susah ditebak dan kecepatan kendaraan yang tinggi. Sehingga saya hanya bisa mengambil gambar pada jalur datar saja.

Tiba di Singaraja menjadi saat-saat yang paling membahagiakan saya. Setelah melalui jalan yang mirip seperti rel jetcoaster, akhirnya kami menikmati jalan landai dan lurus. Setelah mendapat tempat penginapan yang sesuai, kami tidak langsung beristirahat. Hotel tempat kami menginap sangat unik. Selain hotel, tempat itu juga berfungsi sebagai kebun binatang mini dan memiliki empat ekor dolphin. Pada jam-jam tertentu, para tamu hotel dapat menyaksikan dolphin show gratis. Memang tidak sebesar dolphin show di Ancol, namun justru inilah keunggulannya menurut saya. Kami dapat bercengkerama langsung dengan dolphin secara bebas bahkan berenang bersama dolphin di kolam air laut. Sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa bagi saya dapat mengelus seekor dolphin seperti mengelus seekor anak anjing. Bagi kami siang itu tidak ada waktu luang untuk beristirahat karena kami sibuk menikmati dolphin show dan bermain dengan hewan-hewan lainnya. Bagi kami ini semua hanyalah pemanasan sebelum besok subuh kami harus “berburu” dolphin ditengah laut.

Untuk bisa melihat dolphin di tengah laut, biasanya dikenakan tarif sekitar Rp 50.000 per orang dan bisa ditawar. Tapi jika anda adalah turis mancanegara, tarif yang dikenakan bisa mencapai US$ 25 atau sekitar Rp 250.000 per orang. Kendaraan yang digunakan adalah perahu motor bercadik dan kami harus sudah berangkat dari dermaga sekitar pukul 05.30 waktu Bali atau pukul 04.30 waktu Jakarta. Biasanya perjalanan memakan waktu 30 menit untuk mencapai tengah laut ditambah lagi harus berputar-putar kesana kemari mengejar dolphin yang sedang mencari makan. Biasanya perahu akan kembali ke dermaga sekitar pukul 08.15 waktu Bali.

Esok paginya, kami dibangunkan petugas hotel pukul 05.20 dan harus segera bersiap-siap karena perahu yang akan membawa kami sudah menunggu. Sekitar pukul 05.45 waktu Bali kami sudah meninggalkan pantai dan menuju ke tengah laut. Saat itu saya merasa sangat terharu sekali karena saat-saat seperti itu mengingatkan saya akan masa kecil saya di Kalimantan. Lahir dan hampir sepuluh tahun tinggal di Kalimantan merupakan masa-masa yang sulit saya lupakan. Laut menjadi sahabat saya setiap hari karena rumah saya dulu memang persis menghadap ke laut. Dulu teman-teman saya sering berkata, “jangan ngaku anak Kalimantan kalau nggak bisa berenang.” Memang benar dan mungkin itu sebabnya dulu ayah saya selalu membawa saya ke tengah laut dengan perahu karet dan menceburkan saya dengan pelampung kemudian meninggalkan saya sendirian dan ketakutan di tengah laut hingga arus pasang mendorong saya kembali ke pantai sore harinya. Sambil sedikit mengenang masa kecil saya, matahari mulai memancarkan sinarnya dan menebar warna-warni yang sangat indah di langit Lovina. Sayang, kamera saya yang sederhana tidak bisa menangkap dengan jelas detai-detail magic hour meskipun beberapa kali saya sempat mengambil gambar saat-saat tersebut.

Hampir satu jam kami berkeling di tengah laut dan belum ada tanda-tanda pemunculan dolphin. Matahari mulai tinggi dan udara mulai panas namun tidak menyurutkan semangat saya dan istri. Maklumlah, kami berdua termasuk pasutri yang hyperaktif alias tidak bisa diam. Sementara perahu-perahu yang lain sudah terlihat semakin banyak dan saat itu baru saya sadari ternyata hanya kami berdua yang bukan turis asing. Semua perahu di kanan kiri kami selalu membawa penumpang kalau bukan orang bule ya orang Jepang. Sekitar pukul 07.00 barulah pemunculan pasukan dolphin ini mulai terlihat. Mereka mencari makan dengan bergerombol. Sebagian dari mereka bahkan melompat hingga tinggi ke udara. Entah mereka tahu sedang diperhatikan atau hanya sekedar melompat. “Perburuan” itu sangat seru karena pemunculan mereka sangat tidak menentu lokasinya dan gerakan mereka sangat cepat. Saya akui kecepatan tangan saya dengan kamera digital tidak ada apa-apanya dibandingkan kelincahan mereka. Beberapa perahu bahkan kewalahan mengikuti pergerakan mereka. Beberapa turis asing terlihat antusias dengan kamera-kamera mereka. Entah mengapa saat itu saya benar-benar merasakan kebesaran Illahi. Rombongan dolphin yang bersahabat, lucu dan cerdas, pemandangan yang luar biasa indah, lukisan langit fajar yang tidak akan saya lupakan dan antusiasme orang-orang yang rela mengeluarkan begitu banyak uang demi melihat makhluk-makhluk Tuhan yang indah ini seakan memberikan saya teguran untuk mengingat kembali kebesaranNya. Pukul 08.00 hampir tidak ada lagi dolphin yang terlihat. Mungkin mereka sudah terlalu kenyang menyantap ikan-ikan sarapan mereka pagi itu. Layaknya perpisahan, kami merasa sedih harus berpisah dengan para dolphin dan kami bergegas kembali ke dermaga. Saran saya, buanglah jauh-jauh pikiran “Lihat lumba-lumba aja kok mahal dan jauh amat. Kan di Ancol ada.” Percayalah, keindahan fajar di Lovina dan pengalaman seru mengejar dolphin di tengah laut tidak akan bisa dinilai dengan uang. Kami berdua tidak akan pernah melupakan kebesaran Illahi yang kami rasakan selama dua jam diatas perahu bercadik ditengah laut Lovina. Sebenarnya setelah melihat dolphin, kami berencana ke taman laut Lovina untuk snorkeling namun karena keterbatasan waktu, kami mengurungkan niat kami tersebut dan lebih memilih kembali bermain-main dengan dolphin di hotel tempat kami menginap.

Kembali ke Denpasar, kami memilih rute yang berbeda dari rute berangkat. Kami memilih rute Kintamani-Ubud yang meskipun lebih jauh, tetapi jalurnya tidak se ‘seram’ rute Bedugul. Selain itu, pemandangan di rute ini juga lebih indah dibandingkan rute Bedugul. Seperti yang kami perkirakan, saat makan siang kami tepat di daerah Kintamani. Kami memilih restoran yang mempunyai mount view terindah dan menghabiskan waktu sejenak untuk makan siang dan beristirahat sambil menikmati keindahan alam. Lagi-lagi kami menyadari bahwa di restoran ini hanya kami berdualah yang bukan turis asing. Kami sengaja tidak menghabiskan makanan terlalu banyak karena kuatir perjalanan yang masih berliku-liku akan mengguncang isi perut kami. Tetapi kami cukup beruntung karena rute ke Ubud tidak se ‘seram’ yang saya bayangkan. Jalur-jalur yang dilalui relatif lurus dan datar. Hanya saja penyakit ngantuk mulai menyerang kami berdua sehingga kami tidak terlalu menikmati pemandangan. Sampai di Ubud, kami menyempatkan diri untuk ‘bersillaturahmi’ dengan ‘kerabat’ di Monkey Forrest Sanctuary. Meskipun hanya sebentar karena keterbatasan waktu, namun hubungan saya dengan monyet-monyet disini cukup mesra sebelum akhirnya kami harus melanjutkan perjalanan ke pasar Ubud untuk berburu gelang manik-manik yang beberapa tahun belakangan ini mulai saya koleksi.

Sesuai rencana, seharusnya kami juga melanjutkan perjalanan ke Lombok keesokan harinya. Namun karena berbagai pertimbangan, akhirnya petualangan ke Lombok kami tunda hingga tahun depan. Mungkin akan kami gabungkan dengan rencana kami mengunjungi Flores yang insyaallah akan kami lakukan tahun depan. Untuk mengobati kekecewaan karena gagal snorkeling dan batal ke Lombok, kami disarankan untuk snorkeling di pulau Serangan dekat Sanur. Pulau ini bisa dicapai dengan melalui sebuah jembatan. Pulau yang tadinya kecil ini kemudian diperluas oleh keluarga cendana dengan melakukan reklamasi pantai. Tidak banyak orang yang tahu tentang pulau yang luasnya sekitar 600 hektar ini. Tidak banyak bangunan disini dan hanya tanah kosong dan semak-semak belukar disertai jalan-jalan tanah yang tidak beraturan. Beberapa café menghiasi pinggiran pulau ini namun lebih mirip sebuah diskotik terselubung. Pantai di pulau ini cukup nyaman untuk bersantai karena hampir tidak ada orang yang mengunjunginya. Namun, karena pantai ini adalah pantai buatan, maka pemandangan bawah lautnya tidak seindah taman laut yang sebenarnya dan lebih banyak rumput laut yang membuat suasana jadi tampak seram. Sebagai gantinya, kami dapat dengan bebas mencari banyak kelopak kerang yang indah di pinggiran pantai.

Setelah beberapa hari kami isi dengan banyak aktivitas yang melelahkan, esoknya istri saya lebih memilih untuk bersantai di Black Canyon Coffee Shop, Kuta sambil serius mengerjakan pekerjaan kantor dengan menggunakan laptop. Sementara itu, saya lebih memilih untuk berjalan-jalan dipantai Kuta. Namun karena Kuta bagi saya sudah agak membosankan, saya lebih memilih untuk menelusuri garis pantai yang mendekati landasan bandara. Disitu, saya bisa dengan jelas memperhatikan dan mengambil banyak gambar pesawat-pesawat yang akan mendarat maupun yang akan take off. Ritual menikmati Kuta sunset nampaknya batal kami nikmati sore itu karena cuaca yang cukup berawan. Bahkan di utara mendung sudah pekat menutupi langit. Tetapi ada beberapa saat magic hour yang sempat kami shoot meskipun harus berebutan posisi dengan para turis-turis asing. Yang membuat suasana semakin seru adalah perubahan dan kecepatan gerakan awan yang sulit diprediksi. Jadi kami harus sabar menanti saat-saat yang tepat untuk mengambil gambar dan belum lagi kehebohan para turis yang terkadang mengganggu pemandangan pengambilan gambar. Kamera digital saya memang terbatas dalam feature pengambilan gambar. Namun saya tidak patah semangat untuk mengamati karya agung ini. Sekali lagi kami ditegur untuk mengingat kembali kebesaran Illahi melalui keagungan alam yang ditunjukan olehNya pada kami di depan Black Canyon Coffe Shop, Kuta.

Pulang kembali ke Jakarta adalah hal terberat yang kami rasakan selama di Bali. Tidak terasa, sudah satu minggu kami berada disini dan itu berarti sudah satu minggu kami terhindar dari keras dan penatnya Jakarta. Sudah terbayang dalam benak saya bagaimana kami harus melihat kembali hutan-hutan beton, kezaliman para pengendara motor, supir bis dan angkot serta keruhnya udara Jakarta. Itulah sebabnya kami memilih penerbangan pagi dari Denpasar agar terhindar dari kemacetan Jakarta. Dan sudah menjadi kebiasaan saya, dimanapun saya pergi menggunakan pesawat, saya selalu mengambil gambar pesawat terbang dan bandara setempat. Dunia penerbangan adalah cita-cita saya dari kecil. Namun setelah gagal meraih cita-cita ini, saya tetap menjadikannya sebagai hobby. Entah mengapa saya begitu mengagumi pesawat terbang dan dunianya. Sambil berusaha melupakan gambaran penatnya Jakarta, kami berdua mencoba merencanakan perjalanan kami tahun depan sambil melihat-lihat peta kawasan Nusa Tenggara khusunya Lombok dan Flores. Tetapi kami tetap mempertimbangkan kawasan Bali yang belum kami sentuh seperti pulau Nusa Penida, kawasan Bali barat dan timur termasuk pantai Karang Asem. Sambil menanti detik-detik landing di cengkareng, saya menghibur diri dengan mengambil beberapa gambar melalui udara. Banyak pemandangan menarik selama menelusuri daratan Jawa timur dan tengah. Untungnya cuaca saat itu cukup cerah sehingga sudut sinar cukup membantu pengambilan gambar. Uniknya, ketika hendak mendarat di Denpasar, penumpang terhibur dengan keindahan pantai Bali. Namun jika hendak mendarat di cengkareng, penumpang selalu tersenyum sambil berkata, ”wah kok kumuh banget ya?”


Powered By Blogger