Tak ada yang meragukan keindahan alam Jawa Barat. Sebagai salah satu destinasi wisata masyarakat Jakarta dan sekitarnya, dataran tinggi Bandung kerap kali menjadi sasaran utama para penikmat alam bebas untuk melepaskan sejenak kepenatan dan rutinitas kota.
Sekitar 25 kilometer ke arah utara Bandung, cobalah untuk berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu. Gunung dengan ketinggian 2.084 meter dpl ini memang sudah sejak lama menjadi sasaran wisata warga Bandung dan sekitarnya termasuk Jakarta.
Meski terlihat sebagai tempat wisata keluarga, Tangkuban Perahu juga cocok bagi anda yang senang petualangan dan hiking. Sebagai volcano atau gunung berapi aktif, Tangkuban Perahu termasuk sebagai sleeping volcano. Letusan terakhirnya adalah tahun 1983.
Dengan waktu tempuh sekitar 4 jam dari Jakarta melalui rute Subang dan Purwakarta, Tangkuban Perahu tidak sulit untuk dijangkau dengan kendaraan pribadi. Dari pintu gerbang sebetulnya saya memutuskan untuk berjalan kaki hingga ke puncak gunung yang kira-kira jaraknya sekitar 3 kilometer dengan kondisi jalan terus mendaki. Namun saya terpaksa mengurungkan niat saya karena petugas di pintu masuk menyarankan saya untuk tetap menggunakan kendaraan hingga sampai di tempat parkir. Dari situ, saya baru diizinkan untuk berjalan kaki ke puncak untuk melihat kawah. Jarak dari lokasi parkir menuju puncak adalah sekitar 1,2 kilometer.
”Nggak jauh kok,” bujuk saya pada teman-teman saya. Namun ketika kami baru berjalan sekitar 200 meter, kelelahan sudah mendera saya dan teman-teman. Nafas kami mulai tersengal-sengal karena jalan yang terus menanjak dan udara belerang yang menusuk penciuman kami. Saya tentu tak memperkirakan hal ini.
Sejenak kami menikmati pemandangan di sekitar jalan. Pohon-pohon pinus dan jurang-jurang yang ditutupi hutan lebat menyegarkan pikiran kami yang rindu alam bebas. Sambil beberapa kali beristirahat, kami melanjutkan perjalanan sambil mengobrol dan saling bercanda. Tak terasa bukit-bukit tandus dengan pagar kayu di bibir jurangnya sudah terlihat dihadapan kami. Sambil menarik nafas lega, sayapun bergegas menuju bibir jurang menganga yang berada dipuncak Tangkuban Perahu.
Sebuah pemandangan indah terhampar dihadapan kami. Sebuah kawah besar dengan kepulan uap belerang yang berada di sela-sela bebatuan hitam membuat saya dan teman-teman hanyut sejenak dalam keindahan itu.
Beberapa teman yang membawa kamera langsung menyiapkan kamera mereka. Dan yang lainnya bisa ditebak. Segera pasang aksi narsis! Saya tak melewatkan kesempatan ini untuk mengambil gambar pemandangan disekitar kawah. Bebatuan putih dan kuning, dipadu dengan hutan-hutan kecil yang hijau dan birunya langit yang siang itu sangat cerah menjadikan pemandangan siang itu begitu mengesankan.
Terdapat tiga buah kawah yang berada di Tangkuban Perahu, yaitu Kawah Ratu, Kawah Upas dan Kawah Domas. Kawah yang paling mudah dapat dilihat adalah Kawah Upas dan Kawah Ratu. Kawah ini langsung terlihat begitu pengunjung tiba dipuncak. Disarankan untuk tidak terlalu dekat dengan pagar pemabatas saat menyaksikan keindahan kawah ini karena konsdisi pagar-pagar kayu yang terlihat agak rentan dan tidak rata.
Saya sempat kembali membujuk teman-teman saya untuk turun ke bawah langsung dan berdiri diatas Kawah Ratu untuk merasakan sensasi di lingkaran kawah ini. Namun ternyata saya harus mengurungkan niat saya karena ternyata petugas melarang pengunjung untuk turun kebawah disebabkan bahaya gas beracun yang keluar dari kawah.
Kamipun memutuskan untuk melakukan santap siang sejenak untuk mengisi tenaga. Sambil dikelilingi pemandangan indah, bermandikan cahaya matahari yang cerah dan diselimuti angin dingin sambil sesekali dibekap kabut gunung, makan siang kami benar-benar terasa luar biasa. Beberapa pedagang yang menjajakan topi berbulu yang khas menghampiri kami sambil menyodorkan barang dagangan mereka. Keluarkan semua ilmu menawar anda jika ingin membeli barang dagangan mereka.
Disebelah kanan bibir jurang, pengunjung dapat memuaskan hasrat berbelanja dengan berbelanja di pasar suvenir. Sekali lagi, disini ilmu tawar-menawar anda akan diuji! Bentuk dari pasar suvenir ini juga tergolong unik. Hamparan kios-kios tradisional berjejeran berkelok dengan kondisi jalan yang menurun dipadu dengan warna-warni cinderamata membuat mata ini tak bosan untuk mondar mandir di gang pasar ini.
Beberapa turis asing seperti dari Timur Tengah dan Taiwan juga banyak berkeliaran berbelanja cindera mata disini. Saya dan beberapa teman menelusuri gang pasar ini hingga terus ke sebuah jurang dengan pemandangan yang juga menakjubkan. Kami berfoto-foto sebentar disini dan tak disangka, disini kami bertemu dengan rombongan kedutaan Kuwait yang juga sedang asyik berfoto-foto di bibir jurang.
Kamipun meneruskan perjalanan menyusuri hutan kecil dengan rute cukup datar. Disini cukup rindang karena banyak pohon besar yang tumbuh dikanan kiri jalan setapak. Dibeberapa belokan, jalanan justru mengarah masuk ke dalam hutan-hutan kecil. Kami terus berjalan sebelum akhirnya tiba disebuah bibir jurang dengan kondisi jalan agak sulit. Melewati celah batu-batu besar dan curam. Diujung rute, saya membaca tanda ”batas akhir pengunjung.”
Kamipun berhenti disitu sambil duduk di batu-batu besar yang menghadap ke Kawah Upas. Kepulan uap belerang terlihat lebih banyak disini. Mereka mengepul disisi-sisi jurang diantara bebatuan gelap. Sambil melepas lelah, kami membayangkan betapa panasnya batu-batuan tersebut.
Sepasang turis asing yang sudah cukup berumur bertemu kami disini, Kami menyarankan untuk berhati-hati karena jalan yang dilalui cukup berat dan mereka tidak menggunakan sandal atau sepatu khusus treking. Namun pasangan turis ini membuat kami tercengan dan malu setengah mati. Karena ternyata mereka berjalan lebih lincah dan lebih cepat dari kami semua.
Setelah ”dipecundangi” pasangan turis bule paruh baya di jalur Kawah Upas, kami menuju ke Kawah Domas. Konon di kawah ini, pengunjung dapat merebus telur hingga matang di air kawahnya. ”Rebus telur 10 menit,” begitu kata iklan yang terpampang di papan penujuk jalan. Meladeni rasa penasaran, kamipun bergerak menuju kawah Domas.
Jalur ke Kawah Domas lebih sulit dari Kawah Upas. Menuju Kawah Domas harus melalui jalan meurun yang cukup jauh, yaitu sekitar 1,2 kilometer dengan rute menurun dan berkelok-kelok. Jalur yang lebih mudah sebenarnya dapat ditempuh dari pinggir jalan utama dekat gerbang masuk. Jalur dari situ lebih mendatar dan dekat dibanding jalur dari puncak Tangkuban Perahu.
Rasa lelah kembali mendera kami sekitar 300 meter sebelum tiba di Kawah Domas. Kawah ini terlihat dari atas tidak begitu besar dibanding Kawah Ratu dan Kawah Upas. Namun rute terakhir menuju Kawah Domas cukup sulit karena harus melalui turunan yang sangat curam. Disini, kami kembali tercengang. Bukan karena indahnya pemandangan, namun karena jauh dibawah sana, pasangan turis bule yang tadi bertemu kami, tampak sedang asyik merebus telur di tengah kawah. Kami ”dipecundangi” lagi.
Ingin sekali sebetulnya kami bergabung dibawah sambil merebus telur. Namun sayang, waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 yang berarti kami harus kembali ke tempat parkir, karena kawan-kawan yang lain menunggu disana pukul 16.00. Kami harus berpacu dengan waktu.
Jalan menuju tempat parkirpun ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Rute ini melewati hutan-hutan dengan jalan setapak yang sesekali bercabang dan tak jelas arahnya. Udara dingin sejuk yang tadi saya rasakan, kini mulai berubah menjadi panas dan gerah. Ini disebabkan kartena rute yang saya lalui menjadi semakin berat dan menguras banyak tenaga. Disebuah persimpangan, kami sempat terkecoh dengan cabang-cabang jalan. Rute yang kami ambil ternyata membawa kami pada kondisi jalan yang semakin berat.
Kami sempat beristirahat sejenak sambil berfoto-foto di tengah hutan. Meski kami semua khawatir tersesat, namun ketika kamera mulai dinyalakan, sebuah senyum keterpaksaan pun menghiasi wajah kami. ”Ayo lanjut,” kata kawan saya yang merasa yakin bahwa jalan menanjak didepan kami akan membawa kami ke jalan utama.
Benar saja, setelah menjajaki jalan menanjak yang tak ada habisnya, akhirnya kami dapat mendengar deru sepeda motor. ”Tuh betul kan!” kata kawan saya tadi. Kamipun bergegas memaksa tenaga kami yang tersisa untuk terus menjejak jalur menanjak. Akhirnya saya dapat bernafas lega begitu kami benar-benar tiba di seberang lapangan parkir. Rasa khawatir yang dari tadi menghinggapi kami, berubah menjadi perasaan lega diiringi tawa canda sambil berjalan tertatih-tatih kelelahan. Namun, untuk yang kesekian kalinya, kami harus tercengang lagi. Bis rombongan kami sudah tidak ada di tempat parkir. Kami ketinggalan bis!
Setelah ”dipecundangi” pasangan kakek nenek, kini kami ”dipecundangi” oleh waktu kami sendiri. Untungnya ternyata bis rombongan kami menanti kami di pintu gerbang. ”Lima belas menit!” kata ketua rombongan kami melalui telpon seluler. Kami kembali berpacu dengan waktu karena jalan kaki menuju pintu gerbang sangat jauh. Apalagi kami dalam kondisi kelelahan.
Untungnya, sebuah bis yang mengangkut rombongan wisata pegawai negeri, berkenan kami tumpangi hingga pintu gerbang. ”Kenapa mas?” tanya seorang bapak di bis itu. Kamipun menjawabnya sambil malu-malu, ”Ditinggal rombongan pak.” Kali ini kami dapat mengalahkan waktu lima belas menit untuk sampai di tempat bis kami menunggu. Tak sampai sepuluh menit kami tiba. Namun sebagai imbalan, kami jadi bahan tertawaan kawan-kawan lainnya karena sempat ditinggal rombongan. What a race!