Monday, November 24, 2008

ONRUST yang tak pernah istirahat

Sepi, kosong dan menakutkan. Itulah kesan pertama jika kita mengunjungi Pulau Onrust. Sebuah pulau yang terletak di perairan Teluk Jakarta yang kini luasnya hanya 9 hektar. Tapi jangan salah, Onrust yang kini menjadi taman arkeologi dengan pemandangan yang terkesan menakutkan ini ternyata memiliki sejarah panjang.



Tak kenal istirahat
Pulau Onrust yang dapat dicapai dari Jakarta dalam waktu kurang lebih 30 menit ini mulai memainkan peranan pentingnya di abad ke 17. Waktu itu pulau ini berperan sebagai dermaga untuk persinggahan dan perbaikan kapal-kapal dari Eropa. Bahkan Kapten James Cook sebelum ke Australia pernah singgah dan memperbaiki kapalnya di Onrust pada tahun 1770.


Onrust sendiri dalam bahasa Belanda artinya adalah ‘Tak pernah istirahat’ atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Un-rest. Sebutan Onrust diberikan oleh orang-orang Belanda karena kesibukan di pulau ini yang seperti tak kenal istirahat. Sedangkan masyarakat lokal menyebut pulau ini sebagai Pulau Kapal. Karena begitu banyaknya kapal-kapal yang singgah di pulau ini. Sebagai tempat persinggahan dan perbaikan kapal, Onrust semakin memiliki fungsi penting dari waktu ke waktu dalam mendukung armada laut Belanda di Pulau Jawa.

Karena fungsinya yang begitu penting, tahun 1800, Inggris dibawah pimpinan H.L. Ball menggempur kekuatan Belanda di pulau ini. Tidak sampai disitu, di tahun 1806 dan 1810 Inggris menggempur kembali kekuatan Belanda di Onrust.


Tahun 1828-1848, Pulau Onrust mulai kembali dibangun dibawah pimpinan Baron Van Der Capellen dengan mengerahkan tenaga dari orang-orang Cina, pribumi dan para tawanan. Sayangnya semenjak Belanda membangun Pelabuhan Tanjung Priok, fungsi dari Onrust mulai berkurang. Tidak banyak lagi kapal-kapal yang singgah di Onrust. Cuma ada sebagian kecil saja yang diperbaiki disini.


Kekuatan Belanda di Pulau Onrust menjadi benar-benar hancur ketika pada tahun 1883 sebuah gelombang besar yang diakibatkan oleh letusan Gunung Krakatau meratakan semua bangunan sekaligus menghancurkan galangan kapal di pulau tersebut.



Semenjak itu, pulau yang dikenal ‘tak pernah istirahat’ ini menjadi benar-benar ‘beristirahat’. Tak ada lagi kehidupan di pulau ini hingga pada tahun 1911 dimana pemerintah Belanda menjadikan pulau Onrust sebagai pulau rumah sakit dan karantina haji. Pada waktu itu, rombongan calon haji yang akan menuju Mekkah harus tinggal dulu di pulau ini untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan laut. Maklum saja karena waktu itu rombongan haji tidak menggunakan pesawat terbang namun menggunakan kapal laut.


Keberadaan karantina haji di pulau ini tidak berlangsung lama. Tahun 1933 pulau ini kembali ditinggalkan dan kosong. Menjelang zaman kemerdekaan, tepatnya saat masuknya Jepang, Onrust semakin tidak mempunyai peranan sepenting dulu lagi. Pada masa awal kemerdekaan, Onrust dimanfaatkan sebagai rumah sakit dan karantina untuk penyakit menular dibawah pengawasan Departemen Kesehatan R.I.




Tahun 1960, pemerintah menggunakan pulau ini sebagai tempat penampungan gelandangan, pengemis dan untuk pelatihan militer hingga tahun 1965. Sempat juga dijadikan sebagai tempat tahanan politik. Keberadaan bangunan penjara masih dapat dilihat hingga kini sebagai bangunan yang terlihat relatif masih baru.




Setelah tahun 1965, Onrust kembali ‘beristirahat’. Disaat itulah sering terjadi penjarahan barang-barang material oleh warga Jakarta. Banyak bangunan-bangunan kuno seperti benteng dan rumah-rumah jaman kolonial yang dihancurkan untuk diambil batu batanya. Beberapa benda-benda bersejarah seperti barang-barang pribadi yang tersimpan juga tak luput dari penjarahan.


Onrust semakin lama menjadi pulau mati yang tak terawat sama sekali. Hingga pada tahun 1972, pemerintah daerah DKI Jakarta dibawah Gubernur Ali Sadikin menetapkan Onrust sebagai Cagar Budaya.


Para pendukung Onrust



Berwisata ke Pulau Onrust pasti tak luput dari tiga buah pulau disekitarnya yang terkait erat dengan Onrust. Tiga pulau tersebut adalah Bidadari, Cipir dan Kelor. Berbeda dengan Onrust, fungsi utama dari tiga buah pulau ini adalah sebagai benteng pertahanan. Hingga saat ini masih dapat dilihat sisa-sisa fondasi dari benteng dan kincir angin. Untuk memperkokoh kekuatannya di perairan Jakarta, Belanda membangun masing-masing satu benteng yang diberi nama Martello di pulau-pulau tersebut.

Di Pulau Kelor yang hanya berjarak 10 menit menggunakan kapal motor dari Onrust, masih dapat terlihat sebuah benteng yang berbentuk lingkaran. Di pulau ini memang tidak ada bangunan lain selain Benteng Martello. Kapal motor berukuran sedang pun susah merapat di pulau ini karena ukuran pulau yang sangat kecil dan dikelilingi perairan dangkal yang dipenuhi batu karang.



Pulau Cipir yang letaknya dekat dengan Onrust, juga memiliki sejarah yang tak jauh berbeda. Namun keadaan di Pulau Cipir saat ini lebih terlihat sebagai bekas karantina haji dan rumah sakit daripada sebuah pulau bekas pertahanan Belanda. Sisa-sisa zaman kolonial hampir tak terlihat sama sekali kecuali sebuah fondasi melingkar yang diyakini dulunya adalah bagian dari benteng Martello.


Kesan seram dan angker masih lekat di pulau ini. Bangunan-bangunan yang tampak hanya tinggal berupa puing-puing dan reruntuhan. Menurut petugas taman nasional, sisa-sisa bangunan bersejarah di pulau Onrust dan sekitarnya sudah terkubur dalam beberapa lapisan. Jadi untuk menemukan semua sisa bangunan di era VOC, harus dilakukan penggalian yang dikhawatirkan akan merusak sisa-sisa bangunan di atasnya.


Dibandingkan dengan ketiga pulau diatas, pulau yang keempat yaitu Pulau Bidadari terlihat jauh lebih baik perawatannya. Pulau ini memang dikelola oleh pihak swasta sebagai pulau rekreasi. Dermaga di Pulau Bidadari terlihat lebih bagus dan lebih banyak kapal motor yang merapat disana. Beberapa penginapan berupa cottage juga terlihat rapih dan teratur. Di akhir pekan, banyak warga Jakarta yang menghabiskan waktu untuk berlibur disini. Selain itu, disini juga terdapat pusat penangkaran biawak dan pusat pembibitan berbagai tanaman.

Jika anda tertarik untuk melihat lebih ke dalam, anda akan menemukan sebuah bekas benteng Martello yang keadaanya masih cukup terawat. Benteng dengan cirri khas berbentuk lingkaran ini terdapat di pinggir pulau dengan pohon-pohon besar yang mengelilinginya. Meskipun sudah tidak utuh lagi, namun bentuk bangunan utama masih terlihat jelas dan lorong-lorong benteng juga masih terawat baik. Jika anda menyusuri lorong, maka anda akan menjumpai sebuah gudang yang dulunya dipakai untuk penyimpanan mesiu.

Maria Van De Veldes

Mempelajari sejarah di Pulau Onrust tak lengkap rasanya jika tak menyimak kisah-kisah gaib di pulau ini yang sampai sekarang masih sering dibicarakan orang. Jika anda berkesempatan mengunjungi Onrust, anda pasti akan mendengar kisah Maria si putri Belanda.


Konon Maria Van De Veldes adalah putri dari seorang pimpinan Belanda di Pulau Onrust. Namun dari sekian banyak warga Belanda yang mati di Onrust, hanya Maria lah yang hingga saat ini masih sering melakukan ‘penampakan’. Bahkan menurut petugas setempat, bulan Agustus 2008 sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan di Onrust terpaksa lari pontang-panting karena ‘dikerjai’ oleh Maria.


“Setiap orang yang punya niat nggak baik disini pasti akan diganggu Maria”, kata si petugas.


Tidak sampai disitu, petugas taman arkeologi juga menunjukkan tempat dimana Maria Van De Veldes sering menampakkan diri.


“Anda lihat pohon-pohon yang kering disana? Nah disitulah Maria sering berayun-ayun dengan gaun warna merah,” kata petugas sambil menunjuk ke arah lima buah pohon yang nampak kering. Yang aneh adalah semua pohon di pulau ini nampak rindang kecuali lima buah pohon yang ditunjuk oleh petugas itu.




Jadi, jika anda berkesempatan mengunjungi pulau Onrust, jauhkanlah semua pikiran-pikiran dan niat negatif. Anda tentu tak ingin kejadian bulan Agustus 2008 tadi menimpa anda juga bukan?



Di sisi timur pulau, terdapat sebuah kompleks pemakaman pribumi dimana salah satu dari makamnya diyakini sebagai makam dari Kartosuwiryo, tokoh pemberontak DI/TII. Tidak sulit untuk menemukan makam Kartosuwiryo. Makamnya berbentuk sebuah rumah kecil dan didepannya terdapat sebuah tulisan ‘Makam Keramat’.


Jemaah Haji tempo dulu.
Tahun 1911 hingga 1933 Pulau Onrust dan sekitarnya berubah fungsi menjadi karantina Haji. Beberapa bangunan fasilitas Haji masih dapat dilihat hingga sekarang meski kondisinya banyak yang sudah rusak berat dan bahkan hanya tinggal fondasinya saja.




Di antara sisa-sisa bangunan, dapat terlihat bekas bangunan barak Haji dengan bekas tiang pancangnya yang masih utuh. Dari letak tiang-tiangnya dapat diketahui betapa sempitnya dulu ruangan dalam barak tersebut. Sisa-sisa bangunan lainnya adalah ruangan untuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, rumah dokter dan tempat rawat inap pasien. Satu-satunya bangunan yang masih berfungsi hingga saat ini adalah bekas rumah dokter yang kini menjadi Museum Onrust.


Selain Pulau Onrust, Pulau Cipir yang letaknya cukup dekat juga dijadikan tempat untuk karantina Haji. Dahulu para rombongan Haji yang tiba dari tanah suci harus dikarantina di Pulau Cipir. Setelah itu mereka baru boleh menuju Onrust untuk kemudian dipulangkan ke Jakarta. Penyebrangan ke Onrust dari Pulau Cipir dulu menggunakan sebuah jembatan yang menghubungkan kedua pulau. Saat ini jembatan tersebut sudah tidak utuh lagi meski jalur utamanya masih jelas terlihat.



Di Pulau Cipir, fasilitas yang dibangun lebih banyak untuk fasilitas kesehatan. Disini masih bisa disaksikan bekas bangunan rumah sakit besar, rumah dokter dan beberapa ruangan rawat inap. Di Pulau Cipir ini juga masih bisa disaksikan bekas fondasi benteng Martello yang pada tahun 1850 hancur karena gelombang tidal.

Selain Onrust
Menghabiskan waktu untuk berwisata sejarah di taman arkeologi Onrust memang menyenangkan. Bagi yang hobby fotografi, selain belajar sejarah dapat juga menemukan objek foto menarik di pulau ini. Jika anda ingin menghabiskan waktu dengan menginap, anda bisa menginap di Pulau Bidadari yang suasananya cukup tenang untuk bersantai. Atau jika anda ingin yang bersuasana lebih meriah sedikit, anda bisa menginap di Pulau Untung Jawa yang berjarak hanya sekitar 20 menit dari Onrust.

Pulau Untung Jawa memang dikenal sebagai desa wisata bahari. Disini sudah banyak tersedia homestay, restoran dan bahkan tempat penyewaan sepeda. Berbagai paket perjalanan wisata ke pulau ini juga banyak ditawarkan. Untung Jawa juga dikenal sebagai tempat andalan para pemancing yang datang dari Jakarta.

Jika anda adalah pecandu pemandangan sunset, jangan lewatkan menikmati sunset di Pulau Rambut. Pulau yang letaknya cuma bersebelahan dengan Untung Jawa ini adalah pulau cagar alam. Tidak ada penginapan disini kecuali pos jagawana cagar alam. Keistimewaan pulau ini adalah sebagai tempat tinggal berbagai macam spesies burung. Ditengah pulau terdapat sebuah menara pengawas yang dapat memantau aktivitas burung-burung dan pemandangan indah disekitar pulau.

Mulai sekitar pukul 16.00 WIB, ratusan burung akan terbang menuju pulau ini untuk istirahat. Jika langit bersih, pemandangan indah matahari terbenam sambil ditaburi ratusan burung yang terbang melintas akan menjadi pemandangan indah yang tak terlupakan. Sayangnya karena kurang pedulinya warga Jakarta terhadap lingkungan, sampah-sampah rumah tangga dari sungai di Jakarta banyak yang terdampar di pulau ini. Jadi jangan heran jika merapat di pulau ini, anda akan melihat hamparan sampah di sepanjang rawa-rawa pulau ini.


Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, jangan lewatkan untuk mampir ke Pulau Damar Besar yang terkenal dengan mercu suarnya. Bangunan mercu suar yang terletak di pinggir pantai ini sangat jelas terlihat ketika kapal mulai mendekati pulau

Mercu suar yang dibangun Belanda atas perintah Raja Willem III pada tahun 1879 ini masih tampak kokoh dan bersih meski beberapa jendela sudah terlihat pecah. Bagian dalamnya yang terbuat dari besi juga masih kuat menahan beban para pengunjung yang akan naik ke atas. Untuk menjaga kondisi didalamnya, pengunjung diwajibkan untuk melepas alas kaki sebelum naik ke puncak mercu suar. Kekuatan sinar lampunya yang dapat terlihat dari jarak 20 mil laut ini masih bisa dinikmati hingga sekarang. Pemandangan indah juga dapat anda saksikan dari puncak mercu suar setinggi 52 meter ini.


Ingin mengeksplor lebih dalam? Di dalam Pulau Damar Besar ini juga terdapat sekitar lima buah bekas benteng Belanda lengkap dengan ruang bawah tanahnya. Hanya saja anda perlu bantuan penduduk setempat untuk menemukannya karena benteng-benteng tersebut letaknya di dalam hutan yang cukup lebat.



Onrust masa kini.

Setelah melewati masa sebanyak tiga ratus tahun lebih, Onrust kini lebih dari sekedar pulau kapal. Onrust kini memang tak sesibuk dulu, namun peranan pulau ini sebagai taman arkeologi membuat Onrust tak bisa benar-benar ‘beristirahat’


Banyak juga pengunjung yang datang ke pulau ini untuk mempelajari sejarah. Pulau yang kini hanya didiami oleh tiga anggota kepala keluarga ini masih menyisakan keanggunannya di masa lalu. Anda masih bisa menyaksikan bekas fondasi bangunan kincir angin, bekas bunker dan bahkan bekas bangunan toilet yang kini nampak gelap dan porak-poranda.





Onrust hingga kini memang tak pernah tenang. Kini setelah ia ‘tak pernah istirahat’ dari perbaikan kapal-kapal Belanda, sebagai tempat berkumpulnya rombongan jemaah haji dan para orang sakit, Onrust sekarang juga tak ‘istirahat’ dari kunjungan wisatawan yang ingin belajar sejarah tentang kekuatan armada laut Belanda di Laut Jawa dulu atau yang hanya sekedar ingin berfoto-foto. Onrust memang tak pernah benar-benar 'beristirahat'.

Sunday, November 23, 2008

Festival Kota Tua

JAKARTA tak pernah sepi dari hiburan. Dengan potensinya sebagai populasi yang heterogen, kebudayaan asli Jakarta atau Betawi tak pernah padam. Acara Festival Kota tua yang digelar pada 22 November 2008 adalah salah satu rangkaian acara festival budaya Jakarta yang akhir-akhir ini giat unjuk gigi.

Friday, November 21, 2008

Banten Lama: The Lost Kingdom

Materi ini dimuat di Tabloid Aplaus The Life Style edisi 87
Banten tak harus selalu debus, tak harus selalu pendekar, tak harus selalu kuda lumping dan kekuatan bela diri yang berbau magis. Banten, terutama di masa lalu adalah salah satu sejarah terbesar di Nusantara.

Perjalanan Tim Mata Angin kali ini yang minus Indrie ternyata tak mengurangi serunya perjalanan. Beberapa rekan ikut juga bergabung menjadikan ini perjalanan dengan peserta terbanyak, yaitu 8 orang. Biasanya kami cuma jalan maksimal 4 orang dan lebih sering bertiga.

Banyaknya rujukan untuk menginap di Serang dari beberapa member milis IBP ternyata tak mempengaruhi ‘bengal’nya anak-anak Mata Angin. Kami memutuskan untuk menginap di Banten Lama, entah ada penginapan atau tidak.

Mesjid Agung yang ‘tak agung’.
Situs sejarah yang paling ramai dikunjungi peziarah ini sebetulnya adalah objek wisata yang sangat menjanjikan. Sayang sekali mungkin karena kurang pedulinya pengurus mesjid dan masyarakat setempat, lokasi yang seharusnya menyenangkan ini menjadi begitu mengesalkan.

Berbagai ‘pungli’ yang berkedok ‘sadaqoh’ terus menerus menghadang pengunjung yang memasuki areal mesjid. Belum lagi suasana kotor tak teratur dan banyaknya pengemis yang meminta uang dengan paksa. Jangan pula terkecoh dengan pembagian wewangian di pintu masuk. Beberapa langkah dari situ, segerombolan orang dengan kasar langsung menagih Rp 5.000 untuk wewangian tersebut. Jika kita kembalikan, mereka akan menolak dengan kasar dan terus menagih (dengan kasar juga tentunya).

Hanya ada tiga buah kata untuk menggambarkan keadaan ini… Sayang… sayang… dan sayang… Benar-benar disayangkan Mesjid Agung yang seharusnya menjadi salah satu bukti kebesaran Islam di masa lalu itu harus kehilangan keagungannya hanya karena ‘ketidak pedulian’.

Satu-satunya objek yang sedikit bebas dari ‘gangguan’ tersebut adalah menara mesjid setinggi 23 meter yang terletak di halaman depan mesjid. Dengan ruang tangga yang demikian sempit, menjadikan tantangan tersendiri untuk bisa sampai ke atas.


Vihara Avalokitesvara
Bagi anda para backpacker yang ingin mengeksplor Banten Lama, ada baiknya anda untuk bermalam langsung di Banten Lama. Tidak perlu repot-repot cari penginapan. Vihara Avalokitesvara yang dibangun pada tahun 1652 ini menyediakan tempat penginapan bagi para peziarah dan musafir.

Suasana tenang dan damai akan sangat terasa begitu anda memasuki bagian dalamnya. Deretan wisma penginapan yang terletak di bagian belakang menandakan bahwa tempat ini memang sering dijadikan persinggahan bagi para pelancong dan peziarah.

Ruangan bersih dan nyaman tersedia disini. Harga kamar pun tidak dipatok dengan rate tertentu. Anda bisa membayarnya secara suka rela. Maklumlah ini penginapan para peziarah.

Kami pun tak melewatkan kesempatan unik ini untuk mengenal lebih dalam kehidupan di wihara ini. Semalaman saya bersama rekan saya Arum dan Alel menyempatkan diri untuk memotret berbagai objek disini. Unik sekali!

Ini bukti bahwa Banten dulunya adalah sebuah kerajaan dengan toleransi yang sangat tinggi. Beraneka ragam keyakinan hidup berdampingan dengan damai disini.


Tak terurus.
Terdapat dua buah reruntuhan yang terletak di lokasi sekitar mesjid agung. Yang pertama adalah bekas istana Keraton Surosowan yang terletak persis di seberang mesjid dan sebuah bekas benteng di seberang wihara. Yang kedua adalah bekas benteng Spelwijk yang terletak persis di seberang wihara.

Keraton Surosowan nampak tak terurus. Bangunan yang diluluhlantakan oleh Daendels pada tahun 1808 itu kini hanya terlihat seperti bekas fondasi yang tak berarti. Satu-satunya fasilitas yang masih terlihat lumayan utuk adalah sebuah kolam yang airnya berwarna hijau mirip jus alpukat. Beberapa sampah nampak bertebaran di kolam.

Tak ada keterangan apapun di situs ini. Tak ada retribusi dan petugas dari pelestarian cagar budaya. Semuanya hanya berupa sisa-sisa fondasi tak berarti. Kami sempat miris melihat keadaan seperti ini.

Sekali lagi kita telah menunjukkan ketidak pedulian pada situs sejarah yang sebenarnya menakjubkan ini. Bayangkan jika areal ini diurus secara professional, hmmm… bukan tak mungkin situs ini akan lebih terkenal dari kota tua Batavia (yang sebenarnya juga tak begitu terurus).

Situs Spelwijk justru terlihat lebih terawat dan teratur meski tak ada institusi berwenang yang langsung hadir disini. Bingung juga untuk mendapatkan nara sumber kompeten secara langsung disini.

Bentuk benteng yang luas lengkap dengan menaranya mengingatkan saya akan film “Braveheart”. Ahh.. this is not Ireland… This is Lovely Banten!


Beware of ‘sopir angkot’
Ini pengalaman kami terhadap para sopir angkot di kota Serang. Sungguh tak menyenangkan.

Ketika kami memutuskan untuk men-carter angkot ke Banten Lama dari terminal Pakupatan, sang sopir keberatan dengan alasan jaraknya sangat jauh di luar kota. Sang sopir lalu mematok harga Rp 100.000 untuk membawa kami yang berjumlah 8 orang. Kami keberatan sambil terus menawar harga. Kesepakatan terjadi pada harga Rp 60.000 dan itupun melalui proses alot. Sebuah harga yang sangat terlalu tinggi untuk jarak yang ternyata lebih dekat dari RS. Fatmawati – Blok M.

Ketika harus membayar pungli di sebuah persimpangan, sopir angkot memaksa kami untuk membayar dengan uang kami. “Ayo 3000 cepetan!” kata sang sopir dengan kasar. Kami bersikeras tak mengeluarkan uang namun sang sopir terus memaksa. Hmmm… jauh, jauh, jauh…bahkan sangat jauh lebih buruk dari sopir di Jakarta.

Sopir angkot ternyata tak bisa melihat rombongan pelancong yang berjalan kaki. Seringkali mereka memaksa kami untuk men-carter angkotnya. Meski kami menolak, mereka justru turun dari angkot, menghampiri kami dan terus memaksa kami men-carter angkot mereka.


Sayang seribu sayang.
Yang paling berkesan bagi saya adalah ketika kami menginap di Vihara Avalokitesvara. Ternyata kehidupan Bhinneka Tunggal Ika sudah ada dari dulu. Terbukti beberapa petugas di klenteng ini ternyata muslim.

Di klenteng ini, kehidupan harmonis begitu terasa. Banyak yang bisa dipelajari disini. Sayang sekali kami hanya menginap semalam.

Keindahan Banten yang menyimpan sejarah begitu dahsyat kini hanya meninggalkan seonggok puing tak terurus. Ketidak pedulian memang sudah menjadi tabiat dari masyarakat dan birokrat.

Sayang sekali… amat disayangkan… sebuah tempat yang dulu pernah terkenal di dunia, di Eropa bahkan lebih besar dari kehebatan Malaka, kini hanya sebuah daerah kecil yang hanya terkenal karena debus dan menara mesjidnya.

Sayang seribu sayang….
Powered By Blogger