Sunday, March 30, 2008

AKU


Created By: Silvia Liviana

Ini adalah pagi yang berbeda
Pagi yang indah dengan langit yang biru

Pagi ini aku merasa...
Embun pagi menyelimuti tubuhku
Suara burung mengiringi lamunanku

Ku nikmati setiap detik pagi ini
Pagi yang indah dengan suasana yang berbeda
Suasana yang akan selalu aku rindukan
Mungkin sampai akhir hayatku
Suasana dimana hanya ada aku sebagai aku
... dan Tuhan dengan semua Maha Karya-Nya


Siang ini...
Aku termenung...
Berselimutkan sinar mentari...
Beralaskan permadani hijau
Diiringi semilir angin menghembus wajahku


Ku nikmati setiap tarikan nafas ini
Membawa aroma rumput ke dalam rongga dadaku

Dalam heningku sendiri...
Hanya ada aku, Tuhan dan semua Maha Karya-Nya
Kunikmati setiap detik yang kurasakan

Dan...
Semakin banyak yang kulihat dan kurasakan
Semakin ku menyadari...
Kuasa Tuhan dihadapanku
Dan alam mengajariku untuk selalu bersyukur

Thursday, March 27, 2008

Larantuka (part.2)

Melakukan perjalanan seorang diri adalah kemerdekaan bagiku. Aku tidak melakukan itu semua untuk tujuan wisata. Aku melakukannya karena mencintai petualangan dan kehidupan. Sahabat, jika kalian memiliki jabatan tinggi tapi tak bertualang, tak adalah artinya kehiduipan kalian.

Matahari mulai tinggi dan panasnya mulai menyengat. Namun pemandangan indah yang terhampar didepanku tak membuat aku kepanasan. Sebuah jalan raya memotong jalur perjalananku. Tidak ada orang yang lewat dan tidak ada orang yang berlalu-lalang. Aku mencari-cari penduduk untuk menanyakan arah Larantuka. Huja kembali mulai turun agak deras. Aku mencoba mencari tempat untuk berteduh dan kutemukan sebuah pohon pisang. Beberapa daunnya sudah lepas jatuh ke tanah. Aku mengambilnya untuk kujadikan payung. Cukup lama hujan turun dan aku masih terus berteduh.



Tak lama, lewatlah seorang bapak. Dari penampilannya aku tahu bahwa ia baru saja mencari kayu ditengah hutan. Sayang! Hujan ini membasahi kayu-kayunya.
“Siang pak,” sapaku. Bapak itu tersenyum.
“Siang!” katanya.
“Larantuka ke arah mana pak?” tanyaku.



Bapak itu menunjuk ke arah jalan yang menurun. Aku mengucapkan terima kasih dan kembali melanjutkan perjalanan. Aku merasa lega karena jalan terus menurun. Namun tak berapa lama, jalan kembali menanjak. Begitu terus menerus seperti tanpa akhir.

Aku berhenti sejenak di sebuah desa yang penduduknya tak begitu banyak. Dapat kukatakan bahwa lebih banyak kambing dan babi yang berkeliaran dibanding penduduk yang berlalu-lalang.

Larantuka (part.1)


Pukul 06.00 pagi ketika aku buka jendela, kabut masih enggan beranjak dari padang rumput yang membentang di hadapanku. Gunung Egon masih malu-malu menampakkan dirinya karena tertutup kabut. Hujan memang tidak turun malam tadi namun cuaca dingin masih menusuk tulang.

Pagi ini aku masih harus melanjutkan perjalanan ke arah timur. Aku tahu ini perjalanan panjang. Tapi inilah impianku! Aku ingin melintasi daerah-daerah ini seorang diri. Aku ingin menempuh semua ini demi kecintaanku pada petualangan dan kehidupan. Aku ingin bebas dari penjara yang menamakan dirinya “karir.” Karir telah membelenggu semua impian dan jiwaku. Aku bagai keledai bodoh yang ditarik-tarik tuan tanah.
Perjalanan pertama kulalui dengan membelah pegunungan-pegunungan hijau dan hutan-hutan cemara. Beberapa ekor babi hutan nampak berkeliaran disekitar jalurku. Mereka terkadang menatapku tajam dan kemudian kembali tak peduli. Hanya beberapa ekor rusa yang setia memandangiku agak lama.

“Apa yang dilakukan hewan aneh berpunuk ini?” begitu mungkin pikirnya.

Aku terus membelah hutan dan pegunungan. Sebuah sungai yang cantik, jernih dan meliuk-liuk mendampingiku mengalir disebelah kiri. Langit cukup bersih, biru dan segumpal awan putih bergerombol di utara. Matahari mulai terik menyengatku namun aku semakin nyaman karenanya. Sebuah pedesaan menyambutku dalam sebuah kesempatan. Seorang pria tua berpakaian sangat sederhana dan memakai sarung tersenyum padaku.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Larantuka,” jawabku.

Si bapak tersenyum sambil mengangguk-angguk. Aku permisi untuk melanjutkan perjalanan. Entah apa nama desa ini tapi masyarakatnya baik sekali. Seorang ibu menawarkan rumahnya padaku untuk bermalam. Tentu saja aku setuju. Aku tak biasa menginap di tempat yang mewah. Rumah penduduk lokal akan lebih nyaman buatku.

Rumah si ibu ini begitu sederhana. Dindingnya terbuat dari rotan dan lantainya dari kayu. Malam itu Pak Stefanus, suami si ibu menawariku jajanan sederhana sambil menemaninya untuk obrolan malam. Kedua anak mereka, Emanuel dan Catherine sambil malu-malu mendekatiku. Akupun tersenyum dan memberi sebungkus permen pada mereka. Malam itu aku tidur dengan kembali ditemani cuaca dingin. Suara kodok dan jangkrik menjadi musik pengiring tidurku.

Pagi hari berikutnya, hujan kembali turun. Meski tidak deras, aku cukup kuatir untuk melakukan perjalanan. Setelah menyantap sarapan seadanya, aku kembali memutuskan untuk melanjutkan perjalanan di tengah hujan rintik-rintik. Dalam waktu yang tidak lama aku kembali memasuki hutan-hutan, jurang dan pegunungan. Suara kicauan burung dan serangga menemaniku. Sahabat, jika kalian melakukan perjalanan dengan caraku, maka kalian akan bersyukur dengan hidup kalian dan mengetahui bahwa memang Tuhan itu Maha Besar.


Sebuah padang rumput menghampar dihadapanku. Hutan-hutan kecil menjadi perbatasan dihiasi dengan pegunungan dibelakangnya. Indah sekali! Aku teringat kisah-kisah para petualang sejati. Sir Edmund, Heinrich Harrer, Scott & Amundsen dan Norman Edwin. Kisah-kisah merekalah yang menginspirasiku untuk mencintai petualangan. Ketika aku sedang jatuh, kisah-kisah merekalah yang membangkitkan semangatku.

Sunday, March 23, 2008

DISINI


Disini, kamu bisa melihat awan berjalan begitu cepat dan dekat. Tidak lambat dan kaku seperti di kota besar yang congkak.

Disini, tidak ada hiruk pikuk dan cacian para majikan angkuh. Hanya ada suara jangkrik, nyanyian burung dan deru sungai yang setia menemani bersama waktu.

Disini, kamu bisa mencintai kehidupan dengan lebih baik dan mensyukurinya.

Disini, disuatu tempat dimana kamu bisa bersahabat dengan alam.

Halimun, Sukabumi

Sebagai korban “Kisruh Adam Air”, saya sangat kecewa tak jadi menghadiri pernikahan adik ipar di Denpasar, Bali. Tapi beruntung saya diajak oleh Silvia, rekan “Mata Angin” untuk naik gunung. Jujur saja, saya agak segan mengiyakannya. Bukan kenapa-kenapa, saya agak minder dengan jam terbangnya yang lebih mapan dari saya. Namun saya juga tidak mau mengecewakan Silvia. Nampaknya Silvia ini jika mendengar kata “gunung”, matanya langsung melotot dan berkata, “Mau naik?...Gunung mana?.. Yuk!”

Setelah Alel (angin utara) juga setuju ikut, barulah kami sepakat akan pergi dengan tujuan Gn. Halimun, Sukabumi. Sayangnya Indrie (angin timur) tak dapat ikut karena punya acara liburan sendiri.

Perjalanan tidak terlalu melelahkan karena waktu yang ditempuh juga relatif singkat. Samapi di lokasi, dewi fortuna tak memihak pada kami. Hujan deras mengguyur dengan tiba-tiba saat kami membangun tenda. Pertanda buruk bahwa kami akan kesulitan membuat api karena tidak ada kayu kering. Kamipun tak membawa minyak tanah untuk membantu menyalakan api. Parahnya lagi, kami tak membawa kompor.

Namanya juga pendakian spontan, jadi semuanya juga serba spontan. Jadilah malam itu kami melewatkan malam dengan tanpa api sedikitpun. Makanan yang bisa kami makan hanyalah beberapa potong biscuit dan roti. Mie dan bubur instant serta minuman hangat tak jadi kami konsumsi karena tak bisa membuat api.

Paginya sungguh beruntung karena matahari bersinar terik. Kami menjemur semua barang-barang kami yang basah karena hujan kemarin. Setelah itu kami membongkar tenda dan memutuskan untuk menjelajah area perbukitan.

Seru juga! Sambil menikmati pemandangan indah kota Sukabumi dari atas bukit disekitar kebun teh. Kami melupakan semua rutinitas yang menjemukan di Jakarta. Mata angin kembali berkumpul diatas perbukitan Halimun. Namun kali ini tanpa angin timur, Indrie.

Perjalanan pulang ternyata lebih melelahkan daripada berangkat. Jalanan yang rusak sepanjang jalur Sukabumi – Ciawi menyebabkan kami terjebak kemacetan berkepanjangan. Namun di luar itu semua, saya senang bisa mendapat rekan-rekan baru yang unik-unik ini. Alel bagi saya adalah mentor pendakian, karena dia yang paling berpengalaman diantara kami. Silvia, saya lebih senang menyebutnya sebagai bahan bakar. Bayangkan jika angin barat ini tidak ikut, betapa sepinya dunia ini! Yang unik adalah kebiasaan Silvia untuk tak lepas dari HP-nya. Sepanjang jalan, dia lebih sering lihat HP daripada pemandangan.

Jauh diluar itu, Tuhan memang Maha Tahu. Gagal ke Bali karena kasus Adam Air, bukanlah sebuah bencana. Tuhan memberikan saya kesempatan untuk mendapatkan teman-teman yang luar biasa ini dan melakukan perjalanan bersama mereka. Kelaparan melewati malam, kedinginan dan kehujanan adalah pengalaman bagi kami. Karena dengan kondisi seperti itulah kami jadi lebih saling mengenal.

Mata Angin


Saya percaya bahwa didunia ini tidak ada yang disebut kebetulan. Semua sudah terpusat, teratur dan terstruktur atas izin Sang Maha Pengatur.

Awalnya saya tidak menganggap serius ketika sebuah ajakan untuk berkeliling museum di Jakarta tiba-tiba muncul di e-mail saya. Keinginan itu sebetulnya sudah lama saya pendam. Kontan saja saya langsung setuju dengan ajakan tersebut.

Hampir tiga bulan ternyata rencana itu harus tertunda karena cuaca buruk yang tak kunjung henti menerpa Jakarta. Hingga akhirnya tiba harinya pada Minggu, tanggal 16 Maret 2008. Kami berkumpul di depan museum Fatahillah, Jakarta Pusat. Dari sekitar tujuh orang yang bersedia ikut perjalanan ini, ternyata hanya tiga yang berkumpul saat itu. Saya, Silvia dan Indrie.

Rencana tetap berjalan seperti semula meski kami tak saling kenal sebelumnya. Tidak sulit tentunya bagi anggota komunitas backpacker untuk mengenali sesama anggotanya.

Siang harinya, kami kedatangan satu rekan lagi, Alel. Awalnya saya mengira Alel adalah seorang pria. Namun ternyata saya salah. Alel adalah seorang wanita sama seperti dua rekan saya, Silvia dan Indrie.


Silvia.
Sebelum bertemu dengannya, saya mengira Silvia adalah gadis mungil, mahasiswi dan masih hijau dalam petualangan. “Anak mami!” pikir saya. Namun setelah bertemu, justru saya yang jadi minder, terutama karena jam terbang naik gunungnya lebih baik dari saya. Justru sekarang saya yang merasa jadi “anak mami”.

Alel.
Meskipun agak pendiam dan tertutup, Alel adalah rekan berpetualang yang mengasyikan. Jam terbangnya justru jauh lebih tinggi dalam hal mendaki gunung. Lebih seru lagi karena ternyata Alel senang dengan pantai dan laut. Sama dengan saya.

Indrie.
Bagi saya, Indrie awalnya kelihatan lebih cocok berkeliaran di mall daripada menjelajah wilayah antar propinsi. Tapi jangan remehkan pengalamannya! Meskipun saya bertemu dalam waktu singkat, namun aura backpacker-nya langsung kelihatan. You will know if you are a backpacker too.

Saya sendiri tak tahu apa pendapat teman-teman saya ini ketika pertama kali melihat saya. Mungkin bagi mereka, saya lebih cocok duduk di toko material, mengelola kedai voucher HP, atau kerja di Glodok berjualan alat elektronik daripada bergabung di komunitas backpacker.

Empat Penjuru Angin.
Uniknya, saya baru menyadari beberapa hari kemudian bahwa kami ini mirip penjuru mata angin. Bagaimana tidak? Domisili kami mewakili masing-masing wilayah Jakarta (Barat, Timur, Utara dan Selatan) dan kami mengakhiri perjalanan di Jakarta Pusat. Jadi kami ini mirip angin yang datang dari empat penjuru, menjelajah satu wilayah dan berhenti di pusatnya.

Mungkin kami lebih pantas disebut sebagai “Tim Mata Angin”.

Jelajah Museum-Jakarta

“Museum?... nggak ada tempat lain?” Itulah yang dikatakan sebagian besar orang Jakarta ketika mendengar kata “museum.” Sebenarnya museum tidaklah se-bosan yang diperkirakan orang. Museum adalah salah satu ruang ilmu yang dapat dengan mudah kita dapatkan dan dengan cara yang menyenangkan juga.

Tanggal 16 Maret 2008, saya dan beberapa rekan (Silvia, Alel & Indrie) dari Indobackpacker melakukan “Jelajah Museum-Jakarta.” Tujuan kami hanyalah berjalan-jalan dan melihat budaya-budaya kita yang nyaris terlupakan.

Museum Fatahillah.
Ini adalah meeting point kami. Museum yang dulunya adalah balai kota Batavia ini sekarang menjadi tempat untuk rekreasi, refreshing sekaligus belajar. Banyak rombongan dari sekolahan yang berkunjung ke sini. Di Minggu pagi, jika beruntung, anda akan bertemu dengan rombongan klub sepeda ontel. Menarik sekali! Didalam museum, beberapa barang antik peninggalan VOC, senjata dan lukisan masih gagah memamerkan bekas-bekas kekuasaan mereka. Penjara bawah tanah adalah hal yang menarik. Selain spooky, anda akan tertantang untuk “uji nyali” masuk ke dalamnya.

Museum Wayang
Terletak tepat disamping Fatahillah, museum ini jauh lebih sepi dari tetangganya. Kami menjadi pengunjung satu-satunya pagi itu. Padahal banyak hal-hal menarik yang terdapat di museum ini. Mulai dari jenis-jenis wayang yang unik hingga koleksi boneka-boneka dari luar negeri pemberian berbagai kepala negara di dunia. Tak ketingalan, koleksi boneka dari serial Si Unyil.

Museum Bahari.
Ini adalah bukti ketidakpedulian kita. Sebagai negara bahari, justru museum bahari bagi saya adalah museum yang paling tak terawatt dari dua museum sebelumnya. Selain gedung yang rusak, barang-barang koleksinya pun banyak yang tak terurus. Sebetulnya banyak hal menarik disini, mulai dari jenis-jenis kapal trdisional hingga koleksi replika kapal VOC. Namun sayang, karena perawatan yang kurang, perahu-perahu ini jadi lebih mirip bangkai kapal yang tak terpakai lagi. Lebih cocok buat dijadikan tempat “uji nyali.”

Museum Nasional (Gd. Gajah).
Hanya inilah museum yang paling rekomended buat saya. Selain lengkap dan memadahi, museum ini juga nyaman dan paling murah. Banyak juga keluarga-keluarga yang berkunjung kesini. Mungkin butuh waktu seharian sendiri untuk berkunjung kesini.

Monumen Nasional (Monas)
Siapa orang Jakarta yang tak tahu Monas? Mungkin sebaiknya jangan mengaku tinggal di Jakarta jika belum pernah ke Monas. Selain berupa tugu, Monas juga adalah sebuah museum. Memang tidak menyimpan barang-barang antik seperti museum lainnya, namun di bagian bawah tersaji berbgai diorama yang menggambarkan perjuangan negara kita di era penjajahan hingga revolusi dan pembangunan. Kental dengan nuansa orde baru! Namun ini juga sarana pembelajaran yang cukup baik buat anak-anak.

Sunset Jakarta
Kami menghabiskan waktu di cawan Monas sambil mengambil foto dan ngobrol. Ternyata cukup nyaman juga bersantai dan menghabiskan waktu sambil menyaksikan sunset di tempat ini. Dengan kondisi cuaca yang bagus, anda akan dapat melihat pemandangan sunset yang cukup mengagumkan di tengah belantara beton Jakarta.
Powered By Blogger