Saturday, January 26, 2008

I Hate Uniform



Pagi yang sama saat kubuka mataku
Semuanya tampak sama saja
Selesai sholat, aku sarapan, memakai pakaian yang sama warnanya
Itu saja dari hari ke hari

Kalian tahu sahabat?

Uang ternyata bukan segalanya
Kedudukan telah menipu kornea mataku
Dasi yang melilit hanya membuatku nampak semakin bodoh
Dan warna seragamku?
Jika saja kalian tahu…
Tak jauh berbeda dari warna kotoran ternak

Kalian tahu sahabat?

Aku benci terkungkung di balik jeruji
Aku jijik dengan omongan yang berbunyi “tantangan karir”
Aku jijik dengan mereka yang tersenyum dengan congkak
Membanggakan nama mereka yang tertera di dada.

Aku ingin menjelajah Khatulistiwa
Aku ingin melintasi batas Zenith
Aku ingin mempelajari rasi bintang
Pegasus, Andromeda, Scorpius, Casiopeia, Orion, Camelopardalis, Auriga

Aku ingin menyusuri padang tak berujung
Aku ingin terhempas ombak Pasifik dan Atlantik
Aku ingin merangkul mereka yang terpencil
Aku ingin menjelajah Dunia

Kalian tahu sahabat?

Enam tahun di SD
Tiga tahun di SMP
Tiga tahun di SMA
Semuanya mengenakan seragam
Semuanya membuatku terbelenggu
Aku mirip keledai dungu berjejer menunggu barang untuk kuangkut

Cukup! Cukup sudah dua belas tahun!
Tak lagi aku sudi disamakan seperti anak-anak keledai dungu

Friday, January 25, 2008

My Sweety

My Sweety

Jangan biarkan mendung menggantung.
Jangan biarkan awan gelap terus mengucurkan air hujan.
Jiwamu akan hanyut dalam kegelapan.
Gulita akan merenggutmu dari mimpi-mimpimu.

My Sweety

Coba lihat itu...
Bukit-bukit terjal yang mengepung batas luar sabana.
Permadani hijau yang menghampar.
Menanti kedatanganmu yang dahaga akan hidupnya.
Coba lihat itu…
Gelombang Samudera yang akan membawamu ke pulau terpencil.
Dimana kamu akan merajut jala.
Dimana kamu akan menyalami awan dan langit biru.
Dimana kamu akan memeluk rembulan.

My Sweety

Bangunlah dari tidur hampamu.
Aku akan membasuh wajahmu.
Agar kau lihat matahari yang menyapamu.
Aku akan membasuh kakimu.
Agar kau menyentuh bumi dengan suci.
Aku akan membasuh lenganmu.
Agar bisa kau sapa bunga terindah dibukit.

Sunday, January 20, 2008

Tales from Topographic Oceans (part2)

Album ini merupakan puncak atau klimaks dari daya kreasi Yes yang sangat fenomenal. Terciptanya lbum ini diawali dari perjalanan mereka ke Tokyo. Di hotel tempat mereka menginap, Jon Anderson membaca sebuah buku yang berjudul “Autobiography of a Yogi.” Karangan Paramhansa Yogananda. Buku ini sarat dengan falsafah agama Hindu. Entah kenapa, Jon sangat tertarik untuk mengangkat isi buku itu ke dalam sebuah karya musik. Sepulang dari tur mereka tahun 1973, mereka langsung mengerjakan album ini.

Secara ringkas, album ini mengangkat empat bagian penting dalam buku itu yang dikenal sebagai four schastic scripture yang meliputi elemen-elemen penting dalam kehidupan manusia, alam dan agama. Dalam album ini juga terdapat empat mahakarya yang terbagi dalam dua disc, yaitu The Revealing Science of God, The Remembering, The Ancient dan The Ritual.

The Revealing Science of God (Dance of the Dawn).
Bagian pertama karya ini disebut sebagai 1st movement: Shrutis. Dalam bagian ini dibuka dengan suara efek yang mengingatkan kita pada penciptaan alam semesta. Karena memang bagian ini menceritakan tentang penciptaan dan kemampuan Tuhan dalam meciptakan alam semesta. Hal inilah yang menjadi cerminan dari hakekat kemanusiaan. Manusia selalu mencari dan mencipta karena memang the science of God is search, constant and clear.

Setelah di bagian opening diisi oleh suara-suara efek dari Rick Wakeman, Jon Anderson melanjutkan dengan gaya vokal datar mirip lantunan ritual agama Hindu. Selanjutnya seperti biasa, corak rock ala Yes bercampur membahana disepanjang lagu ini. Pada lagu ini juga kita diberi kesempatan untuk mendengarkan improvisasi dari Wakeman, meskipun singkat. Bagian akhir kembali ditutup dengan lantunan ritual Hindu gaya Jon Anderson. Keseluruhan lagu memakan waktu hampir 20 menit.

The Remembering (High the memory)
Bagian ini disebut dengan 2nd movement: Suritis. Karya ini secara keseluruhan relatif datar dan diisi dengan beat lagu yang pelan. Maksud dari bagian lagu ini adalah bagaimana kita dapat melihat, menghargai dan menginterospeksi diri dengan adanya masa lalu kita. Allan White tidak terlalu menonjolkan permainannya pada bagian ini. Memang tema lagu ini adalah refleksi pada masa lalu yang identik dengan nada yang pelan.

Friday, January 18, 2008

Tales from Topographic Oceans (part1).

Dalam sejarah musik rock, era 70an adalah merupakan awal dari “banjir kreasi” musik-musik progressive rock. Setelah diawalai dengan era Psychedelic di pertengahan 60an, muncullah progressive rock (art rock, classic progressive, dll). Banyak pertentangan yang ditimbulkan oleh jenis musik ini. Sebagian menganggap progressive adalah pengkhianatan terhadap semangat musik rock ‘n roll. Disisi lain, eksplorasi musik ini dianggap sebagai kemajuan dalam dunia musik saat itu.

Uniknya, sampai dengan saat ini belum ada satu definisi pun yang dapat mengungkapkan apa sebenarnya musik progressive itu. Para musisi dan penggemar musik ini hanya berpijak pada pengertian basic word-nya saja. Dimana progressive diambil dari kata dasar progress dan diartikan sebagai perubahan atau perkembangan. Dalam konteks ini perubahan yang dilakukan adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Kita bisa melihat dari arah eksplorasi para musisi jenis musik ini yang cenderung ingin membuat musik rock menjadi lebih dari sekedar musik biasa baik itu ke arah folk atau modern. Atau malah membuat citra musik rock menjadi jauh dari kotornya drugs. Contohnya adalah Dream Theatre yang agak rumit dan serius musiknya sehingga susah dinikmati dengan semangat commercial enjoyment. Apalagi dengan menggunakan drugs.

Sentuhan spiritual di era 70an.
Pencarian masyarakat barat akan jati dirinya dan kehausan spiritual di era flower generation menjadikan grup-grup besar seperti Pink Floyd, Yes, Genesis, ELP mempunyai kesempatan besar untuk bereksperimen di pasar musik barat. Pink Floyd dengan Dark Side of The Moon yang sarat dengan nuansa depresi jiwa itu sangat cepat menguasai tangga album di AS dan Inggris selama setahun lebih. Genesis dengan era Peter Gabriel-nya mencoba membawakan musik rock dipadu dengan dialog ala teater. Hasilnya? Suatu Masterpiece! King Crimson yang begitu indah memadukan gaya rock, jazz dan klasik dan ditambah kekuatan lirik mengharuskan karya-karya grup ini dinikmati dengan jiwa seni yang tinggi.

Grup lainnya adalah Yes, yang sarat dengan puisi-puisi spiritual. Tidak heran jika grup yang dimotori Jon Anderson ini membawakan musik bak membawakan puisi dengan latar musik. Bukan hanya musiknya, tapi sampai cover albumnya pun dikerjakan secara khusus oleh seniman Roger Dean yang konon disebut sebagai personel Yes yang ke enam. Nuansa musik yang membuat kita menerawang ke dalam dunia kebatinan ditambah gaya lirik Jon Anderson yang sarat dengan gaya puisi dan bercerita tentang alam membuat para fans grup ini terutama fans di era 70an sampai saat ini masih sangat setia menyaksikan konser-konsernya meskipun personelnya sudah termakan usia.

Jon Anderson memang dikenal sebagai seorang vokalis unik yang mempunyai karakter vokal lembut. Sangat bertentangan memang dengan jiwa rock ‘n roll yang cenderung kasar dan maskulin. Bahkan sampai saat ini, Yes tidak pernah sedikitpun dikabarkan akrab dengan obat-obatan dan narkotika. Sebagian dari personel mereka pun memilih hidup sebagai vegetarian. Bahkan Rick Wakeman, pemain keyboard Yes, dikabarkan pernah menjadi guru sekolah minggu di Inggris. Gaya permainannya pun sangat bergaya Gothic dan cenderung menyebarkan nuansa katedral.

Yes dengan kekuatan eksplorasi lirik dan musik mencoba menembus era ini dengan karya-karya yang sangat explosive. Sebutlah “Gates of Delirium” di album Relayer atau “Close to the Edge” di album Close to the Edge. Penciptaan lagu yang didasar dari buku-buku literature dan sastra inilah yang membuat mereka begitu unik. “Gates of Delirium” diangkat dari kisah novel laris War & Peace karya Leo Tolstoy, sastrawan Russia yang terkenal. Sedangkan “Close to the Edge” didasari dari beberapa jaran agama Hindu.

Friday, January 11, 2008

E L I S Y A

Elisya, bukan nama orang. Elisya juga bukan nama butik pakaian mahal. Elisya adalah nama suatu tempat yang berasal dari kata “Ellysium” yang berarti “Surga.” Elisya tak akan ada di dalam peta manapun. Ia ada didalam diri kita sendiri. Di dalam jiwa-jiwa yang tak pernah diam. Elisya berada di dalam benak seseorang yang tak pernah berhenti bermimpi. Orang-orang yang terus menghidupkan jiwanya dengan cita-cita dan obsesi. Kamu tahu tempat ini seperti apa? Akan kuceritakan...

Udara cukup sejuk di daerah ini. Tidak perlu mengenakan jaket anorak. Cukup sweater atau kemeja flannel. Bukit-bukit hijau membentang berlapis-lapis ke segala arah. Di beberapa perbatasan antar bukit, terdapat hutan-hutan kecil. Pohon-pohon pinus yang berdiri tegar namun cantik. Rumput cukup tinggi dengan sebatas lutut. Diatas? Jangan kuatir! Karena payung biru besar membentang begitu luas hingga ke ujung horizon. Sementara matahari menjadi pemain tunggal dalam kubah biru yang maha luas.

Tidak jauh ke utara, sebuah sungai kecil mengalir lincah berliku disela-sela bukit. Airnya tidak deras namun gemericiknya terdengar hingga dibalik semak. Bunyinya menenangkan dan menjernihkan. Jika kamu berdiri dikaki bukit yang menghadap ke sungai, maka kamu akan mengerti kenapa Tuhan begitu Maha Besar. Kamu akan meneteskan air mata dan merasa kecil diantara galeri yang maha dahsyat ini.

Aku sering ke tempat ini di waktu tertentu. Disini seperti ada kekuatan yang menghentikan waktu. Disini, apa yang tidak mungkin terjadi akan terjadi begitu kamu memejamkan mata. Apa yang ingin kamu lihat akan berwujud nyata dalam seketika.

Pelan-pelan aku merasakan desiran yang sangat sejuk. Aku berjalan terus hingga menyeberangi tiga buah bukit. Tak ada habisnya keindahan ini. Sejauh aku melihat, hanya keajaiban yang ada di depan mataku.

Aku tidak ingin kembali. Aku ingin menenggelamkan diri dalam ketenangan luar biasa ini. Aku akan memejamkan mataku sejenak dan merasakan betapa aku begitu kecil ditengah karya agung ini.

Thursday, January 03, 2008

Kisah Wong Ndeso

Tepat jam 05.00 habis sholat subuh aku menimba air disumur belakang rumah untuk siap-siap mandi. Hari ini sangat istimewa. Aku akan jalan-jalan ke Jakarta, tempat tinggal pak Presiden dan pusat pemerintahan. Aku pingin lihat Monas, Taman Mini dan hotel-hotel tinggi. Kupakai baju terbaikku, kemeja panjang hitam bergaris-garis kelabu. Celana panjang istimewaku, celana abu-abu yang mengkilap, nggak kalah dengan mobil mewah di Jakarta. Kusisir rambutku ke belakang dan tak lupa minyak rambut merk “Jantan” yang baunya bisa bikin orang mengira aku ini sedang membakar dupa. Setelah rambutku licin kaku kebelakang, dengan tiga buah jari kutarik jambulnya kedepan. Dan... Olala.. mirip jengger ayam!

Matahari mulai meninggi ketika bis “Sekar Ayu” yang kunaiki melintasi jalan-jalan tak berakhir menuju Jakarta. Semakin dekat Jakarta, semakin congkak lagak sang surya. Ia semakin memanas! Jengger ayam-ku mulai kuncup dan kemejaku pun basah kuyup. Tiba di Jakarta, terminalnya bernama Pulo Gadung. Sangat ramai dan tak tahu kenapa banyak sekali orang berjongkok di pinggir jalan. Entah kenapa begitu namun jika boleh kunasehati mereka, akan kukatakan, “tinggalah dipinggir sungai agar mudah kau buang airnya.”

Aku tak tahu hendak kemana dan aku agak segan bertanya karena orang-orang disini tampangnya seram mirip para rentenir di kampungku. Sebuah bis besar melintas dengan tulisan P.Gadung-Blok M. Kunaiki bis besar itu tapi entah apa salahku, keneknya tak berhenti bicara seperti orang marah. Logatnya seperti orang Sumatera. Tahu kan kalian? Logat orang yang tak pernah bahagia. Mungkin ia sudah jenuh kepanasan di bis besar ini. “Ble’em...ble’em...ble’em!” begitu teriaknya sepanjang jalan (maksudnya BlokM). Baru kutahu ternyata selain sering marah, orang ini juga cacat lidahnya.

Ditengah jalan yang besar dan dikelilingi hotel yang tinggi, aku takjub pada sebuah gedung yang besar. Didepannya ada sebuah tanda mirip rambu lalu-lintas. Aku tak tahu tanda apa itu. Bentuknya dua lengkungan besar berwarna kuning. Mirip huruf “M” dan dibawahnya ada tulisan “24h-o-u-r” entah palagi itu maknanya? Tapi bagiku tanda yang mirip “M” itu lebih mirip bentuk payu***a ibu-ibu baru melahirkan yang menghadap ke atas.

Tiba di terminal, aku naik bis lagi. Tak tahu apa nama bisnya. Bis oranye yang asapnya lebih tebal dari asap rumah dukun di kampungku ketika dibakar orang. Lalu dipinggir jalan kulihat sebuah spanduk yang bertuliskan “Jangan lupa! Coblos kumisnya!” dan di sebelah kanan tulisan terlihat gambar lelaki berkumis tebal, berpeci dan tersenyum. Entahlah bagiku senyumnya itu mirip senyum orang sakit gila di kampungku yang kemudian diusir warga. Aku bertambah heran karena ternyata spanduk orang sakit gila ini tersebar dimana-mana. Terkenal sekali si gila ini!

Tak lama kemudian aku menemukan lagi rambu payu***a itu. Rambu besar berwarna kuning yang aku tak paham maksudnya. Kali ini aku berhenti didepan rambu itu. Aku penasaran apa gerangan makna dari tanda payu***a kuning itu. Kulihat gedung dua tingkat dengan dindingnya hampir semua terbuat dari kaca. Hebat! Di lantai dua ramai sekali. Banyak anak-anak kecil memakai topi kerucut warna-warni dengan tulisan yang aku tak jelas. Yang jelas anak-anak ini bahagia sekali. Ditengah-tengah mereka ada seorang wanita yang nampaknya sedang mengajari anak-anak ini bermain. Wanita itu cantik juga dengan rambut sepundak dan tahi lalat yang manis. Ooh... baru kutahu sekarang... jelas sudah bagiku tanda payu***a kuning itu. Itu tanda “Sekolahan!” Ya.. aku yakin dan nama sekolahan ini adalah... tulisan didepan pintunya itu... M-c-D-o-n-a-l-d-s.. Sekolahan M-c-D-o-n-a-l-d-s!!! Ya.. ya.. ya.. ini pasti sekolahan!

Dan kemudian... lihat itu... pak kepala sekolahnya keluar! Dia laki-laki berdasi dengan baju putih agak coklat tipis dan celana hitam yang... mmm.. nampaknya sudah seminggu tak dicucinya. Wajah pak kepsek ini mengingatkanku pada... tunggu!... O iya... pada guru-guru di kampungku ketika awal bulan. Wajah-wajah gamang ketika mengantri jatah beras di depan kantor kelurahan. Ternyata guru di Jakarta nasibnya tak lebih baik dari guru di kampungku. Aku baru ingat, memang menteri mereka tak pernah peduli dengan kesejahteraan mereka. Congkak sekali! Kasihan guru-guru ini.

Dan... Oh.. ada badut didepan pintu? Wah sekolah ini luar biasa. Selain gurunya cantik dan jarang cuci celana, ada badutnya juga. Pantas anak-anak kecil itu begitu gembira meski menurutku badut itu lebih mirip tandak bedes di kampungku. Kalian tahu apa itu tandak bedes?... Topeng Monyet!

Jika aku punya duit banyak, aku juga ingin menyekolahkan anak-anaku di sekolah M-c-D-o-n-a-l-d-s ini. Sekolah yang simbolnya payu***a besar warna kuning. Akan kuberitahu si mbok agar mau berjualan kue lupis (bukan kue lapis ya) lebih banyak lagi agar punya uang lebih banyak dan bisa sekolahkan si Gendon di sekolah mewah ini. Sekolah yang gurunya jarang cuci celana.
Powered By Blogger