Sekitar 13 tahun yang lalu, pada saat saya masih duduk di bangku kuliah, seorang teman pernah menanyakan pada saya tentang sebuah buku yang berjudul “Celestine Prophecy”.
Saat itu saya sendiri tidak mengetahui apapun tentang buku itu. Namun seorang teman menyarankan saya untuk membacanya. Saya ingat teman saya berkata, “Coba deh lu baca. Bagus juga isinya tentang perjalanan spiritual.” Beberapa teman lagi mengatakan bahwa buku itu berkaitan erat dengan kitab Perjanjian Lama.
Tak lama, saya segera mencarinya di toko buku. Memang tidak susah, karena buku itu termasuk best seller di toko-toko buku pada saat itu. Berdasarkan banyak masukan dari teman, saya mengarapkan buku tersebut sarat dengan kata-kata dan ajaran bijak atau paling tidak bisa mengimbangi kekaguman saya pada buku “Syeh Siti Jenar” yang baru selesai saya baca waktu itu. Namun baru beberapa chapter saya membacanya, saya seperti kehilangan arah. Bagi saya buku itu hanyalah seperti novel action biasa. Saya beranggapan bahwa hampir tidak ada nuansa spiritual didalamnya dan terlalu mengada-ada. Saya langsung berhenti membaca tanpa ada niat untuk meneruskannya lagi.
Anehnya di kampus saya, saat itu buku “Celestine Prophecy” menjadi bahan diskusi yang seru. Terutama diantara teman-teman saya dari fakultas theology. Saya sendiri lebih tertarik untuk main billyard, main gamelan di sanggar karawitan kampus atau nonton sepak bola di kos-kosan seorang kawan. Lagipula saya sendiri bukan berasal dari fakultas theology, jadi saya pikir tidak perlu bagi saya untuk terlibat dalam diskusi tersebut.
Sampai pada beberapa waktu lalu ketika istri saya membeli sebuah film DVD dengan judul yang sama, “James Reinfield’s Celestine Prophecy”, baru saya tertarik untuk mengkaji kembali novel tersebut. Saya memang pernah berpikir jika The Da Vinci Code saja bisa dibikin filmnya, maka seharusnya Celestine Prophecy tidak kalah menariknya untuk diangkat ke film. Mimpi menjadi kenyataan, karena memang film tersebut kini dapat di beli di outlet-outlet DVD bajakan. Ketika menontonnya, baru saya dapat sedikit memahami ‘perjalanan spiritual’ yang dikatakan teman kuliah saya 13 tahun yang lalu. Memang film tersebut tidak se-detail novelnya, namun justru saya merasa lebih dituntun dengan mudah melalui filmnya untuk memahami novelnya.
Celestine Prophecy sendiri bercerita tentang sebuah manuskrip kuno yang ditemukan di pedalaman Peru. Sebuah manuskrip yang berisi wawasan-wawasan yang akan menuntun kehidupan manusia ke tingkat kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Namun, pemerintah Peru dengan dukungan lembaga gereja setempat berniat menghancurkan manuskrip tersebut karena dianggap mengganggu stabilitas institusi. Tetapi seorang pastor berhasil menyalin wawasan tersebut dan memberikannya kepada seorang peneliti asal Amerika. Dalam perjalanannya menyelamatkan wawasan-wawasan yang sudah ditemukan itu, ia mempelajari satu per satu wawasan tersebut.
Ada satu hal yang menarik perhatian saya ketika salah satu wawasan itu membahas mengenai energi. Dikatakan bahwa semua benda di alam ini memiliki energi positif dan negatif. Termasuk pada saat kita makan dan minum, makanan yang kita makan tersebut memiliki energi untuk tubuh kita. Itulah sebabnya jika kita makan maka tubuh kita menjadi kuat karena berenergi. Jika kita tidak makan, maka akan menjadi lemas karena kurang energi. Namun yang menjadi perhatian saya disini adalah bagaimana kita mengapresiasikan energi di sekitar kita. Saya yakin di semua agama pasti diajarkan untuk berdoa sebelum makan. Orang tua dan guru agama kita pasti mengajarkan hal ini sebagai sarana bersyukur atas makanan yang kita nikmati. Namun sebenarnya hal ini adalah hakekat dari apresiasi kita terhadap energi yang ada di makanan tersebut. Bukan sekedar bersyukur, namun kita berterima kasih kepada makanan tersebut karena telah memberi energi pada tubuh kita.
Substansi doa seperti ini adalah apresiasi energi positif untuk makanan yang kita makan. Maka Insya Allah makanan itu akan memberikan energi postif untuk tubuh kita. Jadi janganlah heran sekarang ini timbul begitu banyak penyakit yang baru dan aneh seperti flu burung, kencing tikus dan lain-lain. Memang semua itu bisa dijelaskan secara teknis seperti kandang burung yang kotor atau karena banjir yang melanda kota. Namun energi negatif yang kita terima dari alam dalam bentuk bencana sebenarnya adalah bias dari energi negatif yang kita lemparkan ke alam.
Kita seringkali membuang sampah sembarangan, meludah disembarang tempat, mengotori udara dengan asap knalpot, mencemari heningnya alam dengan suara bising motor kita, merusak tanaman, menyiksa binatang tanpa sebab, mengajari anak-anak kita untuk memusuhi jenis hewan tertentu (meskipun hewan itu juga ciptaan Allah), membenci kelompok manusia yang berbeda, memperkeruh udara dengan polusi asap rokok dan lain-lain. Kesalahan-kesalahan kecil hingga besar yang kita lakukan selama ini sangat tidak kita sadari namun justru kita anggap sebagai sesuatu yang benar bahkan beberapa diantaranya kita anggap menghasilkan ‘pahala’ (semacam reward di akhirat).
Manusia sebenarnya hidup dalam lingkup energi yang saling terkait. Ketika seorang sales asuransi mempresentasikan produknya, maka sebenarnya ia sedang berusaha merebut energi dari calon kliennya. Ketika seseorang mulai merasa frustasi dengan pekerjaan, maka energi positifnya cenderung berkurang dan energi negatifnya meningkat sehingga menimbulkan tindakan-tindakan yang negatif seperti menjatuhkan rekan kerjanya, korupsi, memperjual-belikan property kantor, mark-up harga, mencari perhatian atasan, dsb. Contoh lain adalah ketika sedang terjadi perebutan proyek oleh para calon kontraktor. Keuntungan proyek tersebut memiliki energi yang paling kuat sehingga ia mempengaruhi energi para calon kotraktor. Ketika energi positif para calon kontraktor ini mulai terpengaruh dan berkurang maka energi negatif-lah yang bertambah. Terjadilah penyuapan, saling menjatuhkan, permainan harga dan segala upaya negatif yang lain.
Dalam Islam, energi positif ini kita kenal dengan Asma’ul Husna atau nama sifat-sifat Allah. Pada dasarnya semua sifat-sifat Allah itu sudah tertanam pada manusia sejak lahir. Energi positif itu adalah Asma’ul Husna yang dihembuskan ke setiap jiwa yang dilahirkan dan ke setiap bentuk yang Ia ciptakan. Kita juga mengenalnya dengan sebutan ‘suara hati’. Dalam perkembangannya, energi positif ini mendapat banyak pengaruh dari lingkungan, tekanan, godaan, pengalaman, pola pikir dan literatur. Hal-hal inilah yang dapat berkembang menjadi energi negatif dan menjauhkan manusia dari sifat-sifat Tuhannya. Lalu bagaimana menjaga keseimbangannya? Islam mengajarkan kita dengan shalat, berpuasa, berzikir, beramal dan lain-lain. Amal bukan berarti sekedar menyumbang materi kepada pengamen, pengemis atau anak yatim piatu di saat Ramadhan. Tetapi memberikan pengetahuan pada orang lain, selalu berbuat baik tanpa harapan imbalan dan pahala, menolong dan menghormati semua makhluk-makhluk Allah. Dengan demikian kita sudah sedikit memancarkan energi positif kita kepada alam sekitar dan meredam bias energi negatif. Demikian juga berarti kita sudah mencoba untuk kembali ke sifat-sifat Allah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

2 comments:
Nice work Dear! Posting terus dong tulisannya! Writing is the way for us to be exist
ada yg bilang Masjid Tiban yg di kampung gw peninggalan dari Syeh Siti Jenar...
Arum
Post a Comment