Saya percaya bahwa didunia ini tidak ada yang disebut kebetulan. Semua sudah terpusat, teratur dan terstruktur atas izin Sang Maha Pengatur.
Awalnya saya tidak menganggap serius ketika sebuah ajakan untuk berkeliling museum di Jakarta tiba-tiba muncul di e-mail saya. Keinginan itu sebetulnya sudah lama saya pendam. Kontan saja saya langsung setuju dengan ajakan tersebut.
Hampir tiga bulan ternyata rencana itu harus tertunda karena cuaca buruk yang tak kunjung henti menerpa Jakarta. Hingga akhirnya tiba harinya pada Minggu, tanggal 16 Maret 2008. Kami berkumpul di depan museum Fatahillah, Jakarta Pusat. Dari sekitar tujuh orang yang bersedia ikut perjalanan ini, ternyata hanya tiga yang berkumpul saat itu. Saya, Silvia dan Indrie.
Rencana tetap berjalan seperti semula meski kami tak saling kenal sebelumnya. Tidak sulit tentunya bagi anggota komunitas backpacker untuk mengenali sesama anggotanya.
Siang harinya, kami kedatangan satu rekan lagi, Alel. Awalnya saya mengira Alel adalah seorang pria. Namun ternyata saya salah. Alel adalah seorang wanita sama seperti dua rekan saya, Silvia dan Indrie.
Awalnya saya tidak menganggap serius ketika sebuah ajakan untuk berkeliling museum di Jakarta tiba-tiba muncul di e-mail saya. Keinginan itu sebetulnya sudah lama saya pendam. Kontan saja saya langsung setuju dengan ajakan tersebut.
Hampir tiga bulan ternyata rencana itu harus tertunda karena cuaca buruk yang tak kunjung henti menerpa Jakarta. Hingga akhirnya tiba harinya pada Minggu, tanggal 16 Maret 2008. Kami berkumpul di depan museum Fatahillah, Jakarta Pusat. Dari sekitar tujuh orang yang bersedia ikut perjalanan ini, ternyata hanya tiga yang berkumpul saat itu. Saya, Silvia dan Indrie.
Rencana tetap berjalan seperti semula meski kami tak saling kenal sebelumnya. Tidak sulit tentunya bagi anggota komunitas backpacker untuk mengenali sesama anggotanya.
Siang harinya, kami kedatangan satu rekan lagi, Alel. Awalnya saya mengira Alel adalah seorang pria. Namun ternyata saya salah. Alel adalah seorang wanita sama seperti dua rekan saya, Silvia dan Indrie.
Silvia.
Sebelum bertemu dengannya, saya mengira Silvia adalah gadis mungil, mahasiswi dan masih hijau dalam petualangan. “Anak mami!” pikir saya. Namun setelah bertemu, justru saya yang jadi minder, terutama karena jam terbang naik gunungnya lebih baik dari saya. Justru sekarang saya yang merasa jadi “anak mami”.
Alel.
Meskipun agak pendiam dan tertutup, Alel adalah rekan berpetualang yang mengasyikan. Jam terbangnya justru jauh lebih tinggi dalam hal mendaki gunung. Lebih seru lagi karena ternyata Alel senang dengan pantai dan laut. Sama dengan saya.
Indrie.
Bagi saya, Indrie awalnya kelihatan lebih cocok berkeliaran di mall daripada menjelajah wilayah antar propinsi. Tapi jangan remehkan pengalamannya! Meskipun saya bertemu dalam waktu singkat, namun aura backpacker-nya langsung kelihatan. You will know if you are a backpacker too.
Saya sendiri tak tahu apa pendapat teman-teman saya ini ketika pertama kali melihat saya. Mungkin bagi mereka, saya lebih cocok duduk di toko material, mengelola kedai voucher HP, atau kerja di Glodok berjualan alat elektronik daripada bergabung di komunitas backpacker.
Empat Penjuru Angin.
Uniknya, saya baru menyadari beberapa hari kemudian bahwa kami ini mirip penjuru mata angin. Bagaimana tidak? Domisili kami mewakili masing-masing wilayah Jakarta (Barat, Timur, Utara dan Selatan) dan kami mengakhiri perjalanan di Jakarta Pusat. Jadi kami ini mirip angin yang datang dari empat penjuru, menjelajah satu wilayah dan berhenti di pusatnya.
Mungkin kami lebih pantas disebut sebagai “Tim Mata Angin”.

1 comment:
Seperti Angin yang memberi kesejukan disaat terik matahari dan menghapus debu yang bertebaran.
Seperti itu pula Angin Utara ingin menyatu di pusaran Mata Angin, lepas perbedaan untuk menyatu dengan Angin Barat , Angin Timur dan Angin Selatan.
Cant Wait for another journey and walk beside you " Mata Angin "
Angin Utara
Post a Comment