Thursday, March 27, 2008

Larantuka (part.1)


Pukul 06.00 pagi ketika aku buka jendela, kabut masih enggan beranjak dari padang rumput yang membentang di hadapanku. Gunung Egon masih malu-malu menampakkan dirinya karena tertutup kabut. Hujan memang tidak turun malam tadi namun cuaca dingin masih menusuk tulang.

Pagi ini aku masih harus melanjutkan perjalanan ke arah timur. Aku tahu ini perjalanan panjang. Tapi inilah impianku! Aku ingin melintasi daerah-daerah ini seorang diri. Aku ingin menempuh semua ini demi kecintaanku pada petualangan dan kehidupan. Aku ingin bebas dari penjara yang menamakan dirinya “karir.” Karir telah membelenggu semua impian dan jiwaku. Aku bagai keledai bodoh yang ditarik-tarik tuan tanah.
Perjalanan pertama kulalui dengan membelah pegunungan-pegunungan hijau dan hutan-hutan cemara. Beberapa ekor babi hutan nampak berkeliaran disekitar jalurku. Mereka terkadang menatapku tajam dan kemudian kembali tak peduli. Hanya beberapa ekor rusa yang setia memandangiku agak lama.

“Apa yang dilakukan hewan aneh berpunuk ini?” begitu mungkin pikirnya.

Aku terus membelah hutan dan pegunungan. Sebuah sungai yang cantik, jernih dan meliuk-liuk mendampingiku mengalir disebelah kiri. Langit cukup bersih, biru dan segumpal awan putih bergerombol di utara. Matahari mulai terik menyengatku namun aku semakin nyaman karenanya. Sebuah pedesaan menyambutku dalam sebuah kesempatan. Seorang pria tua berpakaian sangat sederhana dan memakai sarung tersenyum padaku.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Larantuka,” jawabku.

Si bapak tersenyum sambil mengangguk-angguk. Aku permisi untuk melanjutkan perjalanan. Entah apa nama desa ini tapi masyarakatnya baik sekali. Seorang ibu menawarkan rumahnya padaku untuk bermalam. Tentu saja aku setuju. Aku tak biasa menginap di tempat yang mewah. Rumah penduduk lokal akan lebih nyaman buatku.

Rumah si ibu ini begitu sederhana. Dindingnya terbuat dari rotan dan lantainya dari kayu. Malam itu Pak Stefanus, suami si ibu menawariku jajanan sederhana sambil menemaninya untuk obrolan malam. Kedua anak mereka, Emanuel dan Catherine sambil malu-malu mendekatiku. Akupun tersenyum dan memberi sebungkus permen pada mereka. Malam itu aku tidur dengan kembali ditemani cuaca dingin. Suara kodok dan jangkrik menjadi musik pengiring tidurku.

Pagi hari berikutnya, hujan kembali turun. Meski tidak deras, aku cukup kuatir untuk melakukan perjalanan. Setelah menyantap sarapan seadanya, aku kembali memutuskan untuk melanjutkan perjalanan di tengah hujan rintik-rintik. Dalam waktu yang tidak lama aku kembali memasuki hutan-hutan, jurang dan pegunungan. Suara kicauan burung dan serangga menemaniku. Sahabat, jika kalian melakukan perjalanan dengan caraku, maka kalian akan bersyukur dengan hidup kalian dan mengetahui bahwa memang Tuhan itu Maha Besar.


Sebuah padang rumput menghampar dihadapanku. Hutan-hutan kecil menjadi perbatasan dihiasi dengan pegunungan dibelakangnya. Indah sekali! Aku teringat kisah-kisah para petualang sejati. Sir Edmund, Heinrich Harrer, Scott & Amundsen dan Norman Edwin. Kisah-kisah merekalah yang menginspirasiku untuk mencintai petualangan. Ketika aku sedang jatuh, kisah-kisah merekalah yang membangkitkan semangatku.

No comments:

Powered By Blogger