Sunday, March 23, 2008

Halimun, Sukabumi

Sebagai korban “Kisruh Adam Air”, saya sangat kecewa tak jadi menghadiri pernikahan adik ipar di Denpasar, Bali. Tapi beruntung saya diajak oleh Silvia, rekan “Mata Angin” untuk naik gunung. Jujur saja, saya agak segan mengiyakannya. Bukan kenapa-kenapa, saya agak minder dengan jam terbangnya yang lebih mapan dari saya. Namun saya juga tidak mau mengecewakan Silvia. Nampaknya Silvia ini jika mendengar kata “gunung”, matanya langsung melotot dan berkata, “Mau naik?...Gunung mana?.. Yuk!”

Setelah Alel (angin utara) juga setuju ikut, barulah kami sepakat akan pergi dengan tujuan Gn. Halimun, Sukabumi. Sayangnya Indrie (angin timur) tak dapat ikut karena punya acara liburan sendiri.

Perjalanan tidak terlalu melelahkan karena waktu yang ditempuh juga relatif singkat. Samapi di lokasi, dewi fortuna tak memihak pada kami. Hujan deras mengguyur dengan tiba-tiba saat kami membangun tenda. Pertanda buruk bahwa kami akan kesulitan membuat api karena tidak ada kayu kering. Kamipun tak membawa minyak tanah untuk membantu menyalakan api. Parahnya lagi, kami tak membawa kompor.

Namanya juga pendakian spontan, jadi semuanya juga serba spontan. Jadilah malam itu kami melewatkan malam dengan tanpa api sedikitpun. Makanan yang bisa kami makan hanyalah beberapa potong biscuit dan roti. Mie dan bubur instant serta minuman hangat tak jadi kami konsumsi karena tak bisa membuat api.

Paginya sungguh beruntung karena matahari bersinar terik. Kami menjemur semua barang-barang kami yang basah karena hujan kemarin. Setelah itu kami membongkar tenda dan memutuskan untuk menjelajah area perbukitan.

Seru juga! Sambil menikmati pemandangan indah kota Sukabumi dari atas bukit disekitar kebun teh. Kami melupakan semua rutinitas yang menjemukan di Jakarta. Mata angin kembali berkumpul diatas perbukitan Halimun. Namun kali ini tanpa angin timur, Indrie.

Perjalanan pulang ternyata lebih melelahkan daripada berangkat. Jalanan yang rusak sepanjang jalur Sukabumi – Ciawi menyebabkan kami terjebak kemacetan berkepanjangan. Namun di luar itu semua, saya senang bisa mendapat rekan-rekan baru yang unik-unik ini. Alel bagi saya adalah mentor pendakian, karena dia yang paling berpengalaman diantara kami. Silvia, saya lebih senang menyebutnya sebagai bahan bakar. Bayangkan jika angin barat ini tidak ikut, betapa sepinya dunia ini! Yang unik adalah kebiasaan Silvia untuk tak lepas dari HP-nya. Sepanjang jalan, dia lebih sering lihat HP daripada pemandangan.

Jauh diluar itu, Tuhan memang Maha Tahu. Gagal ke Bali karena kasus Adam Air, bukanlah sebuah bencana. Tuhan memberikan saya kesempatan untuk mendapatkan teman-teman yang luar biasa ini dan melakukan perjalanan bersama mereka. Kelaparan melewati malam, kedinginan dan kehujanan adalah pengalaman bagi kami. Karena dengan kondisi seperti itulah kami jadi lebih saling mengenal.

No comments:

Powered By Blogger