Thursday, January 03, 2008

Kisah Wong Ndeso

Tepat jam 05.00 habis sholat subuh aku menimba air disumur belakang rumah untuk siap-siap mandi. Hari ini sangat istimewa. Aku akan jalan-jalan ke Jakarta, tempat tinggal pak Presiden dan pusat pemerintahan. Aku pingin lihat Monas, Taman Mini dan hotel-hotel tinggi. Kupakai baju terbaikku, kemeja panjang hitam bergaris-garis kelabu. Celana panjang istimewaku, celana abu-abu yang mengkilap, nggak kalah dengan mobil mewah di Jakarta. Kusisir rambutku ke belakang dan tak lupa minyak rambut merk “Jantan” yang baunya bisa bikin orang mengira aku ini sedang membakar dupa. Setelah rambutku licin kaku kebelakang, dengan tiga buah jari kutarik jambulnya kedepan. Dan... Olala.. mirip jengger ayam!

Matahari mulai meninggi ketika bis “Sekar Ayu” yang kunaiki melintasi jalan-jalan tak berakhir menuju Jakarta. Semakin dekat Jakarta, semakin congkak lagak sang surya. Ia semakin memanas! Jengger ayam-ku mulai kuncup dan kemejaku pun basah kuyup. Tiba di Jakarta, terminalnya bernama Pulo Gadung. Sangat ramai dan tak tahu kenapa banyak sekali orang berjongkok di pinggir jalan. Entah kenapa begitu namun jika boleh kunasehati mereka, akan kukatakan, “tinggalah dipinggir sungai agar mudah kau buang airnya.”

Aku tak tahu hendak kemana dan aku agak segan bertanya karena orang-orang disini tampangnya seram mirip para rentenir di kampungku. Sebuah bis besar melintas dengan tulisan P.Gadung-Blok M. Kunaiki bis besar itu tapi entah apa salahku, keneknya tak berhenti bicara seperti orang marah. Logatnya seperti orang Sumatera. Tahu kan kalian? Logat orang yang tak pernah bahagia. Mungkin ia sudah jenuh kepanasan di bis besar ini. “Ble’em...ble’em...ble’em!” begitu teriaknya sepanjang jalan (maksudnya BlokM). Baru kutahu ternyata selain sering marah, orang ini juga cacat lidahnya.

Ditengah jalan yang besar dan dikelilingi hotel yang tinggi, aku takjub pada sebuah gedung yang besar. Didepannya ada sebuah tanda mirip rambu lalu-lintas. Aku tak tahu tanda apa itu. Bentuknya dua lengkungan besar berwarna kuning. Mirip huruf “M” dan dibawahnya ada tulisan “24h-o-u-r” entah palagi itu maknanya? Tapi bagiku tanda yang mirip “M” itu lebih mirip bentuk payu***a ibu-ibu baru melahirkan yang menghadap ke atas.

Tiba di terminal, aku naik bis lagi. Tak tahu apa nama bisnya. Bis oranye yang asapnya lebih tebal dari asap rumah dukun di kampungku ketika dibakar orang. Lalu dipinggir jalan kulihat sebuah spanduk yang bertuliskan “Jangan lupa! Coblos kumisnya!” dan di sebelah kanan tulisan terlihat gambar lelaki berkumis tebal, berpeci dan tersenyum. Entahlah bagiku senyumnya itu mirip senyum orang sakit gila di kampungku yang kemudian diusir warga. Aku bertambah heran karena ternyata spanduk orang sakit gila ini tersebar dimana-mana. Terkenal sekali si gila ini!

Tak lama kemudian aku menemukan lagi rambu payu***a itu. Rambu besar berwarna kuning yang aku tak paham maksudnya. Kali ini aku berhenti didepan rambu itu. Aku penasaran apa gerangan makna dari tanda payu***a kuning itu. Kulihat gedung dua tingkat dengan dindingnya hampir semua terbuat dari kaca. Hebat! Di lantai dua ramai sekali. Banyak anak-anak kecil memakai topi kerucut warna-warni dengan tulisan yang aku tak jelas. Yang jelas anak-anak ini bahagia sekali. Ditengah-tengah mereka ada seorang wanita yang nampaknya sedang mengajari anak-anak ini bermain. Wanita itu cantik juga dengan rambut sepundak dan tahi lalat yang manis. Ooh... baru kutahu sekarang... jelas sudah bagiku tanda payu***a kuning itu. Itu tanda “Sekolahan!” Ya.. aku yakin dan nama sekolahan ini adalah... tulisan didepan pintunya itu... M-c-D-o-n-a-l-d-s.. Sekolahan M-c-D-o-n-a-l-d-s!!! Ya.. ya.. ya.. ini pasti sekolahan!

Dan kemudian... lihat itu... pak kepala sekolahnya keluar! Dia laki-laki berdasi dengan baju putih agak coklat tipis dan celana hitam yang... mmm.. nampaknya sudah seminggu tak dicucinya. Wajah pak kepsek ini mengingatkanku pada... tunggu!... O iya... pada guru-guru di kampungku ketika awal bulan. Wajah-wajah gamang ketika mengantri jatah beras di depan kantor kelurahan. Ternyata guru di Jakarta nasibnya tak lebih baik dari guru di kampungku. Aku baru ingat, memang menteri mereka tak pernah peduli dengan kesejahteraan mereka. Congkak sekali! Kasihan guru-guru ini.

Dan... Oh.. ada badut didepan pintu? Wah sekolah ini luar biasa. Selain gurunya cantik dan jarang cuci celana, ada badutnya juga. Pantas anak-anak kecil itu begitu gembira meski menurutku badut itu lebih mirip tandak bedes di kampungku. Kalian tahu apa itu tandak bedes?... Topeng Monyet!

Jika aku punya duit banyak, aku juga ingin menyekolahkan anak-anaku di sekolah M-c-D-o-n-a-l-d-s ini. Sekolah yang simbolnya payu***a besar warna kuning. Akan kuberitahu si mbok agar mau berjualan kue lupis (bukan kue lapis ya) lebih banyak lagi agar punya uang lebih banyak dan bisa sekolahkan si Gendon di sekolah mewah ini. Sekolah yang gurunya jarang cuci celana.

No comments:

Powered By Blogger