Perjalanan Tim Mata Angin kali ini yang minus Indrie ternyata tak mengurangi serunya perjalanan. Beberapa rekan ikut juga bergabung menjadikan ini perjalanan dengan peserta terbanyak, yaitu 8 orang. Biasanya kami cuma jalan maksimal 4 orang dan lebih sering bertiga.
Banyaknya rujukan untuk menginap di Serang dari beberapa member milis IBP ternyata tak mempengaruhi ‘bengal’nya anak-anak Mata Angin. Kami memutuskan untuk menginap di Banten Lama, entah ada penginapan atau tidak.
Mesjid Agung yang ‘tak agung’.
Situs sejarah yang paling ramai dikunjungi peziarah ini sebetulnya adalah objek wisata yang sangat menjanjikan. Sayang sekali mungkin karena kurang pedulinya pengurus mesjid dan masyarakat setempat, lokasi yang seharusnya menyenangkan ini menjadi begitu mengesalkan.
Berbagai ‘pungli’ yang berkedok ‘sadaqoh’ terus menerus menghadang pengunjung yang memasuki areal mesjid. Belum lagi suasana kotor tak teratur dan banyaknya pengemis yang meminta uang dengan paksa. Jangan pula terkecoh dengan pembagian wewangian di pintu masuk. Beberapa langkah dari situ, segerombolan orang dengan kasar langsung menagih Rp 5.000 untuk wewangian tersebut. Jika kita kembalikan, mereka akan menolak dengan kasar dan terus menagih (dengan kasar juga tentunya).
Hanya ada tiga buah kata untuk menggambarkan keadaan ini… Sayang… sayang… dan sayang… Benar-benar disayangkan Mesjid Agung yang seharusnya menjadi salah satu bukti kebesaran Islam di masa lalu itu harus kehilangan keagungannya hanya karena ‘ketidak pedulian’.
Satu-satunya objek yang sedikit bebas dari ‘gangguan’ tersebut adalah menara mesjid setinggi 23 meter yang terletak di halaman depan mesjid. Dengan ruang tangga yang demikian sempit, menjadikan tantangan tersendiri untuk bisa sampai ke atas.
Vihara Avalokitesvara
Bagi anda para backpacker yang ingin mengeksplor Banten Lama, ada baiknya anda untuk bermalam langsung di Banten Lama. Tidak perlu repot-repot cari penginapan. Vihara Avalokitesvara yang dibangun pada tahun 1652 ini menyediakan tempat penginapan bagi para peziarah dan musafir.
Suasana tenang dan damai akan sangat terasa begitu anda memasuki bagian dalamnya. Deretan wisma penginapan yang terletak di bagian belakang menandakan bahwa tempat ini memang sering dijadikan persinggahan bagi para pelancong dan peziarah.
Ruangan bersih dan nyaman tersedia disini. Harga kamar pun tidak dipatok dengan rate tertentu. Anda bisa membayarnya secara suka rela. Maklumlah ini penginapan para peziarah.
Kami pun tak melewatkan kesempatan unik ini untuk mengenal lebih dalam kehidupan di wihara ini. Semalaman saya bersama rekan saya Arum dan Alel menyempatkan diri untuk memotret berbagai objek disini. Unik sekali!
Ini bukti bahwa Banten dulunya adalah sebuah kerajaan dengan toleransi yang sangat tinggi. Beraneka ragam keyakinan hidup berdampingan dengan damai disini.
Tak terurus.
Terdapat dua buah reruntuhan yang terletak di lokasi sekitar mesjid agung. Yang pertama adalah bekas istana Keraton Surosowan yang terletak persis di seberang mesjid dan sebuah bekas benteng di seberang wihara. Yang kedua adalah bekas benteng Spelwijk yang terletak persis di seberang wihara.
Keraton Surosowan nampak tak terurus. Bangunan yang diluluhlantakan oleh Daendels pada tahun 1808 itu kini hanya terlihat seperti bekas fondasi yang tak berarti. Satu-satunya fasilitas yang masih terlihat lumayan utuk adalah sebuah kolam yang airnya berwarna hijau mirip jus alpukat. Beberapa sampah nampak bertebaran di kolam.
Tak ada keterangan apapun di situs ini. Tak ada retribusi dan petugas dari pelestarian cagar budaya. Semuanya hanya berupa sisa-sisa fondasi tak berarti. Kami sempat miris melihat keadaan seperti ini.
Sekali lagi kita telah menunjukkan ketidak pedulian pada situs sejarah yang sebenarnya menakjubkan ini. Bayangkan jika areal ini diurus secara professional, hmmm… bukan tak mungkin situs ini akan lebih terkenal dari kota tua Batavia (yang sebenarnya juga tak begitu terurus).
Situs Spelwijk justru terlihat lebih terawat dan teratur meski tak ada institusi berwenang yang langsung hadir disini. Bingung juga untuk mendapatkan nara sumber kompeten secara langsung disini.
Bentuk benteng yang luas lengkap dengan menaranya mengingatkan saya akan film “Braveheart”. Ahh.. this is not Ireland… This is Lovely Banten!
Beware of ‘sopir angkot’
Ini pengalaman kami terhadap para sopir angkot di kota Serang. Sungguh tak menyenangkan.
Ketika kami memutuskan untuk men-carter angkot ke Banten Lama dari terminal Pakupatan, sang sopir keberatan dengan alasan jaraknya sangat jauh di luar kota. Sang sopir lalu mematok harga Rp 100.000 untuk membawa kami yang berjumlah 8 orang. Kami keberatan sambil terus menawar harga. Kesepakatan terjadi pada harga Rp 60.000 dan itupun melalui proses alot. Sebuah harga yang sangat terlalu tinggi untuk jarak yang ternyata lebih dekat dari RS. Fatmawati – Blok M.
Ketika harus membayar pungli di sebuah persimpangan, sopir angkot memaksa kami untuk membayar dengan uang kami. “Ayo 3000 cepetan!” kata sang sopir dengan kasar. Kami bersikeras tak mengeluarkan uang namun sang sopir terus memaksa. Hmmm… jauh, jauh, jauh…bahkan sangat jauh lebih buruk dari sopir di Jakarta.
Sopir angkot ternyata tak bisa melihat rombongan pelancong yang berjalan kaki. Seringkali mereka memaksa kami untuk men-carter angkotnya. Meski kami menolak, mereka justru turun dari angkot, menghampiri kami dan terus memaksa kami men-carter angkot mereka.
Sayang seribu sayang.
Yang paling berkesan bagi saya adalah ketika kami menginap di Vihara Avalokitesvara. Ternyata kehidupan Bhinneka Tunggal Ika sudah ada dari dulu. Terbukti beberapa petugas di klenteng ini ternyata muslim.
Di klenteng ini, kehidupan harmonis begitu terasa. Banyak yang bisa dipelajari disini. Sayang sekali kami hanya menginap semalam.
Keindahan Banten yang menyimpan sejarah begitu dahsyat kini hanya meninggalkan seonggok puing tak terurus. Ketidak pedulian memang sudah menjadi tabiat dari masyarakat dan birokrat.
Sayang sekali… amat disayangkan… sebuah tempat yang dulu pernah terkenal di dunia, di Eropa bahkan lebih besar dari kehebatan Malaka, kini hanya sebuah daerah kecil yang hanya terkenal karena debus dan menara mesjidnya.
Sayang seribu sayang….

No comments:
Post a Comment